Kamis, 23 Desember 2010

CURHAT ZAENAL SAMA DIK ANIK

Aku hanya memikirkan satu hal di malam pernikahanku. Aku akan menikmati indahnya kemesraan dan hubungan suami-istri dengan teman hidupku. Saat-saat berdua dengan pasangan hidupku menjadi saat yang paling kunantikan, apalagi sejak resepsi usai. Aku berusaha tenang meski hingga maghrib dia terlihat begitu sibuk untuk berbagai urusan di belakang.
Dia kelihatan rikuh berduaan denganku hingga lebih sering keluar kamar dengan berbagai alasan. Aku mulai mendekatinya saat dia duduk di meja rias sambil membersihkan wajah. Perlahan aku daratkan ciuman di pipi kirinya, tetapi dia tidak berekspresi apapun saat aku menciumnya pertama kali.
Kami tak banyak bicara hingga usai berjama'ah shalat maghrib. Meski raut wajahnya tampak tegang, dia menyambut hangat setiap kecupanku. Tanpa banyak kata tiba-tiba kami sudah tenggelam dalam ciuman dan lumatan yang dalam. Sepertinya dia sudah terbiasa melakukannya, hingga semua terasa mudah, semua terjadi begitu saja. Kami baru berhenti setelah mertuaku mengingatkan kami untuk makan malam.
Usai jama'ah Isya' dia langsung merebahkan tubuhnya di atas peraduan. Balutan baju tidurnya yang lembut membuat lekuk tubuh rampingnya terlihat begitu seksi dan menawan, serasa mengundangku untuk segera menyusulnya.
Akupun segera merebahkan tubuhku di samping kirinya, lalu memiringkan badan menghadap tubuhnya. Kutindihkan paha kananku di atas paha kanannya hingga kelaminku yang sejak maghrib tak henti menegang menempel hangat di sisi pinggangnya.
Dia hanya tersenyum tanpa sepatah kata saat tanganku mulai melepas kancing baju tidurnya. Urat lehernya yang bening terlihat berdenyut keras seiring detak jantungnya, menyiratkan ketegangan yang masih tergurat jelas di wajahnya.
"Mas...." Leguhnya saat jemariku menyusup di balik penutup dadanya, lalu sepontan memiringkan tubuhnya menghadapku. Dia memelukku erat-erat dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan ciuman yang teramat dalam.
Dia hanya tersipu saat perlahan jemariku melepas seluruh kancing baju tidurnya. "Mas..." Sambil tersipu dia menyergah lembut saat aku melepas pengancing BH di belakang punggungnya. "Hmmm, kok dilepas sih?" Sergahnya lemah dengan wajah tersipu.
Aku tak menjawab dan membiarkan wanita itu kembali tengadahkan tubuhnya di hadapanku. Wajah cantiknya tak henti terburai senyum keki, dan kembali tersipu saat aku sibakkan penutup tubuhnya satu persatu. Sejenak aku pandangi keindahan tubuhnya yang putih yang terhampar indah di hadapanku, sementara dia tak henti memandangiku dengan senyuman keki.
Detak jantungnya terdengar kian cepat saat jemariku mulai merayap di atasnya. Dia menggelinjang lembut lalu menggenggam erat jemariku yang menyentuh putingnya. "Mas..."
"Kenapa" Sahutku lirih.
"Geli" Jawabnya lirih sembari terus menahan senyum, dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan yang penuh mesra.
Setelah beberapa saat terbuai kemesraan, aku tak kuasan menahan jemariku yang berjalan menyusup celana dalamnya. "Mas..." Sergahnya lembut seraya menahan jemariku.
"Kok langsung ke sini, sih?" Sergahnya lagi penuh tanya.
"Ini kan malam pertama kita?" Sahutku menahan nafas yang kian menggebu.
Dia memegang erat jemariku yang kembali memaksakan jemari menyusup lebih dalam di balik penutup tubuhnya bagian bawah itu.
"Mas..." Sergahnya lagi.
"Kenapa" sahutku lembut.
"Aku pengennya malam ini kita ngobrol dulu" Pintanya lembut.
"Oke" sahutku sembari menarik jemariku dari sela celana dalamnya.
"Kamu belum siap ya?" Tanyaku sembari tak henti mengusapkan telapak tanganku di atas tubuhnya. Beberapa saat dia tak menyahut dan membiarkan jemariku memilin putingnya yang mengeras.
"Itu bekas operasi" Tiba-tiba dia celetuknya saat aku menyentuh bekas luka di payudara kirinya.
"Hmmm... memang kenapa"
"Waktu semester akhir dulu ada tumor kecil, lalu dioperasi" Diapun bercerita panjang tentang pengalamannya dioperasi, dan kamipun terlibat pembicaraan tentang banyak hal, tentang masa kecil, saat bertemu aku, hingga masalahnya dengan mantan pacar.
Beberapa saat dia menangis dalam pelukanku setelah bercerita soal mantan kekasihnya yang ternyata pernah mendekati gadis lain. "Oke. Sekarang kamu bersamaku. Aku berharap bisa membahagiakanmu" Ucapku menenangkannya.
Malam ini benar-benar milik kami, yang praktis tak lepas dari pelukan, kecupan dan belaian. Berbagi cerita tentang semua hal membuat kami merasa semakin dekat.
Sejujurnya aku kecewa dia masih begitu terobsesi mantan kekasihnya. Itu sebabnya saat suasana kembali tenang, akupun berujar, "Aku pikir kamu memang sudah siap menikah denganku, tapi sepertinya kamu masih terlalu terobsesi mantanmu"
"Mestinya mas ngerti. Aku sama dia sudah empat tahun. Bahkan kami sepakat tak akan ada kata putus, dan praktis baru dua bulan aku mengenal Mas" Sergahnya.
"Oke. Aku ngerti, sayang" Timpalku menenangkan.
"Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin mas nggak menikah denganku, kan?" Sergahnya lagi.
"Oke. Aku ngerti. Maafkan aku, sayang" Timpalku lemah. Tanpa terasa segulir air mata mengalir di pipiku, tanpa mampu kutahan. Aku kecewa dengan sikapnya. "Mas.... Mas..." Rajuknya seraya memelukku. Akup tak mampu membendung rasa kecewaki, hingga isak tangis menyesaki dadaku.
"Maafkan aku... Kamu marah, ya?" Tanyanya beberapa kali, tapi aku tak mampu menjawabnya. Dia  tak henti membelai dan memelukku erat-erat. "Mas... kamu marah, ya?" Beberapa kali dia kembai bertanya, saat tangisanku mereda.
"Enggak"
"Lalu kenapa?" Tanyanya sedih.
"Aku hanya... aku merasa kecewa. Aku pikir kamu memang siap menikah denganku. Sebenarnya aku tak peduli kamu siapa dan hubunganmu dengan dia dulu seperti apa, tapi rupanya kamu belum benar-benar lepas dari masa lalumu" Jelasku dengan nada sedih.
"Aku memang siap menikah dengamu" sahutnya sendu sembari kembali memelukku.
"Aku bahkan bahagia sekali bisa menikah denganmu. Aku nggak mau kehilangan kamu" Sambungnya dengan nada menyesal.
"Kalau kamu masih ingin bersamanya, aku bisa bantu" Sahutku sembari bangkit terduduk.
"Enggak... enggak. Nggak mau. Aku sudah bilang nggak akan menikah dengannya" Sergahnya sembari menangis dan memelukku erat-erat. Aku hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Aku sangat sedih dan kecewa padanya, tapi tak tahu apa yang harus aku katakan.
"Mas..., maafkan aku. Jangan tinggalkan aku" Rajuknya di punggungku sembari terus menangis mengiba. Aku jadi kasihan melihatnya begitu sedih dan tak henti mengiba.
"Kurasa keputusannya tergantung kamu, sayang. Kalau kamu memilih melanjutkan pernikahan ini, aku akan selalu menemanimu. Tapi selagi kamu masih mencintainya, lebih baik kamu bersamanya"
"Enggak, enggak... Aku mau sama kamu" Sergahnya sembari terus menangis.
"Aku nggak mau kamu bersamaku, tetapi hatimu masih bersama orang lain" Sambungku.
"Enggak. Kamu salah paham, mas. Aku sama sekali tak terpikir untuk kembali ke dia" Sergahnya sembari menariku tubuhku hingga tertelungkup di atas tubuhnya.

