Jumat, 16 Oktober 2009

KISAHKU 18 - HARGA DIRI SUAMIKU


Sejak aku menikah, Anny, adik kandungku sering marah-marah. Sejak aku belum menikah, dia sering bilang tak mau kalah dari aku dalam hal memilih suami. Pendidikan suamiku yang cukup tinggi membuatnya sempat uring-uringan. Dia selalu bilang, "Aku harus dapat suami seperti apa agar bisa melebihi kakaku?"
Sejak awal pernikahanku, adikku memang seperti kurang respek pada suamiku. Dia sering membuat suamiku sedih karena banyak bercerita soal mantan pacarku. Dia sering menelpon Zaenal sejak aku menikah. Dia bahkan sering memprovokasi suamiku dengan memberikan telepon Zaenal padaku, tetapi aku masih bisa menahan diri.
Itu sebabnyak, sejak bulan pertama menikah suamiku mengajakku tinggal di luar kota. Alasan dia agar lebih dekat dengan pekerjaannya, tetapi aku dan orang tuaku selalu melarang. Orang tuaku bahkan berharap kami tinggal di rumah agar dapat mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelola orang tuaku.
Masalahnya, tinggal di rumahku menghadapkan suamiku pada adik kandungku yang tidak menyukainya. Adikku memandang suamiku hanya orang miskin yang numpang hidup di keluargaku. Padahal dia sebenarnya orang mandiri. Sejak kuliah, dia bahkan pantang tinggal bersama orang tuanya sendiri.   
Entah karena sebab apa, suatu hari adikku uring-uringan. Dia mengata-katai suamiku dengan kalimat yang tidak pantas. Sikap sabar suamiku membuat adikku mengira suamiku akan bersikap seperti kebanyakan orang yang dia perlakukan begitu, hanya diam, dan tak akan berbuat apa-apa. 
Ternyata salah. Suamiku spontan menampar adikku. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa dia tak bisa diremehkan. Tinggal di rumahku memang bukan kemauan suamiku, tetapi karena permintaan keluargaku. Berkat suamiku, kami bahkan baru saja memulai mengembangkan lembaga pendidikan milik keluarga yang sempat mati karena konflik.
Setelah keributan itu, suamiku mengajakku kontrak rumah di dekat kampusnya. Orang tuaku melarang, tetapi suamiku benar-benar tak tahan lagi menghadapi sikap adikku. Kamipun tinggal di kontrakan sederhana. 
Suamiku begitu bersemangat sejak kami tinggal di kontrakan. Dia begitu menikmati hidup meski harus memulai dari nol. Tinggal di kontrakan sama sekali bukan masalah buat suamiku. Dia bahkan tampak sangat bahagia meski hidup serba terbatas. Dia mondar-mandir ke sana ke mari untuk memenuhi berbagai keperluan, tanpa tampak lelah sedikitpun di wajahnya.
Masalahnya justeru buat aku. Aku tak terbiasa hidup seperti ini. Aku tidak siap, tidak biasa hidup seperti itu. Bahkan salah satu alasanku melepaskan Zaenal adalah karena aku takut bila harus memulai hidup seperti itu. Meski demikian aku memilih mengikutinya. 
Aku baru menyadari perbedaanku dari suamiku. Di balik kelembutannya, dia adalah sosok yang sangat mandiri dan penuh harga diri. Mandiri adalah dunianya, tetapi sebaliknya buat aku. Aku bukan tipe wanita seperti itu. Aku hanyalah wanita yang sangat lemah bila harus hidup lepas dari orang tuaku. 
Dua bulan hidup di kontrakan benar-benar membuatku tersiksa. Aku berusaha menjalaninya, tetapi tubuhku tak mampu lagi bertahan. Aku sakit dan harus masuk rumah sakit. Apalagi saat itu aku sedang mengandung. Akhirnya, aku kembali ke rumah, sedangkan suamiku tingga di kontrakan. 
Berpisah darinya membuatku sangat tersiksa. Berbagai cara kulakukan bersama keluargaku untuk membuatnya bersedia kembali, termasuk setelah adikku meminta maaf padanya, tetapi dia tak bergeming. Aku sangat tidak nyaman dengan hidup seperti ini. Hanya kehamilanku yang membuat suami selalu menyempatkan diri menemaniku di rumah.

KISAHKU 17 - PERTEMUAN YANG BERBEDA



Minggu ini aku mengajak suamiku ke Banyuwangi untuk menghadiri pernikahan Mahil, salah satu teman kuliahku. Sebenarnya dia enggan berangkat. Aku tahu dia enggan bertemu teman-teman kuliahku yang juga teman Zaenal. Bahkan besar kemungkinan kami akan bertemu lelaki itu di sana.
Berulang kali aku menegaskan kedatanganku ke sana bukan karena lelaki itu. Aku benar-benar ke sana untuk Mahil, sahabatku. Mahil juga datang ke pernikahanku, yang karenanya sudah seharusnya aku datang ke sana. Selain itu, aku mengajaknya ke Banyuwangi karena merasa perlu memperkenalkan suamiku pada keluargaku di sana. Akhirnya suamikupun mengiyakan karena ku tahu dia enggan berdebat. 
Sepanjang perjalanan ke Banyuwangi raut wajah suamiku berubah-ubah. Suatu kali dia terlihat baik-baik saja, tetapi sesaat kemudian berubah sendu. Aku merasa tak enak hati, dan terus berusaha mengiburnya. Aku bahkan mengajaknya bercinta, meski saat itu menginap di rumah bibiku yang sebenarnya tak nyaman untuk melakukannya.
Saat tiba di rumah mahil, aku langsung duduk di kursi tamu. Sesaat kemudian aku melihat Zaenal keluar dari dalam rumah rumah. Dia menghampiriku, dan tanpa bicara menyalamiku. Sejenak kemudian menyalami suamiku yang duduk di deretan kursi di belakangku lalu duduk di sampingnya. 
Ini pertemuanku yang pertama dengannya sejak kami sepakat berpisah. Pertemuan ini terasa berbeda dari sebelumnya. Seperti kesepakatanku dengan lelaki itu, sebenarnya aku ingin bersikap biasa saja seperti sebelumnya, tak ada yang perlu berubah, tetapi aku tak bisa pungkiri bahwa perasaanku saat bertemu dengannya tak lagi senyaman sebelumnya.
Aku sama sekali tidak menengok mereka. Aku merasa tak enak hati, tetapi semakin tenang saat lamat-lamat kudengar mereka saling bicara. Aku langsung bergegas pulang sesaat setelah acara usai. Aku tahu suamiku tak nyaman dengan suasana resepsi pernikahan siang itu.
Selama perjalanan pulang, aku melihat wajah suamiku terus terlihat sendu. Aku tahu dia tak nyaman berada di tempat itu, tetapi aku merasa harus berada di sana, terlepas suamiku suka atau tidak suka. Aku hanya berharap dia mengerti.
Aku mengajaknya mampir ke rumah saudaraku yang lain di kota itu. Aku mencoba berbicara padanya selama menginap di sana. Aku bingung, karena dia lebih banyak diam, sambil sesekali air mata menetes dari pelupuk matanya. Dia hanya bilang, "Aku mengerti. Aku hanya bersedih harus menghadapi semua ini. Aku berharap kamu mengerti" 
Aku sangat sedih dengan pengakuannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun aku memang pernah bersama seseorang sebelumnya, dan kenyataan itu tak bisa diubah. Kebetulan aku harus bertemu dengan orang itu lagi, meski membuat suamiku tak nyaman karenanya. Aku tak bisa mengubahnya, dan hanya bisa berusaha menghibur suamiku dengan segala cara yang aku bisa.


Rabu, 29 Juli 2009

KISAHKU 16 - AIR MATA DALAM SENYUMAN



Sore itu aku dan suami pulang dari ladang. Kebetulan aku dan suami sedang mencoba usaha sederhana. Kami memelihara beberapa ekor ayam yang sebagian sudah bertelor. Suami kelihatan bersemangat melakukan tugas-tugas yang sebenarnya tidak biasa dia lakukan selama ini.
Kami juga menanam sayur sawi di kebun dekat rumah. Kami begitu bersemangat karena selain mengandalkan gaji suami sebagai pegawai, kami berharap bisa menyandarkan hidup dari beberapa jenis wirausaha yang sudah kami rencanakan.
Pulang dari kebun sore itu, Anny, adikku memanggilku dengan tegopoh-gopoh. "Mbak Tut. Cepetan ada telepon"
Aku bergegas mendatanginya. Dengan raut berbinar-binar dia menyerahkan gagang telepon padaku. Aku terkejut, rupanya Zaenal menelponku sore itu. Sepanjang sore rupanya Anny berbicara panjang lebar lewat telepon.
Aku tak bisa berbicara banyak. Selain kaget, aku tak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Beberapa waktu ini aku sama sekali tak memikirkan dia. Apalagi sejenak kemudian suamiku sudah menyusulku dan masuk kamar yang kebetulan dekat meja telepon.
Aku hanya cengar-cengir menahan perasaan kaget tanpa tahu apa yang harus kukatakan. Praktis aku hanya menjawab salam dan kabar darinya, serta mengiyakan beberapa pertanyaan yang aku tak ingat lagi. Aku hanya berharap segera mengakhiri telepon dia, dan menyusul suamiku yang gelagatnya kurang enak hati.
Tak lama kemudian aku mengakhiri telepon dan menyusun suamiku ke kamar. Perasaanku tidak enak saat kulihat dia sudah tertelungkup di tempat tidur. Perasaanku sendiri tak nyaman dengan telepon itu, tapi aku mencoba berpura-pura tak merasakan apa-apa. Segera saja kurengkuh tubuh suamiku untuk menyingkirkan rasa tak nyaman di hatiku.
Beberapa saat kemudian aku menyadari suamiku tidak enak hati dengan telepon sore tadi. Rupanya tahu siapa yang menelponku sore itu. Sikap Anny yang cengar-cengir tadi kemungkinan membuatnya menduga-duga siapa yang menelponku.
"Mas..." Panggilku beberapa kali. Aku berusaha membuatnya bangkiit dan berbicara, tetapi beberapa saat dia hanya telungkup terdiam. Saat kuraba wajahnya, kurasakan air mata telah membasahi pipinya.
Dia baru bangkit saat maghrib tiba, dan segera beranjak ke kamar mandi. Perasaanku sangat tidak nyaman dengan sikapnya. Kulihat wajahnya begitu suntuk karena tahu Zaenal menelponku.
Usai sholat aku segera merengkuhnya lagi. Aku berharap bisa menenangkan hatinya. Aku jelaskan padanya bahwa aku dan dia sudah tidak ada apa-apa lagi. Dia hanya telepon Anny dan sekedar tanya kabar, karena beberapa waktu sebelumnya sempat lewat depan rumahku.
Suamiku tidak mengatakan apapun. Hanya air mata yang terus bercucuran yang aku tak bisa mengerti artinya. Sepertinya dia sangat terganggu oleh kehadiran Zaenal dalam kehidupanku saat ini, bahkan di masa laluku. Dia mencoba tersenyum meski air mata semakin deras mengucur dari pelupuk matanya.
Aku tak henti merayunya dengan segala yang aku bisa. Meski semalaman dia sama sekali tak bicara, dia masih mau melayani ajakanku bercinta malam itu. Aku baru merasa lega saat melihatnya tertidur pulas dalam pelukanku.


