Rabu, 29 Juli 2009

KISAHKU 16 - AIR MATA DALAM SENYUMAN



Sore itu aku dan suami pulang dari ladang. Kebetulan aku dan suami sedang mencoba usaha sederhana. Kami memelihara beberapa ekor ayam yang sebagian sudah bertelor. Suami kelihatan bersemangat melakukan tugas-tugas yang sebenarnya tidak biasa dia lakukan selama ini.
Kami juga menanam sayur sawi di kebun dekat rumah. Kami begitu bersemangat karena selain mengandalkan gaji suami sebagai pegawai, kami berharap bisa menyandarkan hidup dari beberapa jenis wirausaha yang sudah kami rencanakan.
Pulang dari kebun sore itu, Anny, adikku memanggilku dengan tegopoh-gopoh. "Mbak Tut. Cepetan ada telepon"
Aku bergegas mendatanginya. Dengan raut berbinar-binar dia menyerahkan gagang telepon padaku. Aku terkejut, rupanya Zaenal menelponku sore itu. Sepanjang sore rupanya Anny berbicara panjang lebar lewat telepon.
Aku tak bisa berbicara banyak. Selain kaget, aku tak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Beberapa waktu ini aku sama sekali tak memikirkan dia. Apalagi sejenak kemudian suamiku sudah menyusulku dan masuk kamar yang kebetulan dekat meja telepon.
Aku hanya cengar-cengir menahan perasaan kaget tanpa tahu apa yang harus kukatakan. Praktis aku hanya menjawab salam dan kabar darinya, serta mengiyakan beberapa pertanyaan yang aku tak ingat lagi. Aku hanya berharap segera mengakhiri telepon dia, dan menyusul suamiku yang gelagatnya kurang enak hati.
Tak lama kemudian aku mengakhiri telepon dan menyusun suamiku ke kamar. Perasaanku tidak enak saat kulihat dia sudah tertelungkup di tempat tidur. Perasaanku sendiri tak nyaman dengan telepon itu, tapi aku mencoba berpura-pura tak merasakan apa-apa. Segera saja kurengkuh tubuh suamiku untuk menyingkirkan rasa tak nyaman di hatiku.
Beberapa saat kemudian aku menyadari suamiku tidak enak hati dengan telepon sore tadi. Rupanya tahu siapa yang menelponku sore itu. Sikap Anny yang cengar-cengir tadi kemungkinan membuatnya menduga-duga siapa yang menelponku.
"Mas..." Panggilku beberapa kali. Aku berusaha membuatnya bangkiit dan berbicara, tetapi beberapa saat dia hanya telungkup terdiam. Saat kuraba wajahnya, kurasakan air mata telah membasahi pipinya.
Dia baru bangkit saat maghrib tiba, dan segera beranjak ke kamar mandi. Perasaanku sangat tidak nyaman dengan sikapnya. Kulihat wajahnya begitu suntuk karena tahu Zaenal menelponku.
Usai sholat aku segera merengkuhnya lagi. Aku berharap bisa menenangkan hatinya. Aku jelaskan padanya bahwa aku dan dia sudah tidak ada apa-apa lagi. Dia hanya telepon Anny dan sekedar tanya kabar, karena beberapa waktu sebelumnya sempat lewat depan rumahku.
Suamiku tidak mengatakan apapun. Hanya air mata yang terus bercucuran yang aku tak bisa mengerti artinya. Sepertinya dia sangat terganggu oleh kehadiran Zaenal dalam kehidupanku saat ini, bahkan di masa laluku. Dia mencoba tersenyum meski air mata semakin deras mengucur dari pelupuk matanya.
Aku tak henti merayunya dengan segala yang aku bisa. Meski semalaman dia sama sekali tak bicara, dia masih mau melayani ajakanku bercinta malam itu. Aku baru merasa lega saat melihatnya tertidur pulas dalam pelukanku.