AKHIR DESEMBER

Dia pasti sudah bahagia saat ini, atau minimal sibuk dengan urusan bisnisnya. Dia pasti tak mengingatku lagi, entah memang tak ingat lagi, atau sengaja tak ingin mengingatnya. 
Bulan Desember pasti tak lagi istimewa baginya, atau dia memang tak mau mengistimewakannya. Jangan-jangan dia memang ingin benar-benar melupakan semua yang pernah dia jalani bersamaku.
Yang jelas hari ini aku teringat lagi, begitu jelas mengingatnya. Bulan ini pernah menjadi momen paling istimewa antara aku dan dia. Bulan inilah kami memulai semuanya, menjadi begitu dekat, teramat dekat, tanpa sedikitpun jarak antara aku dan dia. 
Semua terjadi begitu saja. Tiada kata terucap, hanya hati yang berbicara. Tiba-tiba kami sudah bersama dalam perjalanan terjauhku pertama kali selama di Jogja, menembus kegelapan jalanan Parangtritis, mengabaikan rintik hujan yang tak henti mengguyur malam, hingga akhirnya kami menginap di Parangkusumo. 
Tiada kata, tiada komitmen apapun, tiapa sergahan, tiada... ya terjadi begitu saja. Dia membiarkanku melucuti seluruh pakaiannya, dan bergumul sebagai sepasang kekasih yang dimabuk asmara. 
Di akhir bulan ini pula dia membiarkanku melepaskan segala hasratku padanya. Begitu jelas teringat dia membelaiku penuh mesra, menenangkanku yang kehilangan kendali. Begitu jelas  kuingat seluruh rasa yang luruh bersama segenap jiwa raga, hingga aku terkulai manja di atas  tubuhnya.  
Mungkin kenangan indah ini hanya untukku dan untuknya. Hanya saja harus kusadari mungkin dia tak ingin mengenangnya lagi.... 

Kamis, 18 November 2010

ISTRIKU ASYIK CURHAT SAMA ZAENAL

Hari-hari ini istriku begitu bersemangat saat telepon di kamar atau belakang rumah. Wanita itu tak pernah sesemangat hari-hari ini menelpon atau SMS, sampai-sampai tak peduli anak-anak seperti apa. Bahkan hingga maghrib menjelang kadang dia masih asyik dengan handphone, padahal anak-anak belum ada yang mandi. Wajahnya begitu ceria saat memandangi layar handphone atau menempelkan benda itu di telinganya, tetapi berubah kusut saat menatapku dan anak-anak. 
Aku kasihan sekali pada wanita itu. Wajahnya begitu kusut sepanjang waktu. Aku hanya melihatnya ceria saat hatinya terpaut dengan suara lelaki itu.
Setidaknya aku dapat memahami mengapa dia tak pernah ramah padaku. Sikapnya seakan ada yang tak sepenuhnya untukku. Itu sebabnya aku memilih bersikap seolah tak tahu yang dia lakukan. Akan jauh lebih baik kalau aku biarkan dia menikmati dunianya yang hilang. 
Dia seperti berada di tempat yang tak diinginkannya, sementara hatinya ada pada seorang dibalik handphone itu. Aku tak perlu bertanya, dan menyoal apa-apa. Biarkan dia menikmati dunianya. 
Aku harap segera menemukan duniaku yang baru. Aku sadar seharusnya aku tak bersamanya, karena hatinya masih terpaut erat dengan masa lalu. 

6 HAL YANG MEMBUAT WANITA MUDAH ORGASME

Wanita yang baru menikah seringkali kesulitan mencapai orgasme. Bahkan setelah bertahun-tahun setelah pernikahan dan punya beberapa anak, banyak di antara mereka tidak pernah menikmati orgasme.
Sebagian wanita menganggap itu sebagai kewajaran, sehingga tidak menimbulkan masalah berarti. Seks hanya dipandang sebagai kebutuhan pria dan kwajiban wanita. Pada sebagian lain, kegagalan wanita mencapai orgasme tidak jarang memicu timbulnya konflik laten. Secara diam-diam, ketidakpuasan wanita diekspresikan dengan sikap emosional, seperti ketus dan mudah marah, dan tidak sedikit yang jatuh dalam perselingkuhan. 
Di tengah masyarakat yang menabukan seks, sebagian besar wanita konvensional membutuhkan proses belajar agar dapat menikmati seks dan mencapai kepuasan, orgasme. Ini dikarenakan wanita konvensional dididik untuk tidak mengenal seks. Bahkan ada doktrin umum, bahwa wanita yang baik adalah yang tidak mengenal (buta) soal seks. Semakin buta dan jauh dari pengalaman seksual, wanita dianggap lebih baik. 
Agar wanita dapat menikmati kepuasan seksual yang ditandai dengan orgasme, maka wanita itu sendiri maupun pasangannya perlu memahami beberapa keadaan yang diperlukan oleh wanita agar dapat mencapai orgasme, di antaranya:
1.  Menikmati Rangsangan
Pasangan konvensional umumnya membayangkan seks hanya berhubungan kelamin, sehingga fokus utama di malam-malam pertama pengantin hanyalah hubungan kelamin. Banyak pasangan melewatkan menjalin hubungan romantis yang disertai kegiatan rangsangan dan foreplay. Akibatnya, wanita sering melayani suami tanpa rangsangan seksual memadai, dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Itu sebabnya, pasangan perlu sesering mungkin merangsang daerah sensitif wanita, terutama vagina dengan jari atau mulut, hingga wanita benar-benar merasakan betapa daerah intimnya bisa menikmati rangsangan. Wanita yang terbiasa menikmati rangsangan akan lebih peka terhadap kenikmatan seksual. Semakin sensitif terhadap rangsangan, akan sangat membantu wanita menikmati kepuasan seksual.   
2.  Sudah Merasa Membutuhkan Seks
Wanita yang awalnya hanya menempatkan seks sebagai kwajiban melayani suami, pada fase tertentu akan merasa membutuhkan seks. Kebutuhan tersebut pada umumnya meningkat pada usia 35-an sampai 40-an tahun, usia rawan selingkuh, bila tak terpuaskan. Perasaan butuh seks tersebut mungkin akan lebih cepat dirasakan oleh wanita bila sejak malam-malam pengantin terbiasa menikmati rangsangan. 
Perasaan butuh itulah yang membuat wanita tak segan mengajak pasangan untuk bercinta. Sekalipun awalnya dia mungkin tidak pernah menikmati klimaks, orgasme, tetapi pengalaman demi pengalaman akan membuatnya semakin mengenali potensi seksual pada dirinya sendiri.  
3.  Sudah Enjoy dengan Seks
Wanita yang belum menikmati seks biasanya bersikap pasif dalam berhubungan seks, bahkan sebagian enggan dan melakukannya hanya untuk menyenangkan pasangan. Sebaliknya, wanita yang mulai menikmati seks akan menyambut ajakan bercinta dengan senang hati sekalipun dia sendiri belum pernah mencapai kepuasan. Pertama-tama wanita mungkin hanya menyukai suasana keintimana selama bercinta, tetapi lambat laun dia akan menemukan cara mencapai kepuasan puncak untuk dirinya sendiri.
4.  Terbuka pada Urusan Seks
Keterbukaan pada urusan seks biasanya butuh waktu, karena sebagian orang enggan membicarakan masalah seks sekalipun dengan pasangan. Wanita yang berani terbuka membicarakan seks akan jauh lebih mudah membuatnya mencapai orgasme. Dia tidak hanya memahami seks dengan perasaannya tetapi juga berdasarkan kesepakatan bersama pasangan. Wanita dapat mengutarakan keinginannya, sehingga pasangan dapat memperlakukannya sesuai keinginan wanita. Apalagi untuk mencapai orgasme pada dasarnya wanita sendiri yang lebih tahu apa dan hubungan seperti apa yang dia butuhkan.
5.  Berani Binal
Rasa malu pada wanita konvensional biasanya membuatnya enggan membuka pakaian, sekalipun di hadapan suami. Potensi wanita untuk mencapai orgasme semakin terbuka bilamana dia mulai berani menggoda pasangan dengan memamerkan keindahan tubuhnya di hadapan pasangan. Wanita merasa bebas untuk mengambil posisi yang lebih berani dalam bercinta.
6.  Berani Mengambil Insiatif
Keterbukaan dalam urusan seks ditandai pula dengan keberanian wanita mengambil inisiatif dalam hubungan seksual. Pada tahap ini wanita tidak hanya tahu apa yang dia butuhkan, tetapi juga yang dibutuhkan pasangan, yang di antaranya ditandai dengan inisiatif wanita untuk mengajak bercinta, berusaha  membangkitkan birahi pasangan melalui berbagai cara, hingga mengambil posisi bercinta yang paling nyaman untuk dirinya sendiri. 
7.  Merangsang Diri Sendiri
Fase perkembangan pengalaman seksual wanita yang memudahkannya mencapai orgasme adalah saat wanita mulai berinisiatif merangsang dirinya sendiri, baik dengan jemarinya sendiri, penis pasangan, maupun melalui gerakan tubuhnya dalam bercinta. Ini adalah cara yang paling memudahkan wanita untuk menikmati seks dan mencapai orgasme.