KISAHKU 15 - BUKU HARIAN SUAMI


Hidupku begitu berwarna di hari-hari pengantin baru. Aku merasa sangat bahagia dan begitu nyaman bersama suamiku. Ada seseorang yang selalu mendampingiku dan memanjakanku. Setiap saat dia mencium, membelai dan memelukku, yang membuatku merasa bagai seorang puteri.
Aku merasa sangat beruntung menikah dengan lelaki yang begitu penyayang. Dia bahkan memanggilku "sayang" sejak hari pertama pernikahan, hingga membuat iri adikku. 
Dia juga begitu perhatian, bahkan mampu berperan sebagai suami lebih dari yang aku bayangkan. Dia mau membantuku melakukan banyak hal, hingga hal-hal kecil, seperti memasak dan mencuci pakaian. Bahkan saat aku sakit telinga, dia tidak segan menghisap telingaku yang beberapa hari terasa sakit dan dipenuhi nanah. 
Dia biasa memijit tubuhku dan mengurutkan minyak pijit ke sekujur tubuhku bila aku merasa lelah atau kurang enak badan. Aku tahu, setiap habis memijitku, ujung-ujungnya dia mengajakku bercinta, tetapi aku suka cita melayaninya. 
Banyak hal baru kupahami dari suamiku. Dia punya wawasan yang begitu luas dalam hal agama maupun kehidupan sehari-hari. Banyak hal baru aku pahami dari dia, berbeda dari yang biasa dipahami oleh kebanyakan pemahaman yang aku dengar. 
Aku menjadi belajar banyak hal, dan memahaminya banyak hal dengan logika yang terasa baru buatku. Apalagi aku memahaminya dengan proses yang begitu indah dan penuh kasih sayang.
Saat dia pergi ke Jogja untuk kuliah, aku mencoba membuka-buka bukunya. Aku menemukan buku harian suamiku dan mencoba membacanya. Dia bercerita banyak hal yang sebagian terasa lucu, serius hingga menyedihkan. 
Aku merasa terhenyak saat membaca bagian catatannya di hari-hari pernikahan kamu. Rupanya dia benar-benar menyesal telah menikahi aku. Dia merasa sudah salah memilihku sebagai istri. Masa laluku dan perasaanku pada Zaenal menjadi masalah yang paling dia sesalkan. Di balik sikapnya yang begitu baik padaku, rupanya dia memendam perasaan sebaliknya.
Aku kaget, sangat sedih dan tersinggung mengetahui semua itu. Aku langsung telpon mbak Um dan Zaenal untuk menceritakan semua itu. Mereka menenangkanku dan berharap aku segera bisa menyelesaikan masalah itu dengan suamiku. 
Akupun berusaha menguatkan diri menghadapi kenyataan itu. Aku bahkan bersiap merelakan andai kata suamiku meninggalkanku. Dalam hati sempat terbersit rasa, aku memang menikah dengannya bukan karena pilihan, bukan kemauanku.  Kalau akhirnya harus berakhir di awal pernikahan, kurasa ini kesempatan buatku menunjukkan betapa pilihan orang tuaku tak selalu yang terbaik. 
Meski demikian, aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku saat suamiku menelpon. Dengan nada sedih, aku bahkan tegaskan padanya, kalau ternyata dia memang tak bisa bersamaku. 
Dia bergegas pulang dan menenangkanku. Kami bicara panjang lebar. Dia memintaku membaca bagian lain buku hariannya. Dia mengakui menyesal menikahiku, karena menurutnya aku belum sepenuhnya melupakan masa laluku, dan aku tak bisa memungkiri dan hanya bisa mengakui semua itu.
Dia juga menuliskan betapa dia kasihan padaku. Setelah tahu cerita lengkap kehidupanku sebelum menikah, dia memahami betapa berat tersiksanya aku dengan beban batin yang selama ini kuhadapi.
Dia sudah memutuskan ingin membahagiakanku. Dia merasa tak pantas membuat aku terluka saat harus hidup bersamanya. Dalam buku itu dia menuliskan, “Aku sedih harus menikahi kamu, tapi sudah menderita sekian tahun akibat sikap orang tuamu yang tak rasional. Pantaskah aku bila harus membuatmu bersedih? Tidak. Mungkin aku harus hadir dalam kehidupanmu sebagai pengobat hatimu”
Aku terharu saat dia mengucapkan kembali kata-kata itu. Sebenarnya aku pernah membaca bagian itu, tapi aku hanya memperhatikan bagian kekecewaan yang dia rasakan. Akupun merasa mengerti rasa kecewa yang dia rasakan. Aku berusaha memahami posisiku di hadapannya.
Aku tak bisa lagi memandangnya sebagai perebut kehidupanku. Dia malaikat penyelamatku. Aku tak cukup istimewa di matanya, tetapi dia bersedia menjalani pernikahan ini demi membahagiakanku, dan tak ingin aku menderita untuk kali kedua.
Tak bisa kupungkiri sebenarnya aku takut dia benar-benar meninggalkanku. Semula aku hanya tak bisa bayangkan apa kata orang bila aku bercerai di usia pernikahanku yang baru terhitung hari, tetapi aku menyadari bahwa sebenarnya akupun sangat menyayanginya. Aku mulai mengenalnya lebih jauh dan merasa harus bersyukur menjadi istrinya.
Di sisi lain, ada rasa penyesalan telah berpacaran dengan seseorang sebelum menikah dengannya. Aku berharap jadi wanita paling istimewa, tetapi itu sepertinya jauh dari harapanku.



KISAHKU 14 - PERSEMBAHAN PERDANA BUAT SUAMI


Resepsi di rumah suami pagi itu begitu meriah. Meski tak sebanyak tamu di rumahku, tetapi resepsi kali ini terasa khidmad. Aku tak banyak mengenal tamu-tamu yang datang, termasuk teman-teman suamiku yang dulu satu sekolah dan satu organisasi denganku.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar saat tamu-tamu sudah pulang. Aku selalu merengek minta ditemani suami, karena tak banyak yang aku kenal di rumah itu. Bahkan siang itu kami lebih banyak di kamar sembari berpelukan, saling raba, dan tak henti berbagi cerita.
Dia menyingkap bagian bawah bajuku dan tak henti mengelus kemaluanku. Beberapa saat kemudian dia turun dari tempat tidur. Dia mengelus pahaku dan daerah sekitar kemaluanku. Semula aku biarkan karena sejak menikah dia biasa melakukannya. Aku terhenyak saat tiba-tiba dia mencium kemaluanku. Aku mencoba bangkit tetapi dia menahanku, hingga aku hanya pasrah menikmati lumatan mulutnya.
Rasa geli menyelinap di bagian bawah tubuhku, menyebar ke sekujur tubuh. Aku mengerang menahan geli, hingga tanpa sadar kuangkat pantatku tinggi-tinggi. Ya, untuk pertama kalinya aku terangsang hebat, hingga begitu ingin dia segera masukkan kemaluannya di kemaluanku.
Akupun menariknya ke atas tubuhku, dan menempatkan kemaluanku tepat di ujung kemaluannya. Meski terasa tegang, perlahan kemaluannya benar-benar mulai masuk ke liang kemaluanku. “Bisa, mas… bisa…” pekikku lirih. Ada perasaan lega yang luar biasa saat kami benar-benar menyatukan jiwa dan raga untuk pertama kalinya.
Perasaanku teramat bahagia saat tubuhnya mengejang hebat sembari mendekap tubuhku sangat erat. Aku merasa sepenuhnya menjadi miliknya dan dia milikku. Akupun mendekapnya erat-erat, serasa tak ingin melepaskanya dari pelukanku untuk selamanya. 
Sesaat kemudian tubuhnya melemas. Dekapannya melemah dan diapun terkulai lemah di sampingku. Kuliah raut tegang terpancar di wajahnya. Dia kelihatan begitu damai, dan akupun merasa benar-benar menjadi istrinya. Sejenak kemudian kami kembali bercakap-cakap, mengenang saat-saat lucu sejak kami menikah. Dia bilang ingin melakukannya lagi, tetapi aku merasa melakukan sekali ini dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata.
Dia tak henti menciumiku, merabaku, tetapi rasanya tak lagi seperti sebelum nya. Beberapa saat kemudian dia terus merabaku, menciumiku dan mengajakku melakukannya lagi, tetapi aku menolak. Aku merasa lemas sekali, dan belum sanggup melakukan sesering yang dia mau.

KISAHKU 13 - MENYESALI MASA LALU


Hari demi hari aku merasa menikahi lelaki yang jauh lebih baik dari yang pernah aku bayangkan. Dia begitu cerdas jauh di atasku, hingga perlahan aku merasa kecil di hadapannya. Dia tahu banyak hal dengan logika yang jauh lebih tajam, hingga aku merasa sering mendengar hal-hal baru di telingaku darinya.

Dengan lelaki manapun, termasuk kakak iparku yang tinggal di Jakarta, aku langsung bisa paham pembicaraannya, tetapi aku sering harus berfikir keras untuk memahami yang dia katakan. Aku sering terkejut pada apa yang dia katakan. 

Saat aku bicara dengan teman-temanku, termasuk Zaenal, aku tak banyak kesulitan karena mereka pasti mengiyakan, sedangkan dengan suamiku, aku sering tidak bisa bicara apa-apa saat dia tiba-tiba mempertanyakan yang aku katakan. Kali ini aku bisa membedakan bagaimana kemampuan orang pada umumnya, dengan orang yang lebih tinggi kemampuan berfikirnya.

Menjelang resepsi di keluarga suami, aku kembali menanyakan mengapa dia begitu sedih. Dia tak mau bicara terus terang tetapi aku terus mendesaknya. "Kamu kan sudah tahu aku memang pernah pacaran sama orang lain, kenapa kamu sepertinya mempersoalkan masa laluku?" Aku terhenyak ketika tiba-tiba dia berkata, "Entahlah, seharusnya aku menerima kamu apa adanya. Kamu selalu cerita hal-hal yang terlalu baik, seolah kamu itu hanya berteman saja. Tetapi dari cara kamu bercerita dan sikap kamu kemarin-kemarin aku tahu kamu sudah pernah disentuh oleh lelaki itu" jelasnya dengan nada sendu.

