Selasa, 11 Juni 2013

TAK SADAR TELAH SELINGKUH

Aku wanita yang sangat konvensional. Bahkan karena sikapku yang terlalu konvesional, sejak sekolah hingga kuliah, teman-teman biasa memanggilku bu Nyai atau Nyik saja. Mendengar kata pacaran saja rasanya begitu risih di telingaku, apalagi selingkuh. Itu sebabnya saat pacaran sama Zaenal dulu aku berusaha bersikap biasa saja. Aku tak mau menunjukkan di depan orang bahwa kami memang sedang pacaran.
Aku tak munafik, selama pacara sudah biasa melakukan semua yang biasa dilakukaan sepasang kekasih, mulai kissing sampai petting. Bahkan saat orang tuaku kian keras menentang hubunganku, aku sempat nekat untuk berhubungan intim, tetapi beberapa kali gagal. Zaenal kesulitan memasukkan penisnya ke vaginaku karena sangat sempit sampai aku kesakitan.
Aku sendiri heran kenapa melakukannya. Mungkin karena aku sangat sayang pada lelaki itu, sehingga apapun kemauannya aku turuti, meski awalnya keberatan. Mungkin juga karena itu rasa cintaku kian mendalam kepadanya. Aku merasa tak mungkin pindah ke lain hati.
Aku berusaha tegar saat hubunganku dengan Zaenal ternyata tak mungkin berlanjut, dan selama beberapa tahun aku memilih menempuh semua cara agar mendapat restu orang tua. Karena terbentur usia yang kian tak muda lagi, sementara restu orang tua tak juga datang, akhirnya aku pasrah saat harus menikah dengan lelaki yang tidak aku kenal sebelumnya. Akupun mulai belajar mencintai lelaki itu sebisaku.
Dalam banyak hal suamiku memiliki jauh lebih banyak kelebihan dibanding Zaenal, mantanku. Minimal dari segi pendidikan, prestise dan karier lebih mapan dibanding mantanku yang sampai saat aku menikah masih nyaman menjadi pengangguran, tetapi entahlah perasaanku kepadanya tak pernah berubah. 
Sejak menikah aku berusaha menjaga jarak dari mantanku itu. Aku tidak enak hati setiap kali dia kontak aku. Aku merasa tidak nyaman behubungan dengan lelaki itu, meski saat berpisah dulu kami sepakat untuk tetap menjalin persaudaraan selamanya.
Setelah beberapa tahun berlalu aku sama sekali tak memikirkan lagi lelaki itu, meski adikku dan teman-teman dekatku masih sering kontak dan ketemu dengannya. Aku berusaha tak tahu menahu setiap kali Zaenal kontak Anny adikku. Aku hanya mendengar saja setiap kali sahabat-sahabat dekatku bercerita tentang lelaki itu. Aku baru berani menerima telpon darinya bila terpaksa tak mampu menolaknya, dan tak ada suami di sampingku. Itupun tak banyak yang kukatakan selain berbasa-basi saja.
Setelah sekian lama berlalu, beberapa bulan terakhir aku jadi sering kontak dengan lelaki itu. Aku tak tahu kenapa setiap saat ingin sekali berbagi cerita dengannya, mendengar pendapatnya, canda tawanya, rayuannya, godaan nakalnya. Tentu saja sambil sembunyi-sembunyi karena takut suamiku tahu.
Aku sadar tak seharusnya aku melakukannya, tetapi aku pikir apa salahnya berteman baik dengannya. Aku merasa tahu batas-batas yang boleh aku lakukan dan tidak. Aku pikir suamiku juga tak akan tahu yang aku lakukan, sebab Anny, adikku, juga biasa kontak bahkan bertemu Jamhari, mantan kekasihnya.
Aku kian sering kontak Zaenal saat kudapati sikap suamiku kian tak mengenakkan akhir-akhir ini. Hatiku sempat gonjing setiap kali mendapati sikap dan kata-kata suamiku benar-benar tak mengenakkan. Berulang kali suamiku bahkan bilang, "Kalau bukan demi anak-anak, aku tak ingin melanjutkan pernikahan ini"
Aku sangat marah mendengar kata-kata suamiku, dan aku kian tak bisa lepas dari Zaenal walau sehari saja. Zaenal selalu menjadi tempat aku mencurahkan semua beban batinku. Akhir-akhir ini aku benar-benar muak dengan suamiku yang suka asal bicara, dan menyandarkan semua pada mantan kekasihku.
Aku mencoba kembali kuatkan batinku karena Zaenal memintaku berfikir jernih dan berusaha menyelesaikan masalahku secara baik-baik. Apalagi dia sendiri sedang bermasalah dengan istrinya karena ketahuan sering kontak sama aku. Bagaimanapun dia tak mau rumah tangganya terganggu oleh kehadiranku. 
Akupun mencoba bicara dengan suamiku, meski dia enggan bicara padaku. Dia kian sulit kuhubungi setiap kali pergi bekerja, bahkan terlihat kian enggan pulang. Aku harus berulang kali menelpon, memintanya segera pulang demi anak-anaknya. Aku tahu dia tak akan pergi selagi anak ada bersamaku.
Suatu hari aku telepon dia saat senja hari. Dari bicaranya aku merasa dia mencari-cari alasan untuk tidak pulang, yang membuatku sangat risau dan terus memintanya untuk kembali.
Sesampai di rumah aku memaksanya bicara. Apa yang membuat dia seakan enggan pulang akhir-akhir ini. Jawabannya sangat mengejutkanku. "Aku tak nyaman lagi bersamamu. Aku tak percaya lagi padamu, karena aku tahu bagaimana hatimu. Aku tahu yang kamu lakukan dengan Zaenal. Aku tahu semua yang kamu katakan. Aku tahu semua yang kamu rasakan padanya. Aku ingin pergi jauh darimu. Itu sebabnya aku selalu bilang, kalau bukan demi anak aku tak mau lagi berada di sini"
Dia mengatakannya sambil menangis, tetapi bagiku bagai sambaran petir yang begitu dahsyat meremukkan jiwaku. Aku tak tahu yang aku rasakan. Aku merasa sangat tersudut tanpa mampu bicara. Aku tak mampu bicara apa-apa karena dia tahu semua.
Ya. Aku telah berselingkuh meski hanya di hati saja. Aku telah melakukannya tanpa menyadarinya. Aku melakukan semua di depan mata suamiku tercinta. Aku sadar telah melukai hatinya, luka yang begitu dalam yang sudah pasti tak mudah disembuhkan.