PEREMPUAN MASA LALU

Sejujurnya pernah mencintai seseorang, perempuan tercantik seumur hidupku. Alfie, Zakiyah Alfi Rohmani. Keputusasaan dan kekecewaanku padanya telah membalikkan jalan hidupku, cara pandangku tentang perempuan dan cinta pada masa-masa sesudahnya.
Dulu, aku masih seorang yang sangat kuper dan rendah diri. Aku sama sekali tak punya kepercayaan diri, meski aku paling mampu dan berani tampil di muka umum. Di banding sebayaku, aku memiliki banyak kelebihan. Kemampuan, kecerdasan dan aku dikenal sebagai anak baik oleh semua orang. Dengan wajah yang tidak terlalu mengecewakan dan dari keluarga yang cukup terpandang di desaku, seolah tak ada kekurangan dalam diriku.
Ketidakpercayaan diriku yang paling menonjol adalah ketika harus berhadapan dengan perempuan. Mereka selalu terlihat sempurna di mataku, sementara aku selalu merasa sebaliknya. Hidungku tidak macung, kelaminku kecil, bajuku tarasa tidak rapi, uangku tidak cukup banyak dan masih banyak kekurangan yang selalu aku rasakan bila berhadapan dengan mereka. Jangankan menjalin cinta, bertemu dan berbicara saja jadi beban yang teramat berat.
Di depan Alfie, aku selalu merasa tidak pantas jadi kekasihnya, calon suaminya kelak. Aku selalu merasa dia terlalu cantik untukku. Aku tak bisa bersikap wajar, berbicara, berkomunikasi, ngobrol, dan semuanya jadi terlalu formal di hadapannya. Aku terlalu sering kehabisan kata-kata berhadapan dengannya, sementara dia seorang yang sangat energik dan banyak teman.
Dia membayangkan sebuah persahabatan yang menyenangkan, tapi aku tak mampu memberikannya. Selalu ada rasa segan, rikuh dan banyak lagi. Sedikit kesalahan membuat aku tak dapat tidur nyenyak. Sebenarnya dia sangat terbuka tapi aku benar-benar tak dapat melayaninya. Keputusasaanku membuat aku memutuskan untuk berpisah, keputusan yang paling aku sesali sejak aku dilahirkan ke bumi ini.
Aku berusaha menarik kembali kata-kataku, tapi dia sudah patah arang. Di matanya aku tidak hanya makhluk membosankan, tapi benar-benar membuatnya tak tertarik lagi. Aku merasa hampir gila oleh keputusanku sendiri. Benar-benar sebuah kebodohan, tapi di sanalah aku bisa menyadari betapa bodohnya aku selama ini, yang selalu memandang rendah diri sendiri, yang memilih tertutup demi sebuatan anak alim yang sama sekali tak berarti.
Sejak itu, aku benar-benar berubah menjadi seorang open minded dan berusaha keras menjadi sangat komunikatif. Aku baru menyadari betapa hebatnya diriku, betapa kusia-siakan umurku hanya untuk sebutan anak alim, padahal dungu. Aku tak pernah minder lagi, apalagi untuk sekedar urusan perempuan. Menghadapi perempuan terlalu mudah bagiku.
Banyak test case, uji coba kulakukan dan hampir semuanya berhasil. Aku bahkan sempat dijuluki play boy oleh sebagian teman. Tidak masalah bagiku, sebab aku cuma bermaksud mencoba kepercayaan diriku saja. Aku berusaha menjadi manusia baru yang penuh percaya diri, dan berhasil.
Aku benar-benar menyadari kemampuanku, meski aku tak punya bergaining dengan siapapun. Aku hanya individu yang independen, tanppa koneksi, tanpa reasi. Tapi aku bisa lakukan semua hal yang aku mau, aku suka. Dengan tetap mempertahankan sikap low prifile, lebih banyak orang memandangku sebagai pemuda hebat dan baik.
Hanya harus aku akui, aku tak pernah bisa lagi jatuh cinta, menemukan lagi perasaanku pada Alfie. Aku tetap mencintai makhluk itu, meski aku tahu itu tak mungkin lagi, bahkan sekalipun ada kesempatan untuk kedua kalinya, karena aku juga tak mau lagi.

10 KEBIASAAN ML WANITA HIPERSEX

Bagaimanakah rasanya memiliki pasangan wanita hiperseks? Sebagian pria pasti ada yang membayangkan sangat menyenangkan bercinta dengan wanita hipersex. Setiap saat dapat menumpahkan hasrat dengan cara yang penuh gairah.Padahal bila benar-benar memiliki pasangan seperti itu, belum tentu semua pria sanggup menjalaninya.
Pria memang memiliki kecenderungan agresif, tetapi belum tentu didukung dengan kemampuan jangka panjang. Apalagi untuk mengimbangi wanita hipersex yang selain pasti sangat hangat dalam bercinta, juga menyita energi yang luar biasa. Ini dikarenakan cara wanita hipersex dalam menyalurkan hasratnya berbeda dari wanita kebanyakan. Di antara cara yang lazim dilakukan oleh wanita hipersex adalah.
1.  Sangat Sering
Wanita hipersex seakan tidak memiliki rasa kenyang dalam bercinta. Wanita yang dipenuhi obsesi seksual ini menuntut hubungan sex berkali-kali dalam sehari. Melayani kebutuhan seks wanita ini membutuhkan energi yang harus mampu mengimbangi ledakan hasratnya setiap saat. 
2.  Tak Pandang Waktu dan Tempat
Wanita berhasrat sex tinggi biasanya kurang mempedulikan waktu, tempat ataupun kondisi-kondisi tertentu. Besarnya dorongan sexual membuatnya menuntut dan siap berhubungan sex kapan dan di mana saja. Selagi dia merasa situasi memungkinkan, celah waktu dan tempat sedikit saja pasti dimanfatkan.
3.  Tak Harus Foreplay Lama
Bawaan cewek yang sudah panas membuatnya tak membutuhkan waktu lama untuk foreplay. Bahkan begitu diajak bercinta, atau mengajak bercinta, gairahnya sudah bangkit melangit. Wanita seperti ini bahkan begitu lepas celana langsung "tusuk" saja, terutama bila titik utama gairahnya ada pada vagina.
3.  Penuh Inisiatif
Wanita semacam ini tak perlu diajari bercinta. Seluruh model permainan bercinta sudah menjadi bagian dari hayalannya. Meski belum pernah melakukannya, naluri wanita seperti ini jauh melampaui semua teori seksualitas.
4.  Tak Selalu Sempat Lepas Baju
Buka baju dan cumbu rayu adalah cara ML orang normal. Wanita hipersex tak harus buka baju untuk bercinta. Cukup buka celana atau bagian paling sensitifnya yang memungkinkan ML langsung to the poin. Hal ini dikarenakan pembangkit gairahnya ada pada pikiran dan perasaannya, bukan fisiknya.
5.  Dominan
Memiliki pasangan hipersex harus siap didikte dan didominasi dalam bercinta. Wanita suka mengatur posisi dan gerakan apa yang harus dilakukan pasangan, sebab dia paling tahu apa yang dia butuhkan.
6.  Main Paksa atau Main Atur
Besarnya gairah sex wanita hipersex membuatnya tak segan memaksa pasangan untuk bercinta di segala situasi. Apalagi bila situasi bena-benar memungkinkan. Menolak kemauan wanita hipersex harus siap dengan kemarahan besar. 
7.  Pintar Merangsang Penis
Penis adalah benda paling disukai oleh wanita hipersex. Ereksi penis merupakan hal yang paling dia butuhkan. Karena itu merangsang penis biasanya menjadi bagian dari hal yang harus dia kuasai agar pasangan dapat memenuhi hasratnya setiap saat. 
8.  Tak Pernah Mengeluh
Sisi enak bercinta dengan wanita hipersex adalah karena dia tak pernah mengeluh sakit, capek, pusing dan sebagainya. Bahkan sangat mungkin sang pria yang mengeluh loyo, kehabisan tenaga dan susah ereksi.
9.  Berisik
Bercinta dengan wanita hipersex biasanya penuh ekspresi. Wanita seperti ini tak segan mendesah, meleguh bahkan berteriak-teriak saat merasakan kenikmatan sex.
10.Penuh Kasih Sayang
Hal terindah memiliki pasangan hipersex adalah sikapnya yang penuh kasih sayang. Tentu saja ini berlaku bagi pria yang selalu menuruti kehendak wanita. Hanya saja, wanita seperti ini pantang kesepian, sebab bila terlalu sering ditinggal, apalagi dalam waktu lama, mereka rawan jatuh ke pelukan pria lain.