Tenggorokanku serasa buntu mendengarnya. Beberapa kali aku menghela nafas, tetapi tidak mengurangi rasa shock yang mendera dadaku. Aku hanya bisa menangis sembari memeluknya erat-erat. Aku merasa kotor. Aku merasa ternoda. Aku tahu, rupanya suamiku kecewa telah menikah dengan aku. "Tapi itu bukan kemauanku" Ucapku berulang kali membela diri.

Dia tidak berkata apa-apa, tetapi sorot matanya jelas menujukkan rasa kecewa yang terpendam. Aku mulai menyadari betapa aku sebenarnya tak pantas angkuh di hadapannya. Aku merasa begitu rendah buatnya, tetapi aku takut kehilangan dia. Dia tak berkata apa-apa lagi, dan hanya memeluk dan membelaiku.
Dalam hati, aku mulai menyesali masa laluku. Sekalipun tak pernah melakukan hubungan yang jauh, ternyata suamiku tetap saja tahu. Aku tak bisa memungkiri semua yang dia tahu. Aku menyesal sudah berpacaran sebelum menikah, karena hanya membuat suamiku tak bangga menikahiku. 
Seharusnya, aku bertemu dia saja seumur hidupku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku tak tahu kalau dialah sebenarnya jodohku.  

KISAHKU 12 - PERTAMA CUKUR VAGINA


Sejak malam itu, aku tak segan lagi menghabiskan waktu berlama-lama dengan suamiku. Dia pintar membuat lelucon hingga membuat hubunganku semakin tanpa jarak. Karena aku sedang menstruasi, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berpelukan. Jemarinya tak henti meraba sekujur tubuhku. 
Mengenalnya lebih jauh membuatku merasa sangat beruntung menikahi lelaki itu. Aku merasa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dibanding yang aku harapkan selama ini. Aku bercerita padanya, betapa selama ini banyak teman-temanku yang bertanya, "Lelaki seperti apakah yang pantas menikahiku" Aku merasa dialah lelaki itu. 
Lelaki yang selama ini aku harapkan pada dasarnya jauh dari itu semua. Dia bukan orang yang terkenal, bahkan tidak diperhitungkan di kampus dan teman-temanku. Aku menyadari benar, mengapa selama ini aku memilihnya. Itu hanya karena aku benar-benar tak punya alternatif, teman dekat yang lebih baik. 
Hampir tiga malam ini aku bercerita banyak hal padanya, mulai cerita masa kecil, masa remaja, hingga hubunganku dengan Zaenal, mantan pacarku. Aku tak bisa menahan tangisku saat bercerita tentang hubungan Zaenal dengan anak Madiun itu. Aku teramat sedih mengingatnya, tetapi hampir-hampir tak pernah menangis karenanya.
Aku tak tahu berapa lama aku menangis. Aku hanya merasakan kedamaian saat suamiku memelukku erat-erat, menenangkanku, sembari mengelus punggungku. Lega rasanya bisa melepaskan beban perasaan yang selama ini kupendam dalam-dalam.
Hari ketiga pernikahan, aku melihat suamiku lebih banyak diam. Dia tidak banyak bicara atau bercanda seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa kali aku mencoba menyambutnya dengan mesra, tetapi sikapnya kelihatan dingin saja. 
Menjelang malam, aku bertanya, "Mas, kamu kenapa jadi diam?" Dia hanya menjawab "Tidak ada apa-apa" sembari tersenyum masam. Aku terus mendesaknya, hingga akhirnya dia bicara.
"Aku merasa... entahnya apa namanya. Ternyata kamu masih mencintai Zaenal. Kamu masih begitu terkenang dengan lelaki itu" jelasnya. Aku terhenyak mendengarnya. Aku tak menyangka, cerita-ceritaku rupanya dipahami begitu oleh suamiku.
"Harusnya kamu mengerti, dong. Aku sekian tahun bersama dia, sedangkan sama kamu baru kenal berapa bulan? Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin kamu tidak ketemu aku lagi" Jelasku apa adanya. Dia hanya diam saja mendengar jawabanku. Tak berapa lama air mata mengucur dari pelupuk matanya.
Aku bingung. Aku tak tahu mengapa dia bersedih. Aku terus merayunya, hingga wajahnya sedikit cerah. Dia bahkan keluar kamar dengan membawa buku catatan yang biasa tergeletak di atas meja. Setelah menunggunya beberapa saat, aku menjemputnya di teras depan, dan menariknya kembali ke kamar.
Aku tahu, dia masih bersedih, tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku terus merayunya, mengelus tubuhnya, dan bagian intimnya hingga bangkit mengejang. Aku biarkan tubuhku terbuka dan berharap dia melakukan tugasnya sebagai suami. 
Usahaku berhasil. Diapun melucuti pakaianku, lalu mencumbuiku dengan penuh mesra, hingga akupun merasa tergoda. Segulir cairah kurasakan mengalir dari pangkal kemaluanku. Dia bilang, "Heh, keluar cairannya", kemudian menyentuh bagian tubuhku yang paling rahasia yang berselimut bulu rambutku yang lebat. Aku hanya tersipu menahan geli.
"Lebat sekali? Kok nggak dicuku?"  tanyanya. 
"Idih, dicukur? Malulah..." Sergahku.
"Kan sunnahnya dicukur setiap jum'at"
"Masa, sih? Aku pikir juga gitu, tapi aku malu menyentuhnya"
"Sama punya sendiri kok malu?"
"Nggak tahulah. Seumur hidup belum pernah sekalipun dicukur"
Setelah meraba-raba tubuhku beberapa saat, suamiku mencoba memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluanku, tetapi tidak berhasil. "Aduh, di mana sih lubangnya?" tanyanya. Aku hanya tertawa geli.
"Lebat sekali sih" sergahnya sembari bangkit ke meja rias. Sejenak kemudian diapun mencukur bulu kemaluanku. Aku tertawa menahan geli. Kembali kurasakan cairan hangat mengalir lembur ke permukaan kemaluanku. Aku terangsang menahan geli, tetapi dia seperti tak peduli. Bahkan dengan tenang dia mengusik liang kemaluanku seperti mencukur bulu yang tumbuh di sisi dalamnya.
Dengan perasaan berbunga-bunga aku ke kamar mandi membersihkan kemaluanku yang penuh rambut. Aku merasa sedikit aneh saat membasuh kemaluanku dengan sabun, sebab ini pertama kalinya tak ada lagi bulu tumbuh lebat menutupinya.
Aku memeluk suamiku sesaat setelah masuk kamar. Kami kembali bercumbu mesra. Dia meraba sekujur tubuhku dan akupun meraba sekujur tubuhnya, tak terkecuali bagian yang selama ini kuanggap paling rahasia.
Sebenarnya aku masih takut melakukan hubungan itu, tetapi aku ingin dia melakukannya malam ini. Dengan perasaan tegang, kubiarkan dia memasukkan kemaluannya di kemaluanku, tetapi tidak berhasil. Perasaanku sendiri sangat tegang, hingga beberapa kali dia gagal melakukannya. 
Vaginaku terasa semakin tegang, saat sebagian kemaluannya masuk ke kemaluanku. "Kok susah ya" Tanyanya. "Mungkin karena aku belum benar-benar suci, mas" jawabku. Diapun hanya menindihku seperti malam-malam kemarin, sambil menggesek-gesekkan kemaluannya di depan kemaluanku.
Aku merasa sangat bahagia, karena suamiku tak lagi tampak sedih. Kesibukannya berusaha berhubungan badan denganku malam itu, sepertinya mengalihkan semua yang dia pikirkan.

KISAHKU 11 - MALAM PERTAMA PENGANTIN


Resepsi pernikahan begitu meriah. Sebagaimana pesan kakaku, aku berusaha tampil tenang di pelaminan, dan tidak banyak bicara. Aku tak tahu bagaimana perasaanku di hari pelaminan itu. Suasana begitu hiruk-pikuk oleh banyaknya tamu yang hadir, termasuk teman-temanku yang datang memberi ucapan selamat. 
Aku justeru merasa salah tingkah saat resepsi selesai. Aku merasa rikuh ketika masuk kamar berdua dengan suamiku. Aku malu pada orang-orang di luar, juga tak tahu bagaimana bersikap pada suamiku. Itu sebabnya aku segera keluar kamar sesaat setelah ganti pakaian.
Aku ikut menyibukkan diri di dapur meski orang-orang mengolok-olokku. Aku memilih menyibukkan diri menyiapkan makanan yang ternyata kurang mencukupi kebutuhan setelah resepsi. Aku baru kembali ke kamar setelah orang tuaku memintaku menemani suami.
Aku bingung saat kembali masuk kamar. Aku tak tahu yang harus aku lakukan, dan mencoba menyibukkan diri di depan meja rias, membersihkan make up dan pewarna kuku. Suamiku yang seharian terdiam di kamar mendekatiku. Dia membantuku membersihkan kuku. Aku terkejut ketika beberapa saat kemudian dia mencium pipi kiriku. Aku hanya diam tanpa ekspresi dan terus membersihkan make up di wajahku.  
Aku kembali keluar beberapa saat karena ada seseorang menelponku. Teman-temanku yang tadi menghadiri resepsi rupanya mampir ke tempat Zaenal. Mereka bilang lelaki itu begitu kecewa. Aku tak tahu bagaimana menyikapinya. Yang pasti ini hari pernikahanku. Hari ini aku telah bersuami. 
Menjelang maghrib aku kembali ke kamar pengantin dan sholat berjamaah dengan suamiku. Dia kembali mencium pipi kanan, kiri dan keningku usai sholat. Saat berdiri melepas mukena aku terkejut, rupanya aku menstruasi malam itu.
Suamiku terkejut saat aku bilang aku menstruasi, tapi aku tidak tahu mengapa. Aku bilang padanya, kalau aku sebenarnya belum ingin melakukan hubungan suami istri malam ini. Aku membayangkan baru akan melakukannya satu atau dua bulan lagi.
Saat malam semakin larut, aku berganti baju tidur baby doll. Dengan sedikit rikuh aku merebahkan tubuhku di samping suamiku. Ini benar-benar pertama kalinya aku berada begitu dekat dengan laki-laki. Dia mendekatiku dan menindihkan pahanya di atas pahaku. Aku tersentak saat aku merasakan benda keras menyentuh pahaku dari balik kain sarung yang dia pakai. Dalam hati aku berfikir, "Aduh..., inikah benda itu? Besar sekali? Apakah cukup buat aku?"  
Aku memang sama sekali tak tahu urusan hubungan suami istri. Selama ini aku selalu menghindar setiap kali kawan-kawanku membicarakannya. Aku pikir hal begitu tak perlu dibahas, dan akan terjadi begitu saja.
Aku merasa geli saat tangannya menyentuh dadaku dan membuka kacing bajuku satu persatu. Dia tahu kami tak akan melakukan hubungan suami istri malam itu, dan menghabiskan malam dengan saling berbagi cerita ke sana ke mari. 
Rupanya dia tak tahan lagi. Dia melepas pakaianku satu persatu, mencumbuiku dan menindihku. Benda kerasnya kuhimpit di sela pahaku. Beberapa saat kemudian dia memelukku erat-erat, tubuhnya mengejang mendekap tubuhku, dan cairah licin menyembur di pangkal pahaku. 
Aku tidak tahu yang dia rasakan, tapi aku merasa sangat bahagia berada dalam pelukannya. Aku merasa begitu dekat dengannya seakan sudah bertahun-tahun mengenalnya.