KISAHKU 15 - BUKU HARIAN SUAMI


Hidupku begitu berwarna di hari-hari pengantin baru. Aku merasa sangat bahagia dan begitu nyaman bersama suamiku. Ada seseorang yang selalu mendampingiku dan memanjakanku. Setiap saat dia mencium, membelai dan memelukku, yang membuatku merasa bagai seorang puteri.
Aku merasa sangat beruntung menikah dengan lelaki yang begitu penyayang. Dia bahkan memanggilku "sayang" sejak hari pertama pernikahan, hingga membuat iri adikku. 
Dia juga begitu perhatian, bahkan mampu berperan sebagai suami lebih dari yang aku bayangkan. Dia mau membantuku melakukan banyak hal, hingga hal-hal kecil, seperti memasak dan mencuci pakaian. Bahkan saat aku sakit telinga, dia tidak segan menghisap telingaku yang beberapa hari terasa sakit dan dipenuhi nanah. 
Dia biasa memijit tubuhku dan mengurutkan minyak pijit ke sekujur tubuhku bila aku merasa lelah atau kurang enak badan. Aku tahu, setiap habis memijitku, ujung-ujungnya dia mengajakku bercinta, tetapi aku suka cita melayaninya. 
Banyak hal baru kupahami dari suamiku. Dia punya wawasan yang begitu luas dalam hal agama maupun kehidupan sehari-hari. Banyak hal baru aku pahami dari dia, berbeda dari yang biasa dipahami oleh kebanyakan pemahaman yang aku dengar. 
Aku menjadi belajar banyak hal, dan memahaminya banyak hal dengan logika yang terasa baru buatku. Apalagi aku memahaminya dengan proses yang begitu indah dan penuh kasih sayang.
Saat dia pergi ke Jogja untuk kuliah, aku mencoba membuka-buka bukunya. Aku menemukan buku harian suamiku dan mencoba membacanya. Dia bercerita banyak hal yang sebagian terasa lucu, serius hingga menyedihkan. 
Aku merasa terhenyak saat membaca bagian catatannya di hari-hari pernikahan kamu. Rupanya dia benar-benar menyesal telah menikahi aku. Dia merasa sudah salah memilihku sebagai istri. Masa laluku dan perasaanku pada Zaenal menjadi masalah yang paling dia sesalkan. Di balik sikapnya yang begitu baik padaku, rupanya dia memendam perasaan sebaliknya.
Aku kaget, sangat sedih dan tersinggung mengetahui semua itu. Aku langsung telpon mbak Um dan Zaenal untuk menceritakan semua itu. Mereka menenangkanku dan berharap aku segera bisa menyelesaikan masalah itu dengan suamiku. 
Akupun berusaha menguatkan diri menghadapi kenyataan itu. Aku bahkan bersiap merelakan andai kata suamiku meninggalkanku. Dalam hati sempat terbersit rasa, aku memang menikah dengannya bukan karena pilihan, bukan kemauanku.  Kalau akhirnya harus berakhir di awal pernikahan, kurasa ini kesempatan buatku menunjukkan betapa pilihan orang tuaku tak selalu yang terbaik. 
Meski demikian, aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku saat suamiku menelpon. Dengan nada sedih, aku bahkan tegaskan padanya, kalau ternyata dia memang tak bisa bersamaku. 
Dia bergegas pulang dan menenangkanku. Kami bicara panjang lebar. Dia memintaku membaca bagian lain buku hariannya. Dia mengakui menyesal menikahiku, karena menurutnya aku belum sepenuhnya melupakan masa laluku, dan aku tak bisa memungkiri dan hanya bisa mengakui semua itu.
Dia juga menuliskan betapa dia kasihan padaku. Setelah tahu cerita lengkap kehidupanku sebelum menikah, dia memahami betapa berat tersiksanya aku dengan beban batin yang selama ini kuhadapi.
Dia sudah memutuskan ingin membahagiakanku. Dia merasa tak pantas membuat aku terluka saat harus hidup bersamanya. Dalam buku itu dia menuliskan, “Aku sedih harus menikahi kamu, tapi sudah menderita sekian tahun akibat sikap orang tuamu yang tak rasional. Pantaskah aku bila harus membuatmu bersedih? Tidak. Mungkin aku harus hadir dalam kehidupanmu sebagai pengobat hatimu”
Aku terharu saat dia mengucapkan kembali kata-kata itu. Sebenarnya aku pernah membaca bagian itu, tapi aku hanya memperhatikan bagian kekecewaan yang dia rasakan. Akupun merasa mengerti rasa kecewa yang dia rasakan. Aku berusaha memahami posisiku di hadapannya.
Aku tak bisa lagi memandangnya sebagai perebut kehidupanku. Dia malaikat penyelamatku. Aku tak cukup istimewa di matanya, tetapi dia bersedia menjalani pernikahan ini demi membahagiakanku, dan tak ingin aku menderita untuk kali kedua.
Tak bisa kupungkiri sebenarnya aku takut dia benar-benar meninggalkanku. Semula aku hanya tak bisa bayangkan apa kata orang bila aku bercerai di usia pernikahanku yang baru terhitung hari, tetapi aku menyadari bahwa sebenarnya akupun sangat menyayanginya. Aku mulai mengenalnya lebih jauh dan merasa harus bersyukur menjadi istrinya.
Di sisi lain, ada rasa penyesalan telah berpacaran dengan seseorang sebelum menikah dengannya. Aku berharap jadi wanita paling istimewa, tetapi itu sepertinya jauh dari harapanku.