SELAMAT DATANG MASA LALU

Sangat lemah, tapi keras kepala luar biasa. Tidak perlu konfrontasi, bila akhirnya hanya harus mengalah, sementara masalah tetap menggelinding. Sebelum terbentur masalah yang lebih pelik dia tak akan mengalah, dan menganggap pandangannya paling benar. Bahkan saat benturan tiba, dia tak kan pernah mengakui kesalahannya.
Ikuti saja alurnya berfikir, dorong sekeras mungkin agar dia tahu sendiri letak kesalahannya. Begitu caraku menghadapinya. Sederhana. Kalau tak dapat dihentikan, dorong sekalian. Dia memang anti-kritik, apalagi dibahas kesalahannya. Karena itu, tak perlu dikritik dan dibahas. Lupakan saja, dorong sekeras mungkin. Siapa tahu, ini jadi jalan kebebasanku dari neraka ini.
Dia selalu ingin mempertahankan persahabatan,  kebebasan berkomunikasi dan bergaul dengan teman-teman baiknya, termasuk mantan kekasih yang sudah dia anggap teman baik seperti yang lain. Oke, saya sangat setuju. Karena itu artinya aku kan juga boleh begitu. Masa dia saja yang boleh. Aku lebih bisa.
Aku nyesal juga, karena selama ini selalu menjaga diri dari hal yang bisa membuat dia cemburu atau tidak enak hati, sementara dia sendiri tidak. Tahu begini, mestinya telpon dan SMS cewek-cewek cantik itu aku tanggapi dan kusimpan nomornya. Keluarga macam apa tidak penting. Yang penting happy kan? Toh selama ini aku menderita sekali hidup bersamanya. Mestinya cewek-cewek itu bisa beri aku sedikit hiburan.
Yang pasti, dalam beberapa hari akan ada servis lebih, meski mungkin Cuma sehari dua hari saja. Lumayan bisa dinikmati, tapi aku tak tertarik seks permintaan maaf (apologize sex). Pasti juga akan banyak meluncur permintaan maaf. Aku tak tahu, yang mana yang harus dimaafkan. Sudah enam tahun dianggap biasa, masak diubah seenaknya. Papa sendiri mulai berharap ini bisa jadi jalan kebebasan. Memangnya setelah ini dia nggak mau telpon dan menerima telpon dari kawan-kawannya lagi? Mustahil. Membatasi adalah tindakan percuma. Karena toh akan terulang dan terulang lagi.
Ini bukan jaman Majapahit atau feodalisme Mataram. Ini jamannya Reza  Artamevia, Elma Theana dan Krisdayanti. Pernikahan bukan penghalang seseorang untuk berteman dengan siapapun, termasuk mantan pacar, mantan istri atau siapa saja. Kalau ternyata terjadi affair, itu urusan nanti. Biarkan dunia mengalir apa adanya.
Kebodohan. Kebodohan apaan? Sudah enam tahun kok bodoh terus. Itu bukan kebodohan, tapi kebiasaan. Jadi, biarkan semua mengalir. Aku tak khawatir, tak menuntut, tak berharap apapun dari istriku. Kalaupun boleh berharap aku ingin seks yang memuaskan saja, tapi itu juga sudah jelas tak mungkin. Jadi aku memilih sama sekali tak khawatir. Aku sendiri tak akan lagi menghindari hal-hal begitu. Aku tak lagi menganggap sebagai bahaya, tapi sebaliknya. Aku toh masih doyan tempik yang lain.
Bila kita mengkhawatirkan sesuatu kita akan terbelenggu olehnya. Bebaskan diri anda dari semua kekhawatiran agar anda benar-benar bebas. Hadapi saja hidup sebagaimana kehidupan itu berjalan. Begitulah kira-kira petuah bijaknya. Yang jelas, ini mengganggu konsentrasiku menulis, bo. Aku harus benar-benar hengkang dari masalah ini. 

TOREHAN DUKA


HANYA SAHABATMU


Aku tak mampu jadi kekasihmu
Aku tak mampu jadi pasangan jiwamu
Mendampingi hatimu
Meraja di istana hatimu

Kehadiranku tak mampu mengurai rasa sepimu
Rengkuhanku tak mampu hangatkan jiwamu
Senyumanku tak memupus kerinduanmu
Candaku tak menceriakanmu
Yang masih mendamba cinta yang dulu

Aku hanya mampu jadi sahabatmu
Memahami segenap maumu
Menemanimu jalani waktu
Tanpa berharap kesucian cinta kasihmu

Aku selalu ada untukmu
Selalu bersamamu
Meski cintamu bukan milikku

MAAFKAN AKU

Maafkan aku sayang…
Aku tak mampu membahagiakanmu
Aku tak mampu penuhi harapanmu

Andai kau bahagia bersamaku
Mungkin kau tak akan lakukan itu
Meski rasa itu selamanya bersemayam ada di hatimu
Mungkin saja

Maafkan aku
Maafkan ketusnya kata-kataku
Maafkan kasarnya sikapku
Maafkan kedunguanku untuk memahamimu
Maafkan kekakuanku,
Ketidakmampuanku memenuhi rindumu

Maafkan keterlambatanku
Untuk bisa pahami sikapmu
Untuk menerima pilihan jalanmu
Untuk pahami arti diriku di hadapanmu

Maafkan aku
Aku tak mampu jadi mengganti mimpimu
Aku tak mampu tenangkan jiwamu
Sesempurna sosok pujaanmu di masa lalu

DIA BENAR SELINGKUH

Dia selalu telepon saat aku tak ada di dekatnya.
Dia kirim SMS dan saling tukar SMS seolah tanpa jeda. 
Dia bicarakan semua tanpa batas apapun
Dia begitu bernafsu untuk menyapanya, berbagi cerita dengannya.
Dia tak peduli saat kusindir, "Mengapa kamu lama tidak telepon dia?" 
Dia menikmati hari-harinya.
Aku tak tahu, apakah harus kubiarkan saja atau melarangnya.
Lebih baik aku biarkan semua yang akan terjadi.
Aku ingin tahu yang sesungguhnya dia rasakan, dia pikirkan, dia inginkan.
Dia sama sekali tak berarti bagiku.

ISTRIKU MULAI SELINGKUH

Dia selalu telepon saat aku tak ada di dekatnya.
Dia kirim SMS dan saling tukar SMS seolah tanpa jeda. 
Dia bicarakan semua tanpa batas apapun
Dia begitu bernafsu untuk menyapanya, berbagi cerita dengannya.
Dia tak peduli saat kusindir, "Mengapa kamu lama tidak telepon dia?" 
Dia menikmati hari-harinya.
Aku tak tahu, apakah harus kubiarkan saja atau melarangnya.
Lebih baik aku biarkan semua yang akan terjadi.
Aku ingin tahu yang sesungguhnya dia rasakan, dia pikirkan, dia inginkan.
Dia sama sekali tak berarti bagiku.

KEMBALINYA KENYAMANAN LAMA

Aku tahu, akhir-akhir ini dia rajin kontak teman-temannya. Aku tahu salah satu yang dia kontak adalah mantan kekasihnya. Dia selalu kaget bila kebetulan aku ada di dekatnya saat telepon seseorang. Entah apa yang dia bicarakan, tetapi kian hati kelihatannya semakin hangat saja.
Dia juga sering hapus SMS banyak sekali ketika mau lepas HP dari tangannya, apalagi menjelang tidur. Aku kian yakin, itu bukan SMS sembarang orang. Itu pasti bukan SMS biasa. Kalau itu SMS biasa, pasti dia tidak segugup itu membuangnya dari HP.
Bagiku persetan dengan hubungan ini. Kali ini aku kian yakin bagaimana hatinya yang sebenarnya. Aku siap-siap menempatkan diriku di hadapannya. Bagiku, pernikahan ini sudah berakhir. Untuk tak asal tuduh, kukira ada baiknya aku sadap telepon dan SMS itu. 
Aku tak akan menyoal bagaimana nantinya, sebab pernikahan ini harus jalan terus meski sama sekali tak lagi berarti. Aku hanya perlu pastikan bahwa aku bukan mengarang cerita di hadapannya. Kalau terpaksa terjadi apa-apa antara aku dan dia, aku punya cukup alasan untuk tidak sepenuhnya menjadi orang kalah. 

ISTRIKU BERMAIN API

Aku tahu, akhir-akhir ini dia rajin kontak teman-temannya. Aku tahu salah satu yang dia kontak adalah mantan kekasihnya. Dia selalu kaget bila kebetulan aku ada di dekatnya saat telepon seseorang. Entah apa yang dia bicarakan, tetapi kian hati kelihatannya semakin hangat saja.
Dia juga sering hapus SMS banyak sekali ketika mau lepas HP dari tangannya, apalagi menjelang tidur. Aku kian yakin, itu bukan SMS sembarang orang. Itu pasti bukan SMS biasa. Kalau itu SMS biasa, pasti dia tidak segugup itu membuangnya dari HP.
Bagiku persetan dengan hubungan ini. Kali ini aku kian yakin bagaimana hatinya yang sebenarnya. Aku siap-siap menempatkan diriku di hadapannya. Bagiku, pernikahan ini sudah berakhir. Untuk tak asal tuduh, kukira ada baiknya aku sadap telepon dan SMS itu. 
Aku tak akan menyoal bagaimana nantinya, sebab pernikahan ini harus jalan terus meski sama sekali tak lagi berarti. Aku hanya perlu pastikan bahwa aku bukan mengarang cerita di hadapannya. Kalau terpaksa terjadi apa-apa antara aku dan dia, aku punya cukup alasan untuk tidak sepenuhnya menjadi orang kalah. 