Sabtu, 06 Juni 2009

KISAHKU 10 - AKU SEORANG ISTRI

Suasana rumah begitu ramai saat menjelang akad nikah. Teman-teman dekatku berkumpul di rumah menemaniku. Mereka membantu kesibukan di rumah, terutama di dapur dan sesekali menggodaku dengan berbagai candaan.
Menjelang akad nikah Zaenal menelponku sekedar mengucapkan selamat. Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Aku bingung menyikapinya. Ada rasa senang dan canggung sekaligus dalam hatiku, tetapi semua segera berlalu oleh kesibukanku malam itu.
Malam itu T sudah resmi menjadi suamiku, tetapi dia akan pulang untuk resepsi besok pagi. Dia sempat menelponku sesaat setelah keluar dari musholla tempat akad nikah. Dia sempat menggodaku, "Aku nginap di sini aja, ya?" yang membuatku merasa sangat kikuk.
Setelah rombongan keluarga Irfan pulang, teman-teman tak henti menggodaku. "Wah, sebentar lagi kamu akan merasakan itu" Aku risih mendengar candaan seperti itu. Selama ini aku paling enggan membahas masalah-masalah seperti itu. 
Meski begitu, aku sendiri bingung bagaimana menghadapi malam pengantin. Terus terang aku malu dan tak bisa membayangkan bagaimana bersanding dengan lelaki di tempat tidur. "Mbak, aku rasanya malu membayangkan malam itu" keluhku pada mbah Um, sahabat karibku. "Alah..., kalau aku biasa saja. Semua orang mengalaminya, kan?" begitu jelasnya menenangkanku. 

KISAHKU 09 - PERSIAPAN PERNIKAHAN


Persiapan pernikahan menjadi hari tersibuk dalam hidupku. Aku begitu bersemangat mempersiapkan pernikahan yang begitu lama kunantikan. Aku bersemangat ke rumah kakakku di Jakarta untuk berbelanja. Mereka membawaku berbelanja baju-baju pengantin ke berbagai tempat di kota besar itu.
Bersama mbak Um, teman karibku saat KKN, aku belanja berbagai keperluan di Surabaya. Satu hal yang aku persiapkan adalah bed cover sekaligus selimut tidur yang cukup tebal.
Orang tuaku bertanya-tanya untuk apa bed cover dan selimut tebal yang aku beli, tetapi aku berkeras membelinya. Dia-diam aku sudah berpikir bagaimana menjalani menjalani malam-malam pengantin bersama suamiku.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana malam-malam pengantin bersama lelaki yang baru kukenal. Aku malu membayangkan, apalagi membicarakannya dengan orang lain. Itu sebabnya, diam-diam aku mempersiapkan bed cover, dengan harapan aku tak perlu malu bila melakukan hubungan suami-istri di dalam balutan selimut tebal.  
Aku mengurus sendiri perias pengantinku, dan memilih perias terbaik di daerahku. Aku bolak-balik ke salon itu untuk memastikan riasan, dekorasi, hingga pakaian yang akan kupakai saat resepsi pernikahan.
Orang tuaku tidak kalah sibuk. Mereka membenahi rumah, mengundang sanak saudara dan berbagai hal yang berkaitan dengan acara pernikahanku. Bulan Ramadhan tahun itu menjadi Ramadhan paling sibuk, dan lebih banyak berkaitan dengan persiapan pernikahan.
Sejak lebaran tiba, aku sibuk belanja dan memasak untuk persiapan pernikahan. Aku berusaha memasak sendiri semuanya, dan memastikan hanya akan membuat masakan terbaik untuk pernikahanku. Bahkan saat menjelang akad nikah aku masih sibuk mondar-mandir ke sana ke mari mengurus berbagai keperluan. 

KISAHKU 08 - LAMARAN DAN MENGENAL CALON SUAMI


Hanya seminggu setelah kami sepakat menikah, orang tua Irfan berencana datang melamarku. Suasana rumahku berubah hiruk-pikuk. Semua orang membicarakan rencana pernikahanku, dan sibuk mempersiapkan lamaran. Semua beban persoalan serasa mulai lepas membebani hatiku, dan tingga menanti hari-hari pernikahan yang begitu lama kunantikan.
Di hari yang dijanjikan, aku sempat kuatir keluarga Irfan tidak jadi dating. Hingga siang hari mereka tidak kunjung datang setelah seharian kami  menunggu. Aku menyibukkan diri dengan memasak seharian.
Aku merasa lega ketika mereka tiba, tanpa Irfan. Hanya ayah, ibu dan adiknya datang ke rumah. Padahal keluargaku berkumpul semua menyaksikan prosesi itu. Rupanya kami sedikit salah paham, sebab orang tuanya Irfan sebenarnya baru berniat silaturrahmi. 
Meski begitu pertemuan itu sudah menghasilkan kata sepakat, bahwa kami akan menikah sekitar 2 bulan kemudian. Keputusan itu sebenarnya terasa terlalu cepat, karena aku dan Irfan belum cukup mengenal, tetapi aku juga tak punya alasan untuk terus menunggu. 
Seminggu kemudian Irfan memintaku bertemu. Aku menjanjikan dia bertemu di Malang karena ada beberapa keperluan. Aku menolak tawarannya untuk mengantar aku ke sana. Aku memintanya menjemput di terminal saja saat aku pulang, karena waktu itu aku sebenarnya ke Malang untuk menemui Zaenal sekedar untuk menegaskan bahwa hubungan kami harus diakhiri.
Aku begitu terharu, ketika Zaenal meminta agar tidak pernah ada kata putus di antara kami. Akupun mengiyakan untuk tetap berhubungan baik meski kami tidak jadi menikah. Aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana mengakhiri ikatan batinku dengan lelaki yang sekian lama kuperjuangkan untuk menjadi suamiku. Tak pernah ada masalah yang mengharuskan kami putus. Hubungan dan perasaan kami masih seperti sebelumnya, meski tak mungkin bersama. Mempertahankan persahabatan adalah pilihan paling adil di antara kami.
Perjalanan pulang menjadi kesempatan aku mengenal Irfan lebih dekat. Perasaanku semakin mantap untuk memulai kisah baru bersamanya setelah mengenal pribadinya, dan sikapnya yang menyenangkan. Aku sendiri masih merasa kaku untuk menerima seperti Zaenal, tetapi aku merasa dia lelaki yang baik dan dalam banyak hal cukup mengesankan. Apalagi setelah kami bertemu kembali beberapa hari kemudian.
Dia membawaku ke tempat kerjanya, memperkenalkan aku dengan orang-orang yang dekat dengannya hingga aku makin tahu banyak tentang dia. Aku bahkan diperkenalkan dengan kakaknya dan beberapa kali singgah di rumah makan. Meski kelihatan pendiam, ternyata dia sangat pintar berkelakar dan enak diajak bicara. Aku semakin yakin bisa menjalani kisah baruku bersamanya.

KISAHKU 07 - MENYERAH PADA JODOH

Kakaku tak henti mendorongku agar segera mengambil keputusan. Aku harus berani mengambil resiko. “Kalau kamu mau maju, majulah terus, dan harus siap dengan segala konsekwensinya. Kalau kamu mundur kamu harus segera mudur, dan semua ada konsekwensinya. Kamu tak bisa terus-terusan menunggu karena itu hanya menghancurkan dirimu sendiri”, begitu pesan kakaku berulang kali.
Aku mulai lemah setelah teman-temanku bilang Zaenal secara diam-diam mendekati cewek lain. Banyak temanku yang bilang dia sedang mendekati cewek entah Ponorogo atau Madiun. Aku sangat sakit hati, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Aku sadar, aku sudah membuatnya menunggu selama ini. Orang tuakulah yang menjadi penghalang hubungan kami.
Karena itu, dalam hati aku mulai meyakinkan diri, bahwa aku tak akan pernah menikah dengan dia. Aku hanya tak tahu bagaimana keluar dari kenyataan ini. Betapapun menyakitkannya kenyataan itu, aku tak punya alternatif yang lebih mungkin dibanding Zaenal.
Itulah sebabnya, aku mulai membiarkan orang tuaku memilihkan jodoh untukku. Beberapa kali calon suami diajukan padaku, tetapi belum ada yang benar-benar kuterima. Aku sedang mempertimbangkan 2 orang lagi yang kemungkinan besar kuterima salah satunya. Salah satu lelaki itu adalah mas Samsul yang dulu pernah dijodohkan dengan aku. Hubungan kami yang sempat putus dan karena dia orang satu daerah denganku menjadi pertimbangan terberatku untuk menerimanya.
Sebenarnya aku tidak nyaman bila harus menikah dengan mas Samsul. Aku punya banyak alibi untuk menjelaskan mengapa dulu aku memutuskan pertunangan. Aku bahkan kesal karena mas Samsul menyurati Zaenal, dan menuduhnya telah merusak hubungannya denganku, tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku bersiap-siap menerimanya kembali, karena sepertinya dia laki-laki yang paling mungkin aku nikahi.
Saat tengah mempertimbangkan lelaki yang akan kuputuskan sebagai suami, tetapi tiba-tiba Irfan menelponku, setelah 2 tidak ada kabar lagi. Dia mengabarkan kalau sekarang sudah masuk kuliah S3 dan bertanya apakah aku sudah menikah. Aku sedikit berbohong padanya kalau aku sudah putus dari Zaenal. Aku memang sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri hubunganku dengan Zaenal dan bersiap menerima calon suami pilihan orang tuaku.
Aku begitu senang ketika tanpa kuduga dia mengajakku menikah. Aku tidak tahu yang harus kukatakan, tetapi semua orang yang kuberi tahu soal itu menyayangkan bila aku menolaknya.
Akhirnya, akupun menerima ajakan Irfan untuk menikah. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya, tetapi bagaimanapun Irfan adalah alternatif paling aman di antara semua lelaki yang mungkin menikahiku. Paling tidak aku sedikit lebih mengenal dia dibanding yang lain. Lagi pula, Irfan bukan dari daerahku dan tidak mengenal keluargaku sebelumnya.
Sejak menerima mas Irfan, masalahku terasa sudah selesai, karena aku akan menikah. Keluargaku begitu bahagia dengan keputusan ini. Mereka menganggap aku mendapatkan orang yang jauh lebih baik dibanding pilihanku maupun orang tuaku. Apalagi pekerjaan dan pendidikan calon suamiku jauh di atas yang mereka bayangkan.
Aku sendiri sebenarnya masih merasa gamang. Aku tak tahu yang aku rasakan, karena aku merasa tidak cukup mengenalnya. Aku hanya mengenal Zaenal sebagai satu-satunya lelaki dalam hidupku, tapi aku berharap seiring waktu mas Irfan akan bisa menggantikan Zaenal di hatiku.
Aku berusaha menepis kebimbangan hatiku, meski aku tak bisa memungkiri, hingga sikapku sedikit ambigu. Di hadapan Zaenal dan teman-teman aku tetap menegaskan bahwa sebenarnya Irfan bukan pilihanku. Menikah dengannya hanyalah jalan yang harus aku lalui. Aku hanya mengikuti kehendak orang tuaku.
Pengakuanku sedikit berbeda bila bertemu dengan orang-orang yang tidak mengenal sahabat-sahabatku. Aku mencoba bersikap seolah aku bahagia telah menemukan sosok terbaik dalam hidupku. 

