Sabtu, 22 Juni 2013

AKU DAN KAMU, BUKAN PASANGAN BAHAGIA

Ada perasaan ganjil yang kurasakan sejak awal kita menikah. Ada perasaan tak nyaman di hatiku sejak malam pertama, bahkan sejak kita melangsungkan akad nikah. Aku sering bertanya pada diri sendiri, seperti inikah perasaan setiap orang yang sedang menikah? 
Aku merasa kamu tak sepenuh hati menerimaku sebagai suamimu. Kamu kelihatan enggan menemaniku sekalipun kamu tengah berada di sisiku. Aku merasa kamu seperti ingin menjauh dariku andai saja kau punya alasan untuk itu. Kamu begitu mudah keluar-masuk kamar untuk urusan yang mestinya tak lazim buat sepasang pengantin baru. 
Nada bicaramu sering kali tak simpatik padaku, sama sekali tak menggambarkan seorang yang tengah berniat mengarungi bahtera rumah tangga. Kamu begitu bangga pada dirimu, teman-temanmu, dan mantan kekasihmu. Kamu seakan berusaha menegaskan padaku betapa pernikahan ini sebenarnya bukan keinginanmu.
Kamu baru mengubah sikapmu saat aku katakan betapa aku kecewa dengan semua itu. Sikap, kata-kata dan tangisanmu malam-malam itu tampak kau tujukan untuk meyakinkan bahwa aku adalah pilihan hatimu. Berulang kali kau tegaskan tak ingin berpisah dariku, meski aku tak melihat itu di matamu. 
Bahkan di banyak kesempatan sering kali aku melihat kamu tak respek padaku. Kamu begitu sering menyepelakan aku dan pekerjaanku. Aku selalu ingat setiap kali kamu bilang, "Dibayar berapa sih?" atau "Mana sih teman kamu yang bisa dibilang sukses?"
Sejujurnya aku ingin sekali pergi darimu. Aku tak nyaman, aku sangat tertekan  bersamamu. Aku ingin sekali mengakhiri pernikahan yang mengecewakan ini, meski aku tak bisa bayangkan bagaimana perasaan orang tuaku. Aku pasti tak akan menolaknya andai saja kamu yang menghendaki berpisah.
Beberapa waktu yang lalu aku menyimak potret-potret keluarga kita dari waktu ke waktu. Aku sering tersenyum melihat kelucuan anak-anak kita sejak kecil dulu, tapi tak sekalipun kudapati kau tersenyum dalam potret-potret itu. Aku tak melihat senyum dan keceriaanmu seperti potret-potretmu sebelum bersamaku.
Aku tak percaya waktu kamu bilang kamu bahagia bersamaku. Aku tahu kamu juga tak bahagia bersamaku. Bagaimanapun ini bukan pernikahan yang kau ingini. Aku tahu, kau masih memendam mimpimu yang dulu meski tak pernah kau akui di hadapanku. Padahal satu-satunya keceriaan yang kusaksikan di wajahmu hanyalah saat kau merasa bebas bercengkerama dengan masa lalumu.