Rabu, 22 September 2010

KISAHKU 20 - TERANG CAHAYA PERNIKAHANKU

Beberapa bulan sejak keguguran, suamiku mengajakku tinggal di Jogja. Kami tinggal di rumah kontrakan yang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Tinggal di Jogja boleh dibilang sebagai bulan madu terindah kami. Kami bercinta setiap saat, kadang di kamar, di ruang tahu, dapur bahkan kamar mandi.  
Masalahnya, aku sering kesepian tinggal di sana. Apalagi saat dia seharian berada di kampus. Aku juga tidak betah bila dia mengajakku seharian di perpustakaan. Aku kembali tertekan, dan akhirnya jatuh sakit untuk kedua kalinya. Padahal saat itu aku positif hamil untuk kedua kalinya. 
Suamiku teramat girang mengetahuinya, dan sesuai saran dokter aku tak boleh banyak bergerak dan stress. Akhirnya, suamiku merelakan aku kembali ke rumah orang tuaku. Kali ini dia juga mau lebih sering menemaniku, sekalipun sesekali masih suka tinggal di rumah kontrakan. 
Anak laki-laki yang tampan lahir dari rahimku. Anak itu persis dengan yang diharapkan oleh suamiku, hingga membuatnya begitu betah di rumah. Sekalipun laki-laki, suamiku tak segan memandikan, memakaikan pakaian dan membersihkan kotoran anak. 
Dia begitu menikmati kehidupannya di rumahku setelah kehadiran buah hati. Dialah yang selalu terbangun di tengah malam saat putera pertamaku terbangun, sampai-sampai puteraku spontan memanggilnya setiap kali bangun tidur.  
Suamiku bahkan seakan tak mengenal lelah bila berurusan dengan anak. Dia bisa langsung pulang ke rumah bila aku beritahu anaknya panas. Padahal dia baru saja sampai ke kota itu untuk kuliah.
Kehidupanku terasa baru dimulai dengan tenang sejak anak-anakku lahir satu demi satu. Suamiku menyambut setiap kelahiran anaknya dengan penuh bangga. Apalagi kelahiran mereka sejalan dengan peningkatan karier dan kesejahteraan keluarga kecilku. 
Sekalipun perlahan, kami mulai memiliki rumah, kendaraan, dan lembaga pendidikan yang berkembang pesat. Hampir-hampir tidak ada masalah berarti dalam kehidupan rumah tangga kami, sekalipun kadang merasa berat mengelola lembaga pendidikan ini.  

YANG TERBAIK DARIMU: PERAWAN TULEN!!!

Sikap istriku banyak berubah sepulang dari rumah sakit. Meski sakit typus yang diderita masih masuk pada masa-masa penyembuhan, tetapi dia cukup baik padaku. Dia menemaniku makan, menatakan pakaianku, dan banyak mengajakku berbicara. 
Sebenarnya aku sudah muak pada perempuan itu. Kalau bukan demi ibuku, aku malas melanjutkan kisah ini. Aku pikir, akan bersandiwara saja dengan semua ini entah sampai kapan. Mungkin aku hanya akan bersahabat saja dengan seseorang yang seharusnya menjadi kekasihku. Persetan dengan masa depan. Toh, selama ini aku sudah melupakan rencana pernikahan.
Sebagai lelaki normal, kadang tergoda juga melihat tubuh perempuan yang lumayan cantik rebah di sisiku, tetapi aku enggan menyentuhnya. Hingga acara ngunduh mantu selesai, aku masih enggan menyentuh perempuan itu sebagai istriku, tetapi tak aku pungkiri akhir-akhir ini kami semakin dekat.
Kami bercerita banyak hal tentang masa lalu, teman-teman, pekerjaan dan harapan-harapan masa depan. Saat itulah aku tahu bahwa meski terpelajar, dia memang perempuan yang "terlalu tradisional" untuk ukuranku. Meski pernah punya kekasih, dia sama sekali jauh dari hal-hal berbau seksual. 
"Menjelang menikah aku benar-benar resah, bagaimana caranya bersikap sebagai istri. Aku ingin menikah tapi tak membayangkan betapa malunya, bila harus tidur sekamar dengan lelaki. Aku membayangkan akan punya anak suatu saat, tapi aku nggak mau membayangkan bagaimana bisa sampai ke sana. Soal menikah aku cuma membayangkan akan punya teman lelaki begitu saja" Begitu pengakuannya.
"Soal sex?" Tanyaku perihal hubungan suami-istri. 
"Ih...., Aku begitu risih mendengarnya, apalagi membicarakan, bahkan sekedar membayangkan sekalipun aku tidak berani"
Setelah berbicara panjang kali lebar, perlahan kamipun mulai berciuman dan membiakanku meraba bagian-bagian tubuhnya. Masih jelas aku rasakan rasa rikuh pada sikapnya setiap kali aku menyentuhnya. Aku tahu dia tidak menikmatinya, tetapi dia membiarkanku melakukan semua yang aku mau.
Dia baru tampak kian gelisah dan seakan berat hati membiarkan jemariku menyusup ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu kemaluan yang teramat lebat menyelimuti bagian liang kewanitaannya. Meski awalnya seakan menolak, beberapa saat setelah jemariku meraba-raba miliknya, sikapnya  berubah seolah pasrah hingga aku dengan mudah melepas kain lembut pembungkus mahkotanya.
Segulir cairah licin tampak membasahi bulu-bulu kemaluannya yang lebar, membuat aku serasa tak tahan untuk tidak menikmatinya. Diapun membiarkan aku menindakan tubuhnya. Hanya saja, bulu-bulu itu terlalu lebat, sangat mengganggu, tetapi menembus liang istimwa itu terasa sulit kulakukan. Bulu kemaluannya sangat mengganggu, karena begitu lebat, bahkan gimbal tidak terawat. "Kok nggak dicukur? Lebat sekali" tanyaku.
"Aku tak pernah mencukur daerah itu" jawabnya.
"Masa?"
"Iya, nggak pernah. Memangnya pake dicukur segala?" tanyanya balik.
"Ya, iyalah..., kan terus tumbuh"
"Menyentuh saja aku tidak pernah. Aku malu, risih kalau harus menyentuh daerah itu"
Dia terkesiap, saat aku mengambil pisau cukur dan mulai mencukurnya. "Ih..., mas... Kamu ngapain?"
Dia tertawa geli saat perlahan aku benar-benar mulai mencukur bulu-bulu itu. "Mas..., Kamu itu aneh. Aku nggak bayangkan akan melakukan seperti ini" jelasnya.
"Memang biasanya seperti apa?" Godaku.
"Sure, aku nggak pernah menyentuh. Aku malu. Apa kamu nggak risih melakukan itu?" tanyanya berulang-ulang, tanpa aku jawab.
Agak susah juga mencukur bulu kemaluan yang tak pernah tersentuh pisau cukur itu, tetapi beberapa saat kemudian kelar juga. Liang terindahnyapun tampak menyembul indah berbalut cairah licin yang tak henti mengalir selama aku membersihkan bulu-bulunya. Sebentar kamudian, dia bangkit ke kamar mandi membersihkan sisa rambut yang menempel di permukaan dan dalam vaginanya.
Sesaat setelah kembali ke kamar dia membiarkanku mencoba lagi hubungan intim, tetapi terasa sangat susah kulakukan. Lubang itu terasa terlalu sempit menjepit. Bahkan jemarikupun tak mampu menembusnya. Dia tampak begitu tegang saat bagian itu tersentuh. Akupun kembali hanya memeluknya, larut dalam ciuman dan belaian. Beberapa kali jemariku menyentuh liang perempuan itu. Permukaannya terasa basah, tetapi lubangnya begitu ketat bahkan untuk ujung jemariku.     
Gairahku semakin panas, tapi kucoba bersabar. Perlahan kukulum lembut liang itu, hingga beberapa saat kemudian dia mengerang-erang sambil mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi. Beberapa saat lamanya aku terus melumat bibir liang senggamanya yang menegang, dan tiba-tiba dia meminta, "Mas... Ayo... Ayooo" Ajaknya.
Dengan senang hati aku menuruti ajakannya. Semula terasa sedikit ketat, tetapi perlahan tubuh kamipun menyatu. Lengkap sudah jalinan pernikahanku sebagai suami istri, tepat seminggu sejak malam pertama yang seharusnya kami nikmati.
Sedikit kekecewaan menggelayuti perasaanku saat dia meminta berhenti saat baru beberapa menit saja kami menyatu."Cepet sudahan, mas" begitu pintanya beberapa kali. Akupun berhenti, meski hasrat yang kurasakan sama sekali belum usai. Membangkitkan kembali gairahnya dan mengulang percintaan itu tetap tidak mudah  hingga beberapa hari kemudian.
Kekecewaan demi kekecewaan "kecil" itu selalu kusimpan karena setiap ada kesempatan menyatu dengannya dia selalu minta sudahan, padahal hasratku masih menggebu. "Cepet keluarin, mas" begitu pintanya setiap kali kami melakukan hubungan suami istri, kalimat yang paling kubenci tetapi selalu berulang kali dia katakan.
Meski begitu, aku mencoba mensyukuri. Mendapat layanan istri sejauh itu harus kuterima sebagai karunia yang jauh lebih dari cukup dibanding semua terget pernikahanku. Setidaknya, urusan dengan ortu selesai, urusan jaga nama baik masih bertahan, dan semua tampak baik-baik saja.
Meski belum benar-benar kurasakan sisi indahnya, aku mencoba mensyukuri keperawanan yang kudapatkan. Aku memang tidak pernah mempersoalkan keperawanan, bahkan terus terang aku lebih kecewa dengan yang aku dapatkan, tapi tak henti aku berusaha mensyukuri telah menikahi seorang perawan. Benar-benar  perawan.
Ya. Secara fisik dia benar-benar masih perawan, meski bagiku hatinya tak lagi demikian. Aku selalu ingat ketatnya jepitan vaginanya saat pertama kami menyatu. Seperti kisah-kisah malam pertama masyarakat tradisional, meski tak ada setitikpun darah menitik, tetapi miliknya begitu ketat menghimpit milikku, layaknya gadis yang baru pertama mengalami hubungan intim.
Aku berusaha mensukuri semua yang terbaik darinya, meski pada akhirnya keluh-kesah ketidakpuasan tak juga mampu kuingkari di kemudian hari.  