KISAHKU 14 - PERSEMBAHAN PERDANA BUAT SUAMI


Resepsi di rumah suami pagi itu begitu meriah. Meski tak sebanyak tamu di rumahku, tetapi resepsi kali ini terasa khidmad. Aku tak banyak mengenal tamu-tamu yang datang, termasuk teman-teman suamiku yang dulu satu sekolah dan satu organisasi denganku.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar saat tamu-tamu sudah pulang. Aku selalu merengek minta ditemani suami, karena tak banyak yang aku kenal di rumah itu. Bahkan siang itu kami lebih banyak di kamar sembari berpelukan, saling raba, dan tak henti berbagi cerita.
Dia menyingkap bagian bawah bajuku dan tak henti mengelus kemaluanku. Beberapa saat kemudian dia turun dari tempat tidur. Dia mengelus pahaku dan daerah sekitar kemaluanku. Semula aku biarkan karena sejak menikah dia biasa melakukannya. Aku terhenyak saat tiba-tiba dia mencium kemaluanku. Aku mencoba bangkit tetapi dia menahanku, hingga aku hanya pasrah menikmati lumatan mulutnya.
Rasa geli menyelinap di bagian bawah tubuhku, menyebar ke sekujur tubuh. Aku mengerang menahan geli, hingga tanpa sadar kuangkat pantatku tinggi-tinggi. Ya, untuk pertama kalinya aku terangsang hebat, hingga begitu ingin dia segera masukkan kemaluannya di kemaluanku.
Akupun menariknya ke atas tubuhku, dan menempatkan kemaluanku tepat di ujung kemaluannya. Meski terasa tegang, perlahan kemaluannya benar-benar mulai masuk ke liang kemaluanku. “Bisa, mas… bisa…” pekikku lirih. Ada perasaan lega yang luar biasa saat kami benar-benar menyatukan jiwa dan raga untuk pertama kalinya.
Perasaanku teramat bahagia saat tubuhnya mengejang hebat sembari mendekap tubuhku sangat erat. Aku merasa sepenuhnya menjadi miliknya dan dia milikku. Akupun mendekapnya erat-erat, serasa tak ingin melepaskanya dari pelukanku untuk selamanya. 
Sesaat kemudian tubuhnya melemas. Dekapannya melemah dan diapun terkulai lemah di sampingku. Kuliah raut tegang terpancar di wajahnya. Dia kelihatan begitu damai, dan akupun merasa benar-benar menjadi istrinya. Sejenak kemudian kami kembali bercakap-cakap, mengenang saat-saat lucu sejak kami menikah. Dia bilang ingin melakukannya lagi, tetapi aku merasa melakukan sekali ini dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata.
Dia tak henti menciumiku, merabaku, tetapi rasanya tak lagi seperti sebelum nya. Beberapa saat kemudian dia terus merabaku, menciumiku dan mengajakku melakukannya lagi, tetapi aku menolak. Aku merasa lemas sekali, dan belum sanggup melakukan sesering yang dia mau.

KISAHKU 13 - MENYESALI MASA LALU


Hari demi hari aku merasa menikahi lelaki yang jauh lebih baik dari yang pernah aku bayangkan. Dia begitu cerdas jauh di atasku, hingga perlahan aku merasa kecil di hadapannya. Dia tahu banyak hal dengan logika yang jauh lebih tajam, hingga aku merasa sering mendengar hal-hal baru di telingaku darinya.

Dengan lelaki manapun, termasuk kakak iparku yang tinggal di Jakarta, aku langsung bisa paham pembicaraannya, tetapi aku sering harus berfikir keras untuk memahami yang dia katakan. Aku sering terkejut pada apa yang dia katakan. 