Rabu, 22 April 2009

KISAHKU 06 - MELEMAHNYA PERTAHANAN HATI

Bulan sudah berganti tahun, bahkan genap 4 tahun aku serasa terus berperang urat syaraf dengan orang tuaku. Aku mencoba beradu kesabaran dengan mereka, yang aku yakin akan luluh oleh waktu. Untuk melepas penatnya penantian, sesekali aku mencuri kesempatan bertemu dengan kekasihku. Aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Zaenal setiap kali ada teman kuliah yang menikah, atau ada kegiatan di luar kota.
Herannya, orang tuaku tetap kukuh dengan pendiriannya. Padahal seiring usia yang kian bertambah aku merasa mulai lemah, aku merasa mulai kalah. Aku merasa resah dan bersiap-siap menyerah. Perlahan aku mulai menyerah pada orang tuaku.
Keluargaku sendiri tak henti meluluhkan hatiku. Kakakku yang semula membelaku dan kadang menjadi penengah, kini lebih banyak menasehatiku soal rumah tangga. Dia bercerita soal rumah tangganya yang membuatku befikir ulang soal hubunganku dengan Zaenal. Aku mulai berfikir ulang tentang masa depanku secara lebih realistis, dan bukan sekedar mengikuti kata hati.
Ini dikarenakan aku dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan realistis. Aku tak bisa menjawab pertanyaan kakaku, apakah menikah dengan Zaenah pasti membuat aku bahagia? Kakakku menunjukkan betapa dia yang menikah karena cinta dengan iparku ternyata juga banyak masalah. Dia juga menunjukkan betapa saudara-saudara sepupuku yang menikah dengan orang yang baru dia kenal ternyata tidak kalah bahagia.
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Apa yang membuat aku memilih Zaenal? Apakah dia lelaki idealku? Bukankah selama ini setiap orang yang dekat denganku selalu menilai aku pasti akan menikah dengan orang-orang yang lebih dari dia. Aku mengingat-ingat kembali sikap teman-temanku selama di asrama.
Aku mencoba mengalihkan deraan perasaan pada logikaku. Melihat seperti apa aku selama di asrama, mereka menyangka, aku pasti akan menikahiku dengan lelaki yang menonjol, seperti keluarga kyai,  dosen atau orang-orang yang dianggap hebat oleh kebanyakan orang.
Aku mengakui, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan lelaki itu. Zaenal sama sekali tidak masuk dalam hitungan orang yang pantas menjadi suamiku. Dia bukan siapa-siapa di mata semua orang. Dia tidak dikenal bahkan di lingkungan kampusku sendiri.
Aku sadar. Aku hanya terlanjur dekat dengannya, hingga membuat aku merasa tak ada yang lebih baik darinya. Aku merasa dia yang paling cocok denganku, karena dia lelaki pertama yang aku kenal, yang aku ijinkan memiliki hatiku. Lagi pula aku bertekad hanya ingin mengenal satu lelaki dalam hidupku, dan lelaki itu adalah Zaenal.
Aku merasa seperti tak pernah punya hak untuk mengikuti kata hatiku. Sejak kecil aku lebih banyak mengikuti kehendak orang tuaku. Ironisnya, aku harus mengikuti mereka dalam menentukan teman hidupku. Aku ingin berontak dari kenyataan ini, tapi aku merasa terlalu lemah untuk melakukannya.

Sabtu, 04 April 2009

KISAHKU 02 - SEPERCIK PESONA MASA SMA

Aku merasakan pengalaman berbeda ketika orang tuaku menyekolahkan aku di sebuah pesantren di Jombang. Perhatian pada pelajaran sekolah di pesantren itu tidak begitu menonjol dibanding sekolahku di Surabaya, tetapi kegiatan di luar pelajaran sangat banyak. Aku ikut berbagai kegiatan, mulai dari Sholawatan, Qosidah, Drumb Band, pidato dan organisasi.
Di sekolah itulah aku mulai tertarik pada laki-laki. Diam-diam aku mengagumi Masrouf yang saat itu menjadi ketua OSIS. Aku kagum pada sikapnya yang dewasa dan terlihat aktif. Sayang sekali, dia sepertinya tidak memandangku istimewa. Lelaki itu pacaran dengan kakak kelasku, yang aku lupa namanya, tapi aku ingat mereka memang pasangan serasi waktu itu.
Di sekolah itu aku dekat dengan seorang beberapa anak laki-laki, terutama Faizin, ketua OSIS tahun berikutnya. Sama seperti Masrouf, Faizin adalah cowok yang pintar, dewasa, dan aktif di sekolah. Cowok itu sangat perhatian padaku, dan kami sering berada dalam kelompok yang sama setiap kali ada tugas sekolah. Dia selalu melibatkan aku di berbagai kegiatan, termasuk Paskibraka. 
Sejujurnya aku suka dengan anak itu, tetapi entahkah, saat itu aku merasa ada sesuatu yang membuatku masih belum bisa menerimanya. Aku bahkan marah saat dia menyatakan perasaannya padaku. Hubungan kami sempat renggang karenanya, tetapi dengan dewasa, dia tetap berusaha menjalin hubungan baik denganku. 
Dia bahkan sering menulis surat padaku hingga bertahun-tahun sejak kami lulus SMA. Aku tak tahu pasti maksudnya. Meski isi suratnya tidak secara khusus menyatakan cintanya padaku, tetapi aku merasa dia masih tetap menaruh harap seperti dulu. Mungkin karena aku kurang merespon, dia tak menyatakan cintanya secara terus terang, dan hanya isi suratnya yang selalu penuh dengan kalimat-kalimat indah yang menyanjungku.  
Sejujurnya aku menyukainya, tetapi karena sejak kuliah aku ditunangkan dengan seseorang, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya dapat menelan rasa kecewa dalam hati saat beberapa tahun kemudian dia datang dan memperkenalkan kekasihnya padaku.
Di luar itu, di pesantren inilah aku merasa lebih berkembang. Aku punya banyak pengalaman, mulai dari organisasi hingga mengikuti berbagai lomba. Aku selalu dilibatkan dalam organisasi santri maupun sekolah, meski aku lebih banyak diam. Sebenarnya aku merasa takut dan tidak bisa ngomong, tetapi entah mengapa selalu dijadikan pengurus dan diajak ikut rapat. 
Yang menjadi kenangan indah di pesantren adalah aku sering menjadi juara di berbagai lomba di pondok maupun organisasi. Aku pernah juara lomba baca kitab kuning, qiro'ah, pidato dan sholawatan. Semua itu membuatku merasa nyaman belajar di sana.
Meski begitu ada satu yang menyebalkan. Di pesantren itu ada petugas yang naksir aku. Orangnya sudah tua, dan sangat tidak menarik, tetapi dengan berbagai cara mendekati aku. Dia menggunakan berbagai cara agar aku mau dengannya, mulai dari membelikan makanan, mengajak jalan-jalan bersama santri lain, hingga disuruh ke rumahnya.
Aku tidak sendirian ketika dia jebak, karena pasti selalu ditemani teman karibku. Selama di pesantren aku punya dua orang teman yang sangat akrab. Yang satu berasal mbak Erwina dari Madiun dan satunya Ulfa dari Lumajang. Kami selalu jalan bareng, mengaji bersama, tampil sholawatan bersama, berbagai kegiatan organisasi santri, bahkan bila ada kegiatan pondok yang di luar. 
Waktu organisasi santri aku heran, karena tiba-tiba banyak yang menjodoh-jodohkan dengan  seorang santri bernama Irfan. Dia tetangga temanku mbak Erwina yang ketika masuk pondok langsung kuliah. Anaknya kelihatan baik, pandai Qiro'ah dan sangat dikenal meski baru. Dia bahkan pernah mengajar Qiro'ah di pondokku. Yang membuat aku heran, semua anak langsung bersorak setiap kali dia menunjukku untuk membaca qiro'ah.
Aku bingung dengan sikap semua orang yang kelihatannya menjodoh-jodohkan aku dengan dia, karena kami sama sekali tak pernah bicara langsung. Aku baru tahu maksudnya jauh hari setelah kuliah. Adik kelasku di SMA yang kuliah satu kampus denganku bilang, kalau Irfan menyukai aku, dan selalu membicarakan aku. Ada perasaan senang, tetapi semua berlalu begitu saja, sebab aku tak tahu lagi dia ada di mana.  