TRUELY VIRGIN

Sikap istriku banyak berubah sepulang dari rumah sakit. Meski sakit typus yang diderita masih masuk pada masa-masa penyembuhan, tetapi dia cukup baik padaku. Dia menemaniku makan, menatakan pakaianku, dan banyak mengajakku berbicara. 
Sebenarnya aku sudah muak pada perempuan itu. Kalau bukan demi ibuku, aku malas melanjutkan kisah ini. Aku pikir, akan bersandiwara saja dengan semua ini entah sampai kapan. Mungkin aku hanya akan bersahabat saja dengan seseorang yang seharusnya menjadi kekasihku. Persetan dengan masa depan. Toh, selama ini aku sudah melupakan rencana pernikahan.
Sebagai lelaki normal, kadang tergoda juga melihat tubuh perempuan yang lumayan cantik rebah di sisiku, tetapi aku enggan menyentuhnya. Hingga acara ngunduh mantu selesai, aku masih enggan menyentuh perempuan itu sebagai istriku, tetapi tak aku pungkiri akhir-akhir ini kami semakin dekat.
Kami bercerita banyak hal tentang masa lalu, teman-teman, pekerjaan dan harapan-harapan masa depan. Saat itulah aku tahu bahwa meski terpelajar, dia memang perempuan yang "terlalu tradisional" untuk ukuranku. Meski pernah punya kekasih, dia sama sekali jauh dari hal-hal berbau seksual. 
"Menjelang menikah aku benar-benar resah, bagaimana caranya bersikap sebagai istri. Aku ingin menikah tapi tak membayangkan betapa malunya, bila harus tidur sekamar dengan lelaki. Aku membayangkan akan punya anak suatu saat, tapi aku nggak mau membayangkan bagaimana bisa sampai ke sana. Soal menikah aku cuma membayangkan akan punya teman lelaki begitu saja" Begitu pengakuannya.
"Soal sex?" Tanyaku perihal hubungan suami-istri. 
"Ih...., Aku begitu risih mendengarnya, apalagi membicarakan, bahkan sekedar membayangkan sekalipun aku tidak berani"
Setelah berbicara panjang kali lebar, perlahan kamipun mulai berciuman dan membiakanku meraba bagian-bagian tubuhnya. Masih jelas aku rasakan rasa rikuh pada sikapnya setiap kali aku menyentuhnya. Aku tahu dia tidak menikmatinya, tetapi dia membiarkanku melakukan semua yang aku mau.
Dia baru tampak kian gelisah dan seakan berat hati membiarkan jemariku menyusup ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu kemaluan yang teramat lebat menyelimuti bagian liang kewanitaannya. Meski awalnya seakan menolak, beberapa saat setelah jemariku meraba-raba miliknya, sikapnya  berubah seolah pasrah hingga aku dengan mudah melepas kain lembut pembungkus mahkotanya.
Segulir cairah licin tampak membasahi bulu-bulu kemaluannya yang lebar, membuat aku serasa tak tahan untuk tidak menikmatinya. Diapun membiarkan aku menindakan tubuhnya. Hanya saja, bulu-bulu itu terlalu lebat, sangat mengganggu, tetapi menembus liang istimwa itu terasa sulit kulakukan. Bulu kemaluannya sangat mengganggu, karena begitu lebat, bahkan gimbal tidak terawat. "Kok nggak dicukur? Lebat sekali" tanyaku.
"Aku tak pernah mencukur daerah itu" jawabnya.
"Masa?"
"Iya, nggak pernah. Memangnya pake dicukur segala?" tanyanya balik.
"Ya, iyalah..., kan terus tumbuh"
"Menyentuh saja aku tidak pernah. Aku malu, risih kalau harus menyentuh daerah itu"
Dia terkesiap, saat aku mengambil pisau cukur dan mulai mencukurnya. "Ih..., mas... Kamu ngapain?"
Dia tertawa geli saat perlahan aku benar-benar mulai mencukur bulu-bulu itu. "Mas..., Kamu itu aneh. Aku nggak bayangkan akan melakukan seperti ini" jelasnya.
"Memang biasanya seperti apa?" Godaku.
"Sure, aku nggak pernah menyentuh. Aku malu. Apa kamu nggak risih melakukan itu?" tanyanya berulang-ulang, tanpa aku jawab.
Agak susah juga mencukur bulu kemaluan yang tak pernah tersentuh pisau cukur itu, tetapi beberapa saat kemudian kelar juga. Liang terindahnyapun tampak menyembul indah berbalut cairah licin yang tak henti mengalir selama aku membersihkan bulu-bulunya. Sebentar kamudian, dia bangkit ke kamar mandi membersihkan sisa rambut yang menempel di permukaan dan dalam vaginanya.
Sesaat setelah kembali ke kamar dia membiarkanku mencoba lagi hubungan intim, tetapi terasa sangat susah kulakukan. Lubang itu terasa terlalu sempit menjepit. Bahkan jemarikupun tak mampu menembusnya. Dia tampak begitu tegang saat bagian itu tersentuh. Akupun kembali hanya memeluknya, larut dalam ciuman dan belaian. Beberapa kali jemariku menyentuh liang perempuan itu. Permukaannya terasa basah, tetapi lubangnya begitu ketat bahkan untuk ujung jemariku.     
Gairahku semakin panas, tapi kucoba bersabar. Perlahan kukulum lembut liang itu, hingga beberapa saat kemudian dia mengerang-erang sambil mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi. Beberapa saat lamanya aku terus melumat bibir liang senggamanya yang menegang, dan tiba-tiba dia meminta, "Mas... Ayo... Ayooo" Ajaknya.
Dengan senang hati aku menuruti ajakannya. Semula terasa sedikit ketat, tetapi perlahan tubuh kamipun menyatu. Lengkap sudah jalinan pernikahanku sebagai suami istri, tepat seminggu sejak malam pertama yang seharusnya kami nikmati.
Sedikit kekecewaan menggelayuti perasaanku saat dia meminta berhenti saat baru beberapa menit saja kami menyatu."Cepet sudahan, mas" begitu pintanya beberapa kali. Akupun berhenti, meski hasrat yang kurasakan sama sekali belum usai. Membangkitkan kembali gairahnya dan mengulang percintaan itu tetap tidak mudah  hingga beberapa hari kemudian.
Kekecewaan demi kekecewaan "kecil" itu selalu kusimpan karena setiap ada kesempatan menyatu dengannya dia selalu minta sudahan, padahal hasratku masih menggebu. "Cepet keluarin, mas" begitu pintanya setiap kali kami melakukan hubungan suami istri, kalimat yang paling kubenci tetapi selalu berulang kali dia katakan.
Meski begitu, aku mencoba mensyukuri. Mendapat layanan istri sejauh itu harus kuterima sebagai karunia yang jauh lebih dari cukup dibanding semua terget pernikahanku. Setidaknya, urusan dengan ortu selesai, urusan jaga nama baik masih bertahan, dan semua tampak baik-baik saja.
Meski belum benar-benar kurasakan sisi indahnya, aku mencoba mensyukuri keperawanan yang kudapatkan. Aku memang tidak pernah mempersoalkan keperawanan, bahkan terus terang aku lebih kecewa dengan yang aku dapatkan, tapi tak henti aku berusaha mensyukuri telah menikahi seorang perawan. Benar-benar  perawan.
Ya. Secara fisik dia benar-benar masih perawan, meski bagiku hatinya tak lagi demikian. Aku selalu ingat ketatnya jepitan vaginanya saat pertama kami menyatu. Seperti kisah-kisah malam pertama masyarakat tradisional, meski tak ada setitikpun darah menitik, tetapi miliknya begitu ketat menghimpit milikku, layaknya gadis yang baru pertama mengalami hubungan intim.
Aku berusaha mensukuri semua yang terbaik darinya, meski pada akhirnya keluh-kesah ketidakpuasan tak juga mampu kuingkari di kemudian hari.  

