Selasa, 11 Juni 2013

RUNTUHNYA CINTA SUAMI-ISTRI

Sejak aku tahu yang istriku lakukan dengan mantan pacarnya, aku kehilangan hasratku untuk bercinta dengannya. Sebenarnya sudah lama aku merasakan perubahan itu pada diriku, sekitar tahun 2010-an sejak dia mulai kian intens kontak dengan mantannya.
Terus terang aku sangat kecewa mengetahui istriku masih begitu sayang dan perhatian pada lelaki itu. Aku berfikir telah menikahi orang yang salah. Aku merasa bukan lelaki yang dia inginkan, meski akhirnya menikahinya. Aku bahkan sudah menyiapkan mentalku andai saja mereka memang ingin bersama kembali, aku sudah siap merelakannya.
Hingga beberapa waktu, aku sengaja membiarkan istriku menikmati nostalgia dengan mantannya. Aku ingin tahu bagaimana akhirnya. Kadang geli juga lihat sikap istriku selinthutan di belakangku. Dia mencoba menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya aku sudah tahu dan paham. Aku bahkan masih menyimpan rekaman telepon dan SMS mereka. 
Sering kali aku bahkan dijadikan pelampiasan hasrat istriku pada kekasihnya. Setiap habis telepon berlama-lama dia selalu memaksaku bercinta. Aku menurut saja, meski aku tahu dia mungkin bermaksud menutupi perbuatannya atau melampiaskan padaku hasrat bercinta yang sebenarnya tertuju pada mantan kekasihnya.
Tanpa kusadari sikapku ternyata banyak berubah padanya. Pada dasarnya aku merasa tak nyaman lagi bersamanya. Andai bukan karena anak-anakku aku sangat ingin berpisah darinya. Itu sebabnya aku jadi enggan pulang. Aku memang lebih suka menghabiskan waktu di kantor meski tidak ada pekerjaan yang perlu aku lembur. Aku butuh tempat baru yang nyaman buatku.
Rupanya perubahan sikapku diketahui istriku. Berulang kali dia mendesakku menjelaskan mengapa sikapku berubah, mengapa aku enggan pulang, mengapa aku enggan mengajaknya bercinta. Karena terdesak, terpaksa aku jujur padanya. Aku katakan terus terang kalau aku tak lagi nyaman bersamanya. Aku tak percaya lagi padanya setelah tahu yang dia lakukan di belakangku.
Seketika itu dia menangis dan minta maaf. Dia tak menyadari hatinya telah mendua. Dia mengaku terbawa suasana saat kembali menjalin kontak dengan mantan kekasihnya, tanpa bermaksud selingkuh. Dia hanya memuaskan hasrat batinnya, dan tak pernah terlintas akan berhubungan intim dengan lelaki itu. Dia berjanji akan memperbaiki diri dan tak ingin aku mengakhiri pernikahan ini.
Aku tak peduli dengan semua yang dia janjikan dan yang akan dia lakukan, sebab bagiku tidak lagi ada bedanya. Di mataku, dia bukan orang yang mencintaiku. Hatiku tak dapat menerimanya, karena aku tahu ada orang lain yang begitu berarti di hatinya. 
Aku tahu, kalaupun dia tak lagi berhubungan dengan lelaki itu, bukan berarti rasa itu tidak ada, tetapi demi menjaga perasaanku. Sejak tahu semuanya, perasaanku tak perlu dia jaga. Aku justeru kasihan padanya yang harus menikah denganku, bukan orang yang dia cintai. Aku bahkan memintanya melakukan apapun yang dia suka, karena bagiku tak lagi ada bedanya. 
Aku sudah bertekad  menemukan jalan bahagiaku sendiri, dan itu bukan bersamanya. Aku akan tetap bersamanya sebagai suami yang punya kwajiban dan tanggung jawab, tapi tidak dengan hatiku. Dia tak lagi berarti apa-apa bagiku. Dia hanya  istriku, bukan kekasihku. Aku tak membencinya, meski hatiku tak lagi bersamanya. 
Aku hanya berusaha memenuhi kwajibanku sebagai suami, yang akan selalu melindunginya, dan memberinya nafkah lahir batin. Terus terang aku merasa tak lagi membutuhkannya, tak tertarik lagi padanya, tapi sebagai laki-laki normal aku masih bisa memenuhi hasrat seksualnya setiap kali dia minta.
Entah karena berusaha menebus rasa bersalah atau apa, dia kian sering mengajakku bercinta dan akupun melayaninya. Aku hanya memandangnya sebagai seorang perempuan sebagaimana perempuan lain, hitung-hitung dari pada ke lokalisasi. 
Belakang aku kian tidak respek pada perempuan itu. Sejak ketahuan selingkuh dia kian giat mencari-cari kesalahanku. Dia mengorek semua catatanku, buku harianku dan semua emailku. Setiap waktu dia berusaha menyerangkan. Dia ingin menunjukkan kesalahannya sepadan, bahkan tidak ada apa-apanya dibanding kesalahanku. 
Aku kian muak padanya, dan kian enggan bercinta dengannya. Berulang kali dia berharap aku kembali berinisiatif dalam bercinta. Dia ingin aku merasa membutuhkannya, tetapi aku sikapnya membuatku kian tak respek lagi padanya. Aku hanya melayani bercinta kalau dia minta. Selebihnya, aku lebih suka asyik dengan diriku sendiri, anak-anak dan pekerjaanku.
Belakangan dia berubah. Dia tak mau lagi mengajakku bercinta. Dia tak pernah lagi meminta. Dia tak mau melakukannya kecuali aku meminta, padahal berulang kali aku tegaskan padanya, bahwa aku tak lagi membutuhkan apa-apa darinya. 
Bercinta menjadi satu-satunya pengikat batinku dengannya beberapa waktu terakhir. Setelah dia putus asa, usai sudah ikatan hatiku dengannya. Aku hanya menunggu jalan sejarah berikutnya.