KISAHKU 03 - KULIAH DAN PERJODOHAN

Selesai SMA aku kuliah di kota Malang. Karena tidak lulus UMPTN, aku memilih kampus swasta sebagaimana kakakku. Selama di kampus aku tidak punya banyak teman. Selama kuliah aku hanya akrab dengan 3 orang, yaitu Dewi, Hilwa, dan Umi sejak semester 1. Aku mulai ikut beberapa kegiatan kampus, terutama organisasi mahasiswa, sholawatan, menyanyi, dan mc. Bekal ketrampilan selama di pesantren cukup berguna di sini, karena aku sudah terbiasa aktif di pondok.
Secara tak sengaja aku bertemu seorang lelaki bernama mas Samsul, yang ternyata masih satu daerah denganku. Dia mahasiswa senior dan sangat dihormati di kampus. Sedangkan di rumah dia adalah anak seorang tokoh masyarakat sebagaimana orang tuaku.
Aku tidak berpikiran apa-apa saat bertemu dengannya. Kami bahkan hanya berbasa-basi sebentar dan tidak pernah bicara lagi sesudahnya. Aku kaget ketika pulang ke rumah, rupanya dia sudah melamar aku menjadi tunangannya. Aku tidak tahu perasaanku bagaimana saat itu. Aku menerima saja keputusan orang tua, karena aku terbiasa patuh pada mereka.
Waktu berlalu, tetapi tak pernah sekalipun mas Samsul mengajakku bicara. Bahkan menyebalkan karena dia sama sekali tidak menyapaku saat bertemu muka. Dia tidak menemuiku ketika kami sama-sama ada kegiatan di lokasi KKN. Dia bahkan menulis surat yang isinya keberatan ketika tahu aku menyanyi di lokasi KKN. 
Aku menjadi kurang respek padanya, meski aku tetap sadar telah menjadi tunangannya. Teman-teman mas Samsul sangat mengormati aku, karena mungkin tahu hubunganku dengan dia, atau karena dia bilang aku ini adiknya.

Jumat, 27 Maret 2009

KISAHKU 01 - MASA KECIL YANG TERKEKANG

Aku adalah gadis kecil yang punya banyak impian. Aku ingin tampil cantik, menyanyi, menari dan menikmati masa kecil seperti kebanyakan anak seusiaku. Sejak sekolah dasar, aku belum cukup berprestasi di sekolah. Mungkin karena sekolah masa itu belum banyak tuntutan, sehingga aku sekolah asal sekolah saja. Kedua orang tuaku juga tidak pernah menuntut apapun. Mereka bahkan lebih suka aku mengaji dan mengikuti kegiatan keagamaan dibanding sekolah.
Sebenarnya aku berminat sekali tampil di depan umum. Aku sangat menikmati bergabung di grup Qosidah di kampungku. Meski saat itu aku masih tergolong kecil, tetapi beberapa kali aku diminta menjadi penyanyi di grup Qosidah bersama anak-anak yang lebih dewasa. 
Di sekolah sebenarnya aku ingin sekali ikut kegiatan menari di sekolah, tetapi orang tua selalu melarangku. Sebagai orang santri dan termasuk ditokohkan di kampung, orang tuaku malu bila anaknya ikut dong gleng-dong gleng, katanya. Bahkan karena begitu besarnya keinginanku belajar menari, sampai-sampai suatu hari aku memecah tabunganku untuk membeli selendang, tetapi sayang orang tuaku tahu dan memarahiku. Keinginanku pupus oleh ego atau idealisme orang tuaku.
Aku merasa semakin tertutup ketika disekolahkan di Surabaya. Sekolah itu memiliki asrama khusus puteri. Yang sekolah di sana umumnya anak orang-orang kaya pada masa itu, dan aku termasuk orang paling pas-pasan di antara mereka. Orang tuaku bahkan harus menjual perhiasannya ketika harus memenuhi biaya pendidikan di sana.
Meski prestasiku di sekolah cukup menonjol, aku merasa sangat tertekan selama sekolah di sana. Setiap kali diantar ke asrama, aku selalu menangis. Aku tidak betah di sana, tetapi tak bisa menolak kehendak orang tuaku.
Seingatku tak banyak kenangan di sekolah, karena sekolah itu tidak banyak kegiatan lain, selain pelajaran demi pelajaran. Hal yang paling menghiburku hanyalah sikap beberapa guru yang begitu perhatian padaku, karena prestasiku cukup menonjol. 
Selain itu, di tempat itulah untuk pertama kalinya aku tertarik dengan lawan jenis. Waktu masih kelas 1 kebetulan masih bercampur dengan anak laki-laki. Di antara mereka ada seorang anak laki-laki yang aku suka banget.
Aku kagum pada anak itu karena kelihatan sabar, penurut dan pintar di kelas. Mungkin ini yang disebut cinta monyet, tetapi kekaguman itu hanya  kusimpan dalam hati selamanya, sebab setelah kelas 2 aku tak pernah melihatnya lagi.

Sabtu, 07 Maret 2009

PELAJARAN DARI SAHABAT

Kali ini aku berhasil sampai rumah agak sore, sekitar pukul 7.30 malam. Seperti biasa kalau aku lagi pulang sore pasukan kecilku pasti menyambutku dengan dengan sorak sorai., kemudian berebut masuk mobil yang berhenti di depan pintu gerbang.

Tidak seperti biasanya, kali ini istriku juga turut menyambutku di gerbang depan. Dengan wajah geli melihat keceriaan pasukan kecilku, aku menangkap segurit beban batin di sudut matanya. Meski begitu aku tak ingin memudarkan keceriaan mereka. "Jangan masuk dulu, pah" Sahut yang besar.
"Iya kita beli roti bakar dulu" sambung yang kecil.
"OK"

Akupun batal membelokkan kendaraan ke halaman dan terus meluncur ke pusat jajanan di tengah kota. Sepulang kerja aku memang biasa membawa mereka ke pusat jajanan di beberapa sudut kota kecil ini. Kadang hanya makan roti bakar, pisang bakar, terang bulan, atau fried chicken lokal.

Seteleh jajan sana-sini dan putar-putar kota sejenak kamipun meluncur pulang. Belum sampai di rumah, pasukan kecilku sudah tertidur pulas. Terpaksa mereka harus dievakuasi dari garasi satu persatu.

Setelah mandi dan ganti pakaian, kuhampiri segelas kopi panas yang disediakan pembantu di meja kerjaku. Hanya tidak seperti biasanya, kali ini istriku sudah duduk di sana, masih dengan raut wajah yang nampak memendam masalah. Aku tahu, kalau dia bersikap begitu pasti ada sesuatu yang hendak dia bicarakan. "Ada gosip apa nih, Ma?" tanyaku membuka percakapan.

"Ih..., ini bukan gosip, tapi beneran" sergahnya. Aku memang biasa memakai istilah gosip bila tahu ada yang hendak dia bicarakan.
"Trus apaan, tuh?" tanyaku.
Setelah jeda terdiam beberapa saat diapun memulai pembicaraan. "Tadi Farah di sini seharian?"
"Iya?" sahutku keheranan, dan dia hanya terdiam membenarkan.

Farah adalah istri temanku, Arif, yang sekarang jadi relasi usaha kami di rumah. Di antara keluarga kami terjalin komunikasi yang akrab, tapi jarang bahkan hampir tidak pernah kami saling berkunjung berlama-lama. Kalaupun sempat kumpul dan ngobrol santai paling di toko atau kebetulan ketemu di rumah makan.

Selain mengelola usaha di rumah kebetulan Arif juga pegawai pemerintah yang kantornya satu jalur dengan aku. Tidak jarang kami berangkat dan pulang kerja bersamaan.

"Tumben dia di sini berlama-lama. Ada apa?" responku kemudian.
Dengan raut malas dia bilang, "Itu..., katanya si Arif mau kawin lagi"
"O... Jadi, to?" timpalku dengan nada ringan.
"Kamu sudah tahu?" tanyanya keheranan.
"Sudah. Rencananya sudah agak lama kok" Sahutku sembari mengepulkan asap rokok.
"Farah sudah tanda tangani surat ijinnya beberapa bulan yang lalu" sambungku.
"Kamu sudah tahu?" tanyanya lagi.
"Aku kan sering pulang pergi kerja bareng sama Arif"
"Malahan surat itu aku yang ketikan"
"Hah..., gila kamu!" Hardiknya dengan nada marah. Seketika wajah istriku jadi bersungut-sungut mendengar penjelasanku.
"Dia minta tolong dan kebetulan aku kan yang akrab dengan laptop"
"Kamu nggak kasihan sama Farah?"
Sejenak aku terdiam sambil menghisap rokokku yang tinggal setengah batang.
"Aku sudah kasih masukan ini itu, tapi Arif tetap pada keputusannya. Menurutku sikap Farah sendiri terlalu lemah di depan suaminya. Dia memposisikan seperti pembantu di mata suaminya. Lihat saja kalau mereka bicara. Farah kaya bawahan dan Arif jadi atasannya" Jelasku.

"Kamu juga tahu masalahnya apa?"
"hmmm" sahutnya sembari mengangguk.
"Tapi menurutku itu karena mereka tidak bisa berkomunikasi yang terbuka dan seimbang. Jadi wajar, kalau Arif bisa mengambil keputusan tanpa perasaan dan Farah menyerah begitu saja" lanjutku lagi.

"Apa bukan karena usia mereka terpaut terlalu jauh?" timpalnya bertanya.Usia Farah dan Arif memang terpaut jauh. Saat ini Farah baru berusia 20 atau 21, sedangkan Arif sudah susiaku. Mereka menikah saat Farah masih SLTA, dan sekarang kuliahbaru semester V atau VI.
"Nggak juga. Ini soal mind set aja" jawabku.
"Konsep relasi suami-istri mereka memang kaya gitu. Suami adalah raja dan istri jadi dayang-dayangnya"

Beberapa saat kami terdiam. Kulihat beban batin belum sirna dari wajahnya. "Sudahlah..., itu kan urusan rumah tangga orang, kok kamu yang sedih?"

Dia hanya diam tak menanggapi. Segurit kekesalan kulihat semakin membebani wajahnya. Jelas sekali kulihat kulit wajahnya yang putih merona kemerahan, seperti menahan beban. "Sudahlah, itu urusan mereka" sahutku menenangkan.

"Memang Farah cerita sama kamu?"
Dia cuma mengangguk. Aku baru sadar bahwa rupanya masalah Farah jadi beban pikiran istriku. Dari cerita Arif aku sudah tahu, kalau untuk urusan ranjang Farah itu persis istriku. Arif merasa tidak puas dengan layanan istrinya yang tidak peka dan tidak mampu mengimbangi suami dalam urusan asmara. Meski mengalami nasib yang sama, tak sekalipun aku balik menceritakan masalahku padanya atau siapapun secara langsung.

Setelah diam terdiam sejenak dia bilang, "Aku cuma heran saja, kenapa gara-gara masalah sepele kaya gitu aja laki-laki sudah berfikir untuk menikah lagi"
"Sepele itu kan buat kamu yang nggak tahu rasanya"
"Berarti kamu juga seperti itu?"
"Seperti Arif? Ya enggalah..."
"Kamu kan tahu world view dan mind set aku dan dia beda"

"Mereka masih sangat konservatif, yang tidak mungkin menjalin komunikasi secara terbuka untuk urusan seksual. Akibatnya, pihak yang dominan dalam keluarga bisa mengambil keputusan sendiri, dengan mengabaikan pertimbangan perasaan. Sementara pihak yang inferior hanya bisa mengalah dan pasrah, serta memberikan pembenar atas nama keyakinan. Padahal keterbukaanku pada kamu saja tidak secara signifikan menyelesaikan masalah yang sama, kan?"