KISAHKU 19 - HADIAH YANG HILANG

Suamiku begitu bahagia saat tahu aku positif hamil. Di tengah kesibukannya dan hidup terpisah, dia berusaha selalu menjaga dan memanjakanku lebih dari biasanya. Tiada saat yang lebih membahagiakan dalam hidup melebihi saat hamil pertama, sekalipun dia enggan tinggal di rumah orang tuaku.
Untuk mencarikan suasana, keluargaku mengajakku dan suami ke Bandung dan Jakarta. Waktu itu kehamilanku menginjak bulan ketiga. Kami pergi ke Bandung menghadiri resepsi salah satu guru yang bekerja di rumahku, kemudian ke Jakarta untuk memperkenalkan suamiku dengan keluarga kakakku.
Dalam satu pertemuan keluarga di Jakarta, sikap kakak iparku tidak lebih baik dari adikku. Sekalipun hanya dengan kata-kata kakak iparku bersikap kasar pada suamiku, yang membuat suamiku enggan bicara dengannya. Bahkan sejak saat itu, dia tak pernah berkomunikasi dengan kakak iparku hingga suami kakakku itu meninggal dunia.
Keluargaku sudah biasa dengan sikap kakak iparku yang keras dan serba mengatur, juga dengan sikap adikku yang sering kalap bila sedang emosi, tetapi sikap itu tidak bisa diterima suamiku. Dia sama sekali bukan tipe lelaki yang bisa menerima kekerasan apapun. Meski sangat rasional dalam memandang banyak masalah, dia orang yang sangat perasa.
Dia tak menunjukkan ketidaksukaannya pada cara kakak iparku, tetapi dengan pasti menjaga jarak dan menghindari berbicara langsung. Dia bahkan lebih suka membawaku jalan-jalan di sekitar rumah sekedar menghindari komunikasi. Itu pula sebabnya dia mengajakku segera pulang ke rumah.
Satu hal lagi kupahami dari suamiku. Dia memang seorang yang lembut dan penyabar, tetapi bila dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai, dia bisa bersikap sangat keras. Bahkan sejak saat itu aku menyebutnya bola karet, halus, empuk, lembut, tetapi bila terlempar dengan keras dia bisa sangat menyakitkan.

Pulang dari Jakarta keluargaku kembali meminta suamiku tingga di rumah orang tuaku. Kami butuh orang seperti dia untuk membangun kembali lembaga pendidikanku yang beberapa tahun terpuruk dan ditinggalkan masyarakat. Apalagi aku sedang hamil dan butuh perhatian dia lebih dari biasanya.
Dia tidak mengiyakan, tetapi setelah beberapa hari tinggal di rumah, tiba-tiba aku mengalami keguguran. Suamiku menemaniku selama aku menderita sakit yang tak tertahankan. Dia tak pernah jauh dariku, sekalipun raut kekecewaan jelas tergambar di wajahnya. Dia kehilangan anak yang menjadi harapannya.

MALAM-MALAM PENUH BEBAN

Hari kedua pernikahan rupanya tidak lebih baik. Kami memang semakin akrab, bicara banyak hal tanpa beban. Dia selalu tertawa lepas karena gurauan-gurauanku, meski sesekali menangis sedih saat membicarakan mantan kekasihnya.
Seharian hampir-hampir kami tidak berada di kamar, karena dia membawaku keliling dari satu rumah ke rumah kerabatnya yang lain untuk memperkenalkan aku. Baru sekitar jam 9 malam kami mengakhiri perjalanan itu.
Saat kembali ke kamar, kembali rasa kecewa menyeruak di hati, karena sejenak sejak masuk kamar dia sudah tertidur pulas. 
Rasa kesalku benar-benar tak tertahankan. Tanpa seijin dia dan siapapun, aku pulang ke rumah orang tuaku, hanya dengan meninggalkan pesan di secarik  kertas, “Aku pulang, tidak usah kamu cari, tidak usah kamu telepon”
Terus terang aku sendiri sebenarnya segan kembali ke rumah. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada ortuku. Semalaman aku hanya duduk-duduk di terminal, menyiksa diri dengan berbatang-batang rokok. Aku baru berani ke rumah sekitar jam 10 pagi.
Ibuku kaget bukan kepalang melihat kedatanganku, “Lho, istrimu mana?” tanyanya mengawali. Semula aku berkelit ke sana ke mari, tapi akhirnya akupun mencoba bicara sehalus mungkin, “Bu..,  kalau pernikahan ini tidak dilanjutkan menurut ibu bagaimana?” tanyaku politis.
Bukan sempat menjawab pertanyaanku, ibu sudah terkulai lemas tak sadarkan diri. Berbagai usaha kulakukan, tapi dia seperti sulit untuk siuman. Segera saja kuangkat wanita itu dan membawanya ke rumah sakit. Yang paling istimewa pula, ini adalah pertama kalinya ibuku masuk rumah sakit. Beberapa saat setelah ditolong perawat ibu kembali siuman. Lega sekali hati ini melihatnya.
Beberapa saat setelah siuman, ibu memaksa bicara padaku, meski dokter melarangnya. “Le, ibu nggak mau mendengar kata itu lagi. Ibu sudah bilang, sekali melangkah, jangan pernah menoleh ke belakang, jangan pernah menarik ludahmu sendiri. Sekarang kamu pulang ke rumah istrimu atau kamu tidak usah datang padaku lagi”
Aku hanya diam saja, meski sebenarnya aku ingin menyampaikan alasanku. Aku tak tega bicara saat dia dalam keadaan seperti itu. Apalagi ibuku memang lumayan “otoriter”. Dia tidak pernah meminta argumen, Bagi anak-anaknya dia adalah pepunden, sesembahan. Apa yang dia mau, dia katakan tidak pernah sekalipun kami bantah. “Kamu harus pulang ke rumah istrimu sekarang”
“Tapi ibu kan masih sakit?”
“Aku sudah banyak yang ngurusi. Sekarang kamu pergi sana. Ayo pergi” hardiknya dengan nada yang kian tinggi.
Setelah merasa linglung beberapa saat, akhirna akupun berdiri. Aku mencoba sungkep (menyalami tangannya), tapi dia tepis. “Nggak usah. Besuk Minggu saja kalau kamu datang sama istrimu”
Hari minggu yang akan datang memang acara ngunduh mantu (resepsi di rumah pengantin pria) dirumah ibuku. Sebagai orang yang ditokohkan di kampungku, aku bisa mengerti betapa sedih dan malunya ibuku bila acara itu batal dengan cara seperti ini.
Aku merasa linglung. Aku tak tahu harus apa, tak tahu lagi harus bagaimana. Beberapa saat aku hanya terduduk di terminal bis. Kepulan asap rokok saja yang membantuku mengusir penat hingga beberapa lama.
Saat aku kian jauh larut dalam lamunan, tiba-tiba HP-ku berdering. Rupanya mertuaku menelpon, "Istrimu sakit, nak. Dia harus ke rumah sakit, tetapi tidak mau diantar ke sana tanpa kamu. Tolong pulanglah"
Sebentar kemudian istri yang berbicara sambil menangis. Dia minta maaf, dan memintaku kembali. Terus terang aku tidak berminat, tetapi kali ini benar-benar tak ada pilihan. Semua  harus kulalui meski teramat memuakkan. Setelah malam pertama yang memuakkan, minggu pertama pernikahan kuhabiskan dengan berjuta beban.  