Saat aku bicara dengan teman-temanku, termasuk Zaenal, aku tak banyak kesulitan karena mereka pasti mengiyakan, sedangkan dengan suamiku, aku sering tidak bisa bicara apa-apa saat dia tiba-tiba mempertanyakan yang aku katakan. Kali ini aku bisa membedakan bagaimana kemampuan orang pada umumnya, dengan orang yang lebih tinggi kemampuan berfikirnya.

Menjelang resepsi di keluarga suami, aku kembali menanyakan mengapa dia begitu sedih. Dia tak mau bicara terus terang tetapi aku terus mendesaknya. "Kamu kan sudah tahu aku memang pernah pacaran sama orang lain, kenapa kamu sepertinya mempersoalkan masa laluku?" Aku terhenyak ketika tiba-tiba dia berkata, "Entahlah, seharusnya aku menerima kamu apa adanya. Kamu selalu cerita hal-hal yang terlalu baik, seolah kamu itu hanya berteman saja. Tetapi dari cara kamu bercerita dan sikap kamu kemarin-kemarin aku tahu kamu sudah pernah disentuh oleh lelaki itu" jelasnya dengan nada sendu.

Tenggorokanku serasa buntu mendengarnya. Beberapa kali aku menghela nafas, tetapi tidak mengurangi rasa shock yang mendera dadaku. Aku hanya bisa menangis sembari memeluknya erat-erat. Aku merasa kotor. Aku merasa ternoda. Aku tahu, rupanya suamiku kecewa telah menikah dengan aku. "Tapi itu bukan kemauanku" Ucapku berulang kali membela diri.

Dia tidak berkata apa-apa, tetapi sorot matanya jelas menujukkan rasa kecewa yang terpendam. Aku mulai menyadari betapa aku sebenarnya tak pantas angkuh di hadapannya. Aku merasa begitu rendah buatnya, tetapi aku takut kehilangan dia. Dia tak berkata apa-apa lagi, dan hanya memeluk dan membelaiku.
Dalam hati, aku mulai menyesali masa laluku. Sekalipun tak pernah melakukan hubungan yang jauh, ternyata suamiku tetap saja tahu. Aku tak bisa memungkiri semua yang dia tahu. Aku menyesal sudah berpacaran sebelum menikah, karena hanya membuat suamiku tak bangga menikahiku. 
Seharusnya, aku bertemu dia saja seumur hidupku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku tak tahu kalau dialah sebenarnya jodohku.  