Dia hanya diam tersipu mendengar penjelasanku. Secercah cairan bening mengembang di pelupuk matanya, tapi wajah cantiknya kian berseri menahan haru. Tiba-tiba saja tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. "Kamu nggak akan kaya dia, kan?" tanyanya mengiba.

Aku hanya terdiam memandanginya, lalu kubilang, "Buat aku, poligami itu menyelesaikan masalah dengan masalah. Itu mungkin hanya menyelesaikan satu masalah, tapi mengundang lebih banyak masalah lagi, karena buatku menikah adalah menjemput masalah. Biasanya itu terjadi pada mereka yang tidak begitu dekat dengan anak-anaknya. Mereka tak perlu berfikir bagaimana perasaan anak-anaknya dengan kehadiran ibu tiri, bahkan tidak peduli dengan perasaan istrinya sendiri. Sedangkan aku..." sejenak kalimatku terpenggal untuk menyulut sebatang rokok lagi.

"Aku gak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anakku saat sudah besar nanti. Mereka hidup di jaman yang keadaannya mungkin sudah jauh berbeda dari masa kita saat ini, mendapati dirinya masih seperti manusia tempo doeloe dengan kehadiran ibu dan adik tiri. Nggak lucu, ah..." paparku sembari tergelak.

Kulihat rona wajahnya kian berbinar mendengar penjelasanku. "Aku tahu belum bisa jadi perempuan seperti yang kamu harapkan. Aku nggak tahu kenapa?" sahutnya sembari merengkuhku.

"Nggak apa-apa, sayang. Buatku kamu dan keluarga ini adalah yang terbaik yang kumiliki"
"Tapi kamu nggak puas sama aku"
"Nggak masalah. Aku juga tidak menuntutmu seperti ini dan itu"
"Terus kamu gimana?"
"Apanya?" tanyaku berlagak pilon.
"Ih... itunya..." sergahnya sembari mencubit lenganku.

"Sudah hampir 10 tahun, dan kurasa aku bisa mengatasinya"
"Gimana? Aku kan cuma bisa segitu"
"Ya..., kurasa seks tidak hanya bisa disalurkan lewat ML aja"
"Gimana?"
"Ya, aku kan dah biasa selingkuh"
"Ih... ngawur. Orang ditanya baik-baik kok"

"Ya, aku bisa salurkan lewat self-service, chatting, nonton BF, dan sesekali dengan kamu pas lagi mood"
"Ntar keterusan lagi"
"Ya enggaklah... You know, aku sangat rasional dan tahu yang mesti kuprioritaskan"
Kebetulan istriku kurang peka pada urusanku. Dia tak pernah berusaha cari tahu yang aku lakukan semalaman di depan laptop. Mau sekedar browsing, chatting, swinging, dia tak peduli. Yang penting aku selalu pulang, dan ada saat dia membutuhkan aja. Aku juga berusaha tidak membuatnya bertambah masalah dengan mengeluh dan menuntut ini dan itu.

"Memang kamu bisa puas seperti itu?"
"Tentu saja tidak. Tapi kan lumayan bisa sublimasikan beban perasaan"
"Atau sesekali selingkuh juga boleh"
"Ih... ngaco lagi" sergahnya sembari kencubit pinggangku.

Sejurus kemudia aku melanjutkan. "Buat aku lebih baik selingkuh tanpa sepengetahuan kamu dari pada poligami"
"Dosa kamu!"
"Habis gimana? Lebih baik aku berdosa sama Tuhan dan berdosa karena berdusta sama kamu, dari pada bikin kamu sedih dan cemburu setiap hari karena lihat istri mudaku. Ha... ha.. ha..."
"Sialan..." sergahnya sembari merengkuhku sembari berusaha mencubitiku.

Setelah tenang sejenak aku kembali melanjutkan. "Intinya, aku berani menanggung resiko apa saja demi harmoni keluarga kita. Tuhan pasti kebangeten kalau menyiksa aku. Di dunia saja sudah tersiksa karena nahan-nahan kaya gini, masa tega sih nyiksa orang di alam sana" jelasku sembari berkelakar.

"Eh..., ngomong-ngomong ada acara ngga malam ini? Sudah libur sebulan lebih, nih..." Rayuku mengalihkan pembicaraan. Biasanya saat-saat seperti kan hampir selalu berending ML.
"Nggak sekaranglah..." sahutnya.
"Lho, kenapa?"
"Males, ngantuk banget, capek. Seharian nggak istirahat. Dah ya, aku tidur dulu" jawabnya sembari meluncur ke kamar tidur.
Ya... ?????

Kamis, 05 Maret 2009

INGIN SELALU KERAMAS

Aku adalah pelanggan setia toko mbak Nur dan mas Yanto. Setiap kali persediaan rokokku habis, entah pagi, siang, sore, atau malam hari, aku pasti meluncur ke sana. Kebetulan hanya toko mereka yang jual rokok yang paling akrab denganku.

Sejak menikah aku memang jadi perokok berat. Padahal sebelumnya termasuk kelompok anti rokok. Mungkin kalau MUI haramkan rokok sebelum aku menikah, aku pasti jadi pendukung utamanya, tapi tidak kali ini. Karena fatwanya terlambat, ya tentu saja aku jadi penentang terberatnya.

Rokok boleh haram buat orang lain, tapi tidak buatku. Rokok telah terlanjur jadi sahabat setiaku, yang paling tahu perasaanku, yang selalu setia membelai relung dadaku, hatiku, perasaanku. Dalam sehari minimal aku perlu 2 bungkus hingga 4 bungkus. Boros memang, tidak sehat memang, tapi sulit sekali membayangkan hidup tanpa rokok.

Setiap kali ke toko mereka kadang aku hanya ketemu mbak Nur atau mas Yanto saja, tapi tidak jarang aku ketemu keduanya di tokonya yang tidak terbilang besar. Sebenarnya sih tidak ada yang istimewa dari keduanya ataupun tokonya. Mereka hanya pasangan suami-istri yang kira2 berusia 45 - 50 tahunan, dengan usaha bertani dan membuka toko kelontong kecil-kecilan.

Aku selalu melihat mereka begitu riang mengelola kios kecilnya bersama-sama. Sepertinya keluarga pas-pasan itu begitu harmonis. Anak-anaknya yang sudah beranjak remaja tampak jarang membantu mereka di toko, tapi mas Yanto tak segan2 membantu istrinya dengan suka rela, mulai dari kulakan bensin, melayani pembeli hingga bersih-bersih toko.

Yang aku heran, hampir setiap kali ke tokonya aku selalu mendapati mereka kelihatan habis keramas. Rambut keduanya basah atau kalaupun kering kalihatan kalau habis keramas. Tidak peduli ketemu pagi, siang, sore atau malam hari, aku selalu melihat mereka seperti habis "mandi besar".

Sebagai orang dewasa tentu saja aku berfikir, apakah yang kulihat itu karena mereka habis ML? Sebegitu seringkah? Pagi, sore, siang, malam? Apakah itu yang membuat mereka kelihatan harmonis? Bagaimana mereka bisa masih sebegitu mesra saat anak-anaknya sudah beranjak dewasa?
Saat kebetulan mampir ke tokonya bersama istriku, aku menggoda keduanya. "Wah... ini nggak pagi, nggak siang, nggak malam, keramas terus... Hayoo... habis ngapain" godaku.
Dengan tergelak mereka menimpali. "Ngapain lagi, masa nggak tahu?"

Rupanya keduanya paham pada sindiranku, dan seolah membenarkan apa yang jadi dugaanku selama ini.
"Ya pasti tahulah.... Kita juga ikut senang. Itu artinya harmonis" sahutku.
"Ya hidup mau apa lagi kalau nggak dinikmati, ya nggak, bu?" sahut mbak Nur sembari tertawa. Istriku hanya tersenyum kikuk.
"Kalau dinikmati sekarang kapan lagi, ya pak?" timpal suaminya.
Kami hanya tertawa tanpa sempat mengiyakan. Dalam hati aku membenarkan. Kita hanya hidup berapa tahun. Bahkan kupikir mestinya memang tidak ada waktu untuk menunggu dan menunggu menikmati hari-hari itu. Cuma persoalannya jalan hidup orang memang tidak sama.

"Sampeyan malah lebih enak, bu. Masih mudah, lebih sehat, dan punya segalanya" timpal istrinya kemudian.
"Punya apa? Sama saja. Yang penting cukup dan pada rukun aja, kan?" sahut istriku.
"Lho, kalau kita kan cuma hidup pas-pasan. Yang bisa dinikmati cuma itu, ya nikmati aja" timpal suaminya sembari disambut gelak tawa.

Sebelumnya aku memang sering cerita sama istri saol mbak Nur dan mas Yanto yang selalu keramas. Dia tidak percaya kalau itu karena mereka sering ML. Sampai di rumah aku bilang sama istriku. "Tuh... bener, kan kalau mereka memang sering keramas?"
"Alah..., kamu itu memang sembarangan aja kalau ngomong sama orang" sahutnya sengit.
"Tapi bener, kan?"
Dia hanya dia saja, lalu aku bilang padanya "Terus terang aku iri pada mereka. Mereka begitu menikmati kehidupan suami-istri, terlepas keadaan ekonominya seperti apa" Dia hanya tersenyum kecut dan
berusaha tidak begitu merespon.

Istriku memang tidak pernah berubah. Dia tetap seperti sebelumnya, dingin, kaku, dan gak interest untuk urusan yang satu itu, tanpa sedikitpun berubah. Hayalanku saja yang maksain aku bikin happy ending dengan happy moment semu, sekedar untuk menghibur diri. Demi nama baik , harmoni, dan anak-anak, cuma kesibukan, rokok, dan swalayan aja yang tetap jadi pelarian paling amanku
hingga detik ini.

Sering kali aku sudah patah arang, aku menyerah dan tak percaya perubahan itu kan terjadi. Aku percaya kata para ahli, kalau es kutub utara dan selatan mulai mencair karena pemanasan global, tapi aku tak percaya yang ini bisa mencair seabad lagi. Kalau yang beku air memang bisa cair, tapi kalau batu cuma bisa pecah aja...

Meski begitu, kadang aku berusaha sesekali. Kali ini akupun mencoba menggoda, "Ma, aku kok jadi pengen keramas, to"
"Ya sudah, sana. Sampo, sabun semua ada kok" sahutnya sembari nyelonong pergi.
"Nah, lho...????????"

Akupun cuma bisa bengong. Keramas aja? Ampun.... Maksudku kan bukan cuma keramas.... tapi sebelum keramas pengennya ya kaya mbak Nur dan mas Yanto itu.