MALAM PERTAMA YANG MENYEDIHKAN

Bagi pasangan normal, malam pertama pasti jadi saat2 paling ditunggu. Setelah pesta usai dan tamu2 telah berlalu, tentu saja saat bersejarah itu yang paling kutunggu, tetapi hari pernikahan serasa sama sekali tidak istimewa bagiku. 
Ada perasaan aneh, hampa dan serasa menyongsong hari-hari yang suram. Meski begitu, aku mencoba sekuat tenaga berfikir positif. Inilah hariku, hari istimewaku yang harus kunikmati sebagaimana seharusnya. Apapun alasanya, apapun latar belakang pernikahan ini, apapun yang dipikirkan istriku, hari ini aku mempunyai istri. Aku akan menikmati hari-hari indah bersamanya.
Selepas acara pernikahan siang itu, aku merasa suasana semakin aneh, karena istriku seperti berusaha menjauh dan menghindariku. Dia bahkan berusaha menghindarkan aku dari kawan-kawannya. Praktis, aku sama sekali tidak berbicara dengan mereka. Beberapa lama aku hanya di kamar, sementara dia entah di mana. Menjelang Maghrib aku mulai sedikit kesal, karena dia tidak juga masuk ke kamar pengantin. Segera saja keluar mencarinya dan ternyata sejak tadi dia berada di kamar sebelah.
Kulihat dia begitu asyik telepon seseorang dan tidak mempedulikanku. Setelah tahu kehadiranku diapun menghampiri, lalu mengejutkanku saat berkata, “Mas, kamu tidur di kamar sana aja ya, aku di sini?”
Dengan menahan rasa kesal akupun mendekatinya dan bilang padanya, “OK. Nggak apa-apa. Biar aku mau pulang saja”
“Lho, kenapa?” sahutnya terkejut.
“Aku nggak merasa sedang jadi pengantin” jawabku datar dan segera beranjak pergi. “Jangan… Mas…, jangan pergi”
Aku benar-benar kesal, dan segera beranjak ke kamar untuk mengemasi barang ke kopor. Beberapa saat kemudian dia masuk ke kamar bersama ibunya. “Mau ke mana, nak?” tanya ibu mertuaku.
“Saya pulang saja, bu”
“Lho, kenapa? Ya nggak enak dong kalau dilihat orang. Masa baru jadi pengantin kok pulang”
Aku terdiam sejenak. Dengan menahan kesal aku berusaha bicara sesopan mungkin pada wanita itu. “Kalau di sini saya yang merasa tidak enak. Masa istriku tidur di kamar sebelah dan saya di sini?”
Kontan ibu mertuaku terhenyak, dan balik marah-marah pada istriku, “Kamu ini bagaimana sih? ….. Harusnya kamu temani suamimu”
Istriku diam saja, kemudian ibu mertuaku menasehatiku, “Nak, tolong kalau ada apa-apa dibicarakan dulu, jangan terus pulang begitu”
“Saya sudah bicara tadi, tapi kayaknya ….” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku kesal sekali.
Kembali mertuaku bilang sama istriku, “Sudah. Kamu harus di sini. Layani suamimu, ajak makan. Dari siang tadi sudah kamu ajak makan apa belum?”
Istriku hanya mengangguk.
“Nak, tolong sabar ya?” nasehatnya seraya pergi meninggalkan kami.
Aku tidak berkata-apa dan berhenti mengemasi barang-barang. Aku sendiri juga tidak enak kalau harus pulang di hari pernikahan. Aku tak bisa membayangkan apa yang yang harus kukatakan pada orang tuaku. Dengan dipenuhi rasa kesal, bingung dan perasaan yang tidak menentu, akhirnya aku memilih tidak berbuat apa-apa. Aku tetap tinggal, dan inilah awal kebodohanku.
Aku berusaha meredam kekesalanku. Aku mencoba tenang menghadapi sikap istriku yang memuakkan. Aku bahkan berusaha bersikap sebaik mungkin, Aku berusaha mendekat saat dia terus sibuk membersihkan kuku-kukunya dari cat. Aku mencoba membantunya membersihkan cat dari kuku jari tangan dan kakinya, tapi dia menolak. “Sudah, biar aku sendiri” pintanya.
“OK” tanggapku menyerah. Akupun merebahkan tubuhku di atas tempat tidur hingga waktu Maghrib tiba dan sholat berjama’ah. Sesudah itu, dia mengajakku makan di ruang makan.
Selesai makan, istriku pamit mau telepon temannya dari kamar sebelah. Lama sekali aku menunggu dan rasa kesal itu kembali menghantuiku. Aku merasa ini bukan hari indah pengantin baru seperti diceritakan banyak orang. Ini hari paling memuakkan dalam hidupku.
Selama ini ada puluhan gadis yang dekat denganku, tak satupun bersikap begitu. Mereka menghormatiku, memujaku dan mengharapkanku. Sementara dia yang kumiliki justeru terasa melecehkanku.
Akupun keluar rumah dan membeli beberapa bungkus rokok. Inilah pertama kalinya dalam hidupku aku merokok. Sukses, beberapa batang mengepul dari mulutku, meski kadang harus disertai batuk-batuk. Merokok itu pahit rasanya, getir di mulut dan lidah, tapi tak segetir perasaanku malam itu.
Mungkin karena diingatkan ibunya, istriku menyusulku di halaman depan. “Mas, ayo masuk” pintanya.
Akupun mematikan rokokku dan beranjak ke kamar bersamanya. “Lho, mas merokok, ya?” tanyanya keheranan.
“Sebenarnya sih tidak”
“Kok merokok?”
Aku diam saja dan beranjak masuk kamar bersamanya. “Aku ganti baju dulu ya?” pintanya sembari beranjak keluar.
“Lho, ke mana?”
“Di kamar sebelah”
Meski merasa aneh, aku hanya mengangguk dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Dalam hati aku heran, “Kenapa dia harus ganti baju di kamar sebelah, tapi sudahlah… biar aja” Aku menenangkan hatiku sendiri.
Sesaat kemudian dia muncul di kamar dengan memakai baju tidur dengan pakaian bawahan model celana panjang. Dia membuka-buka almari seperti mencari sesuatu. Sesaat kemudian dia kembali duduk di meja rias. “Ayo sini, dong” Pintaku.
“Sebentar” jawabnya sembari membersihkan wajah dengan kapas dan cairan kosmetik. Akupun segera bangkit dan mendekatinya. Saat dia tengah asyik memberishkan wajah dengan kapas, tanpa permisi aku mencium pipi kirinya. Dia sama sekali tidak bereaksi, dan “Ih…”  sergahnya sembari menghindar saat aku bermaksud mencium untuk kedua kalinya.
“Ayo dong” pintaku kembali sembari memegang tangannya. Diapun akhirnya menurut kuajak ke tempat tidur.
Saat tubuh kami rebah di tempat tidur, akupun mendekat dan bermaksud merengkuhnya. “Mas… Jangan” Tiba-tiba dia menyergah sembari menepis tanganku.
“Kenapa?” tanyaku
“Kita  kan pengantin baru?” sambungku.
“Ya, tapi jangan sekarang” pintanya.
“Kenapa?”
“Aku belum siap”
“Memangnya kita mau ngapain?”
“Hm…” leguhnya menergah.
“Aku pengen peluk aja”
Dengan sedikit memaksa, akhirnya kupeluk juga perempuan itu. Terus terang tergoda juga, saat tanganku melingkari tubuhnya dan pahaku menindih pahanya. Dia menahan jemariku dan memeganginya erat-erat saat bermaksud menyentuh payudaranya, tapi membiarkanku menciumi pipinya.
Dingin dan sama sekali tak terasa istimewa menciumi perempuan tanpa reaksi apapun. Terus terang ini bukan pertama kalinya aku mencium wanita, dan aku tahu bagaimana biasanya reaksi pertama mereka.
Aku tak memikirkannya, karena kamipun akhirnya ngobrol banyak hal, cerita masa lalu, teman-temannya dan tidak terkecuali aku tanya sikapnya seharian tadi. Saat aku tanya sikapnya padaku sejak acara resepsi selesai diapun mulai menjelaskan. “Perasaanku nggak enak aja” jelasnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Entahlah. Rasanya aku tidak siap sekamar dengan laki-laki”
“Kamu kan sudah pernah jalan sama cowok. Sudah lama ingin menikah, masa masih tidak siap?” tanyaku penuh selidik.
Sejenak dia terdiam. Kulihat matanya berkaca-kaca, seolah menahan sebuah beban perasaan yang tak mudah diungkapkan. “Mungkin itu pula sebabnya” dia berguman perlahan.
“Kamu nggak marah, kalau aku cerita?”
“Nggak. Kamu cerita saja”
Dia kembali diam sejenak. Setelah menghela nafas panjang dia melanjutkan ceritanya. “Tadi kami telepon. Dia sekarang sedang stress berat. Katanya dia sedih sekali karena aku menikah sama kamu. Sebenarnya kami memang belum rela mengakhiri hubungan kami, tapi apa boleh buat?” Segulir air mata mengembang di permukaan matanya, hingga meleleh di pipi.
Sejujurnya hatiku hancur sekali mendengar penjelasan itu, tapi aku mencoba tenang. Perlahan kuusap linangan air di wajahnya. Di satu sisi aku kasihan juga dengan wanita itu. Dia sungguh tidak beruntung harus menikah dengan orang yang tidak dia kasihi. Akupun mulai secara jelas menyesali pernikahanku.
Dia mengaku bersedia menerima tawaranku karena kesal pada  mantan pacarnya yang ternyata mencoba mendekati cewek lain. Meski kemudian usaha itu diurungkan, dia masih memendam rasa kesal itu kepadanya.
Sedemikian sedihnya dia mengingat kisah cintanya, membuat dia tak mampu lagi melanjutkan cerita. Akhirnya diapun menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa memeluknya, menenangkannya dengan mengusap punggungnya perlahan.
Dalam hati akupun mencoba menenangkan perasaanku sendiri yang kecewa berat malam itu.
Aku mulai merasionalkan cara pandangku. “Masa bodoh dengan masa lalunya. Yang jelas, dia  istriku. Bersama dialah aku mesti habiskan sisa hidupku dengan berbagai masalahnya, terutama masa lalu dia dan kekasihnya, bahkan jalinan komunikasinya yang masih bertahan hingga saat ini.
Aku harus berfikir pragmatis saja. Malam ini aku tidur dengan perempuan. Malam ini malam pertamaku. Kunikmati saja semuanya. Siapa tahu ngobati pedihnya hatiku saat ini” pekikku dalam hati.
Beberapa lama setelah dia kembali tenang aku kembali memeluknya. Aku mulai fokuskan perhatianku pada perempuan itu. Dia masih menggoda di mataku, apalagi saat kembali memeluknya seperti tadi. Dia menyergah sembari menahan tanganku saat jemariku kembali bermaksud membuka kancing bajunya. “Mas,  jangan dulu, ya?” pintanya.
“Kenapa?” tanyaku.
Sejenak dia terdiam menahan perasaan. “Pokoknya jangan sekarang”
“Kapan lagi. Ini kan malam pertama kita, sayang?”
“Iya, tapi aku belum siap. Aku pikir mungkin satu atau dua bulan lagi aja”
“Hah…?” Pekiku lirih.
“Aku bener-bener belum siap. Maafkan aku, ya”
“OK” jawabku lemah. Perasaan kesal kembali memenuhi ruang hatiku. Segera saja aku beranjak bangkit, tapi dia memegangi tanganku sambil menyergah, “Mas… jangan!!”
Dia  mengira aku akan kembali berniat pulang. Diapun melepaskan tanganku saat aku bilang, “Aku cuma mau merokok saja”
Akupun keluar kamar dan menghisap batang demi batang rokok hingga pagi menjelang. Unik, Malam pertama bukan jadi malam mengasyikkan bersama lawan jenis, tetapi malam pertama bersama batang-batang rokok.