KISAHKU 12 - PERTAMA CUKUR VAGINA


Sejak malam itu, aku tak segan lagi menghabiskan waktu berlama-lama dengan suamiku. Dia pintar membuat lelucon hingga membuat hubunganku semakin tanpa jarak. Karena aku sedang menstruasi, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berpelukan. Jemarinya tak henti meraba sekujur tubuhku. 
Mengenalnya lebih jauh membuatku merasa sangat beruntung menikahi lelaki itu. Aku merasa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dibanding yang aku harapkan selama ini. Aku bercerita padanya, betapa selama ini banyak teman-temanku yang bertanya, "Lelaki seperti apakah yang pantas menikahiku" Aku merasa dialah lelaki itu. 
Lelaki yang selama ini aku harapkan pada dasarnya jauh dari itu semua. Dia bukan orang yang terkenal, bahkan tidak diperhitungkan di kampus dan teman-temanku. Aku menyadari benar, mengapa selama ini aku memilihnya. Itu hanya karena aku benar-benar tak punya alternatif, teman dekat yang lebih baik. 
Hampir tiga malam ini aku bercerita banyak hal padanya, mulai cerita masa kecil, masa remaja, hingga hubunganku dengan Zaenal, mantan pacarku. Aku tak bisa menahan tangisku saat bercerita tentang hubungan Zaenal dengan anak Madiun itu. Aku teramat sedih mengingatnya, tetapi hampir-hampir tak pernah menangis karenanya.
Aku tak tahu berapa lama aku menangis. Aku hanya merasakan kedamaian saat suamiku memelukku erat-erat, menenangkanku, sembari mengelus punggungku. Lega rasanya bisa melepaskan beban perasaan yang selama ini kupendam dalam-dalam.
Hari ketiga pernikahan, aku melihat suamiku lebih banyak diam. Dia tidak banyak bicara atau bercanda seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa kali aku mencoba menyambutnya dengan mesra, tetapi sikapnya kelihatan dingin saja. 
Menjelang malam, aku bertanya, "Mas, kamu kenapa jadi diam?" Dia hanya menjawab "Tidak ada apa-apa" sembari tersenyum masam. Aku terus mendesaknya, hingga akhirnya dia bicara.
"Aku merasa... entahnya apa namanya. Ternyata kamu masih mencintai Zaenal. Kamu masih begitu terkenang dengan lelaki itu" jelasnya. Aku terhenyak mendengarnya. Aku tak menyangka, cerita-ceritaku rupanya dipahami begitu oleh suamiku.
"Harusnya kamu mengerti, dong. Aku sekian tahun bersama dia, sedangkan sama kamu baru kenal berapa bulan? Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin kamu tidak ketemu aku lagi" Jelasku apa adanya. Dia hanya diam saja mendengar jawabanku. Tak berapa lama air mata mengucur dari pelupuk matanya.
Aku bingung. Aku tak tahu mengapa dia bersedih. Aku terus merayunya, hingga wajahnya sedikit cerah. Dia bahkan keluar kamar dengan membawa buku catatan yang biasa tergeletak di atas meja. Setelah menunggunya beberapa saat, aku menjemputnya di teras depan, dan menariknya kembali ke kamar.
Aku tahu, dia masih bersedih, tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku terus merayunya, mengelus tubuhnya, dan bagian intimnya hingga bangkit mengejang. Aku biarkan tubuhku terbuka dan berharap dia melakukan tugasnya sebagai suami. 
Usahaku berhasil. Diapun melucuti pakaianku, lalu mencumbuiku dengan penuh mesra, hingga akupun merasa tergoda. Segulir cairah kurasakan mengalir dari pangkal kemaluanku. Dia bilang, "Heh, keluar cairannya", kemudian menyentuh bagian tubuhku yang paling rahasia yang berselimut bulu rambutku yang lebat. Aku hanya tersipu menahan geli.
"Lebat sekali? Kok nggak dicuku?"  tanyanya. 
"Idih, dicukur? Malulah..." Sergahku.
"Kan sunnahnya dicukur setiap jum'at"
"Masa, sih? Aku pikir juga gitu, tapi aku malu menyentuhnya"
"Sama punya sendiri kok malu?"
"Nggak tahulah. Seumur hidup belum pernah sekalipun dicukur"
Setelah meraba-raba tubuhku beberapa saat, suamiku mencoba memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluanku, tetapi tidak berhasil. "Aduh, di mana sih lubangnya?" tanyanya. Aku hanya tertawa geli.
"Lebat sekali sih" sergahnya sembari bangkit ke meja rias. Sejenak kemudian diapun mencukur bulu kemaluanku. Aku tertawa menahan geli. Kembali kurasakan cairan hangat mengalir lembur ke permukaan kemaluanku. Aku terangsang menahan geli, tetapi dia seperti tak peduli. Bahkan dengan tenang dia mengusik liang kemaluanku seperti mencukur bulu yang tumbuh di sisi dalamnya.
Dengan perasaan berbunga-bunga aku ke kamar mandi membersihkan kemaluanku yang penuh rambut. Aku merasa sedikit aneh saat membasuh kemaluanku dengan sabun, sebab ini pertama kalinya tak ada lagi bulu tumbuh lebat menutupinya.
Aku memeluk suamiku sesaat setelah masuk kamar. Kami kembali bercumbu mesra. Dia meraba sekujur tubuhku dan akupun meraba sekujur tubuhnya, tak terkecuali bagian yang selama ini kuanggap paling rahasia.
Sebenarnya aku masih takut melakukan hubungan itu, tetapi aku ingin dia melakukannya malam ini. Dengan perasaan tegang, kubiarkan dia memasukkan kemaluannya di kemaluanku, tetapi tidak berhasil. Perasaanku sendiri sangat tegang, hingga beberapa kali dia gagal melakukannya. 
Vaginaku terasa semakin tegang, saat sebagian kemaluannya masuk ke kemaluanku. "Kok susah ya" Tanyanya. "Mungkin karena aku belum benar-benar suci, mas" jawabku. Diapun hanya menindihku seperti malam-malam kemarin, sambil menggesek-gesekkan kemaluannya di depan kemaluanku.
Aku merasa sangat bahagia, karena suamiku tak lagi tampak sedih. Kesibukannya berusaha berhubungan badan denganku malam itu, sepertinya mengalihkan semua yang dia pikirkan.