Dasar nasib... nasib...

Senin, 16 Februari 2009

SURAT CINTA BUAT MAMA LAGI


Papa tidak tahu bagaimana harus bicara pada mama. Papa tahu, mama tidak pernah tertarik untuk membicarakan masalah ini. Setiap papa mencoba bicara, mama selalu menghindar, mengalihkan, menyangkal dengan berbagai alibi, tersinggung dan sering kali naik darah.
Kadang papa berfikir, mungkin seharusnya papa bicara sama orang lain saja, bukan sama mama.  Sebenarnya papa pesimis mama mau merespon secara positif, tapi papa ingin mencoba sekali lagi bicara, siapa tahu mama bersedia berbagi dan syukur-syukur berubah.
Terus terang, papa sangat tertekan dengan pola hidup dan kehidupan asmara kita selama ini.
PERTAMA: Sikap mama selalu penuh ketegangan yang membuat hidup kita terasa penuh tekanan. 
Papa menyaksikan mama selalu menyambut pagi dengan wajah tegang dan keluh kesah. Setelah itu, dengan wajah tegang pula buru-buru ke sekolah.
Sepanjang hari mama mondar-mandir seperti tak sabar, tak puas melihat kinerja semua pegawai. Sesekali mama keluar masuk rumah, melakukan ini dan itu dengan wajah tegang.
Sore hari, mama pulang ke rumah dalam keadaan kelelahan. Praktis hingga malam hari papa hanya melihat wajah cantik mama ber-make up kelelahan, tampak lusuh tanpa daya.
Wajah cantik dan tubuh molek yang sangat papa kagumi itu tergolek lemas tanpa daya, tanpa gairah. Itupun sering masih ditambah sikap BT kalau anak-anak kita kadang rewel.
Di mataku, mama adalah wanita tercantik dengan tubuh paling menggoda. Tapi gairahku selalu sirna melihat tubuh molek itu seolah tanpa jiwa. Ketertarikanku, hasratku dengan mudah pudar oleh sikap dingin yang seakan tak menyimpan gairah untuk bercinta dan menikmati hidup.
Papa tahu, mama merasa tidak ada yang salah dengan semua itu, tapi tidak demikian buat papa. Papa ingin hidup kita lebih mengasyikkan, penuh semangat, penuh gairah dan semua terasa indah.
KEDUA: Papa kian tidak nyaman dengan hubungan kita sebagai suami-istri yang semakin hari terasa kian tidak harmonis.
Papa sudah sering mengatakannya, tapi tidak pernah direspon mama, tetap saja tidak ada yang berubah. Papa merasa hubungan kita kian hambar dan tak bermakna.
Sudah sekitar 3 tahun kita pisah ranjang di usia pernikahan yang seharusnya memasuki masa-masa paling hangat. Kita kian jarang bercinta. Belum tentu seminggu, bahkan sebulan sekali kita bercinta, bahkan sekedar menghabiskan bercengkerama berdua.
Sepertinya mama menganggap kita masih baik-baik saja. Mama sepertinya merasa telah melayani kebutuhan papa lebih dari cukup. Mama tidak mau tahu bahwa papa merasa sebaliknya. Mama sama sekali tidak menganggap kita sedang bermasalah, apalagi berusaha memperbaikinya.
Buat papa ini sangat menyedihkan dan menyiksa. Rasanya seperti menikahi nenek cantik yang sudah menopouse, yang tak merasa butuh bercinta, yang hanya butuh dibantu dan ditemani.
Yang perlu mama tahu, punya 4 orang anak bukan ukuran bahwa kebutuhan sexual tercukupi. Agar mama hamil, kita hanya perlu satu kali hubungan sex saja. Sedang untuk memenuhi kebutuhan batin, yang kita lakukan selama ini jauh dari mencukupi.
Papa masih terlalu sehat untuk jalani kehidupan seperti ini. Papa haus kehangatan wanita dan menikmati hidup seperti pasangan seusia kita.
KETIGA: Bertahun-tahun papa mencoba mengerti kondisi mama. Papa berusaha menyukuri keadaan mama sebagai wanita istimewa, berbeda dari perempuan kebanyakan.
Mama adalah wanita yang “terlalu baik”, yang tidak mudah tergoda oleh hasrat sex. Mama “terlalu bersih”, sampai-sampai tidak memiliki fantasi romantis dalam bercinta yang mampu mewarnai kehidupan sexual kita.
Sebenarnya mama wanita normal, tapi hasrat, gairah dan sensitivitas mama telah dimatikan oleh pola pikir yang menganggap sex sebagai sesuatu yang memalukan, kurang penting dan bisa diabaikan. Mama bahkan kelihatan risih untuk sekedar membicarakannya.
Akibatnya, mama terlalu dingin dalam bercinta. Kehidupan sexual kita jadi sering terasa hambar, sering mengecewakan, kurang mengasyikkan, dan terlalu jarang.
Mama kehilangan sensitvitas bercinta, tidak mudah terangsang, tidak tanggap pada ajakan bercinta, dan hampir-hampir tidak pernah mengalami beratnya menahan hasrat yang menggebu.
Selalu butuh energi luar biasa untuk membuat mama siap bercinta. Satu-satunya saat di mana mama bergairah dan siap bercinta hanyalah saat mahkota mama dikulum papa.
Mama terlalu enggan untuk memahami kebutuhan papa sebagai laki-laki. Meski mama tahu papa sering bilang tidak puas, tapi mama seperti tidak peduli. Mama seperti sama sekali tidak bisa merasakan seperti apa dan seberapa berat apa beban batin yang papa alami. Mama tak pernah kelihatan menyesal atau merasa bersalah karena menolak ajakan bercinta.
Mama belum punya empati, hingga tidak bisa merasakan betapa berat rasanya menahan hasrat. Mama tidak tahu kan seberapa sering, kapan saja, di mana saja dan bagaimana saja cara bercinta yang papa butuhkan?
Mama kelihatan belum merasa butuh untuk memuaskan diri mama sendiri, apalagi memuaskan papa. Mama kelihatan belum benar-benar menikmati dan menganggap bercinta sebagai kebutuhan. Makanya, mama tidak pernah berinisiatif mengajak papa bercinta karena keinginan mama sendiri.
Sikap mama setiap bercinta masih kurang mengasyikkan, kaku, tidak luwes, seperti baru pertama kali melakukannya. Selain itu, selalu ada ribuan alasan, aturan, dan hal-hal yang mama khawatirkan setiap kali bercinta.
Seperti sejak awal menikah dulu. Mama biasa enggan bercinta hanya karena malu kelihatan habis keramas, ada banyak orang, korden terbuka dan sebagainya. Rasa malu, kuatir ini dan itu, serta berbagai hal terlalu mudah mengalahkan kebutuhan untuk bercinta.
Mama memang selalu bilang siap bercinta, tapi kenyataannya wajah mama yang kusut, ngantuk dan tidak bergairah itu sama sekali tidak mendukung yang mama ucapkan. Mama masih dengan mudah menolak, mendiamkan, bahkan menganggap aneh ajakan papa untuk bercinta.
Papa sering mencoba menggoda mama, tapi tidak ada respon berarti. Sepertinya yang papa goda cuma tubuh mama, sedangkan hati dan pikiran mama entah ada di mana.
Yang paling menjengkelkan, mama terlalu membatasi saat bercinta dengan waktu, tempat, keadaan dan aturan. Seolah mama tidak peka, tidak sadar bahwa sikap itu sangat mengecewakan dan membunuh gairah.
Mama sering bilang, “Cepetan, keburu ngantuk”, “jangan sekarang”, “jangan di sini”, “ini bukan bolliwood”. Mama seperti tidak tahu, bahwa itu artinya mama tidak membutuhkan. Kalaupun mama mau, mama hanya melayani papa, padahal papa tidak butuh pelayan. Papa butuh seseorang yang membutuhkan papa.
KEEMPAT:  Sejak menikah papa merasa kesulitan bicara dengan mama dari hati ke hati tentang masalah pribadi semacam ini.
Mama selalu bersikap reaktif setiap kali menanggapi pembicaraan. Mama biasanya langsung menolak, menentang balik apa yang papa bicarakan atau minimal diam saja. Ini membuat papa sering merasa kurang nyaman kalau bicara dengan mama.
Dengan sangat terpaksa papa sering memilih bicara dengan orang lain yang mau mendengar dan mengerti keluhan papa. Untung saja, sejauh ini belum terjadi apa-apa antara papa dan mereka.
Sering pula terbersit di pikiran papa untuk menyalurkan hasrat di luar sana, tapi sampai hari ini secara mental papa belum siap melakukannya. Kalau sudah benar-benar tak tahan, papa memilih masturbasi, sebuah kebiasaan yang justeru sering papa lakukan sejak menikah.
Tentu bukan ini yang papa inginkan. Papa ingin mama, bukan orang lain, bukan ilusi papa sendiri. Tapi kalau mama memang tak mungkin berubah, sepertinya ini satu-satunya pilihan.
KELIMA: Setelah menikah sekian lama, papa ingin kita bisa memperbaiki pola hidup dan kehidupan asmara kita selama ini.
Pertama, papa ingin wajah anggun mama tidak diselubungi dengan ketegangan demi ketegangan. Papa ingin melihat mama lebih rilex, penuh gairah dan menikmati hidup.
Papa tidak ingin melihat wajah kusut dan kelelahan itu. Papa tidak ingin berada di dekat tubuh indah tanpa jiwa.
Kedua, papa ingin mama memahami betapa selama ini papa merasa tersiksa oleh hasrat yang lebih banyak tertahan.
Papa ingin mama bersedia membicarakan dari hati ke hati, belajar memahami dan menerima kenyataan bahwa kebutuhan laki-laki seperti papa tidak seperti yang mama pikirkan.
Yang mama berikan pada papa selama ini masih jauh dari cukup. Gairah papa muncul sewaktu-waktu, sejak bangun tidur hingga tertidur kembali.
Papa selalu merasa sangat tertekan, suntuk, dan pikiran terasa buntu setiap kali hasrat itu muncul dan mama tak berminat menyapanya. Papa merasa sangat kecewa dan menderita setiap kali mama menolak dan tidak mempedulikannya.
Papa ingin bisa bercinta dengan mama setiap saat, tanpa batasan waktu, tempat atau keadaan. Bahkan saat mama menstruasi, papa berharap mama bisa bantu menyalurkan hasrat papa dengan semua cara yang mama bisa.
Papa tahu, tak mudah buat mama untuk berubah, tapi papa yakin mama bisa, mama cuma tidak biasa, dan belum bisa menganggapnya penting. Papa yakin mama tak keberatan untuk bicara, dan kita perbaiki kehidupan kita bersama-sama.