KISAHKU 11 - MALAM PERTAMA PENGANTIN


Resepsi pernikahan begitu meriah. Sebagaimana pesan kakaku, aku berusaha tampil tenang di pelaminan, dan tidak banyak bicara. Aku tak tahu bagaimana perasaanku di hari pelaminan itu. Suasana begitu hiruk-pikuk oleh banyaknya tamu yang hadir, termasuk teman-temanku yang datang memberi ucapan selamat. 
Aku justeru merasa salah tingkah saat resepsi selesai. Aku merasa rikuh ketika masuk kamar berdua dengan suamiku. Aku malu pada orang-orang di luar, juga tak tahu bagaimana bersikap pada suamiku. Itu sebabnya aku segera keluar kamar sesaat setelah ganti pakaian.
Aku ikut menyibukkan diri di dapur meski orang-orang mengolok-olokku. Aku memilih menyibukkan diri menyiapkan makanan yang ternyata kurang mencukupi kebutuhan setelah resepsi. Aku baru kembali ke kamar setelah orang tuaku memintaku menemani suami.
Aku bingung saat kembali masuk kamar. Aku tak tahu yang harus aku lakukan, dan mencoba menyibukkan diri di depan meja rias, membersihkan make up dan pewarna kuku. Suamiku yang seharian terdiam di kamar mendekatiku. Dia membantuku membersihkan kuku. Aku terkejut ketika beberapa saat kemudian dia mencium pipi kiriku. Aku hanya diam tanpa ekspresi dan terus membersihkan make up di wajahku.  
Aku kembali keluar beberapa saat karena ada seseorang menelponku. Teman-temanku yang tadi menghadiri resepsi rupanya mampir ke tempat Zaenal. Mereka bilang lelaki itu begitu kecewa. Aku tak tahu bagaimana menyikapinya. Yang pasti ini hari pernikahanku. Hari ini aku telah bersuami. 
Menjelang maghrib aku kembali ke kamar pengantin dan sholat berjamaah dengan suamiku. Dia kembali mencium pipi kanan, kiri dan keningku usai sholat. Saat berdiri melepas mukena aku terkejut, rupanya aku menstruasi malam itu.
Suamiku terkejut saat aku bilang aku menstruasi, tapi aku tidak tahu mengapa. Aku bilang padanya, kalau aku sebenarnya belum ingin melakukan hubungan suami istri malam ini. Aku membayangkan baru akan melakukannya satu atau dua bulan lagi.
Saat malam semakin larut, aku berganti baju tidur baby doll. Dengan sedikit rikuh aku merebahkan tubuhku di samping suamiku. Ini benar-benar pertama kalinya aku berada begitu dekat dengan laki-laki. Dia mendekatiku dan menindihkan pahanya di atas pahaku. Aku tersentak saat aku merasakan benda keras menyentuh pahaku dari balik kain sarung yang dia pakai. Dalam hati aku berfikir, "Aduh..., inikah benda itu? Besar sekali? Apakah cukup buat aku?"  
Aku memang sama sekali tak tahu urusan hubungan suami istri. Selama ini aku selalu menghindar setiap kali kawan-kawanku membicarakannya. Aku pikir hal begitu tak perlu dibahas, dan akan terjadi begitu saja.
Aku merasa geli saat tangannya menyentuh dadaku dan membuka kacing bajuku satu persatu. Dia tahu kami tak akan melakukan hubungan suami istri malam itu, dan menghabiskan malam dengan saling berbagi cerita ke sana ke mari. 
Rupanya dia tak tahan lagi. Dia melepas pakaianku satu persatu, mencumbuiku dan menindihku. Benda kerasnya kuhimpit di sela pahaku. Beberapa saat kemudian dia memelukku erat-erat, tubuhnya mengejang mendekap tubuhku, dan cairah licin menyembur di pangkal pahaku. 
Aku tidak tahu yang dia rasakan, tapi aku merasa sangat bahagia berada dalam pelukannya. Aku merasa begitu dekat dengannya seakan sudah bertahun-tahun mengenalnya.