Rabu, 18 September 2013

KEPERAWANANKU HILANG GARA-GARA PETTING

Namaku Awa, 21 tahun. Sejak kuliah semester 1 hingga semester V ada beberapa cowok yang dari sikapnya kelihatan naksir aku, seperti Amran, Fandi, Lukman. Sebenarnya aku sangat berharap jadian dengan Amran, tetapi justeru Fandi yang pertama kali menyatakan perasaannya padaku. 
Aku sempat bingung saat tiba-tiba Amran menyatakan perasaannya, tetapi akhirnya aku justeru mantapkan batinku menerima Fandi.
Seiring waktu aku kian menikmati kebersamaanku dengan Fandi terasa menyenangkan. Meski secara fisik tak lebih menarik dibanding Amran, sikap Fandi membuatku bahagia. Dia pintar membuatku tertawa dan bahagia, bahkan tak terasa aku merasa begitu dekat dan tak ingin berpisah darinya.
Kepintarannya merayu membuatku terbiasa melakukan peluk-cium dengan lelaki itu. Padahal sebelumnya urusan begituan itu sebenarnya begitu tabu bagiku. Kini aku yang justeru merasa tak diperhatikan bila saat bertemu dia tak menciumku, atau sekedar menyentuh kepalaku.
Setelah beberapa waktu berlalu aku merasa dialah bagian dari kehidupanku. Aku pastikan batinku akan selalu bersamanya seumur hidupku. Aku tak kuasa menolak saat dia semakin nakal padaku. Setelah beberapa kali aku tolak, akhirnya aku menuruti keinginannya untuk meraba-raba payudaraku. 
Di luar dugaanku, sentuhan jemarinya di payudaraku ternyata membuat bergetar jiwa dan ragaku. Perasaan geli yang kurasakan saat dia menyentuh bagian tubuh sensitifku itu ternyata membuat hasratku membumbung, menggelegak tak menentu. Desiran hasrat yang menggebu membuat aku merasa ingin memasrahkan seluruh jiwa ragaku. Apalagi saat dia mengulum puting payudaraku, tubuhku serasa melayang ke langit ketujuh.
Sentuhan itu membuat segala gaya bercumbu tak lagi tabu bagiku. Kisahku terasa begitu syahdu saat kami tenggelam dalam bibir dan lidah yang beradu. Kurelakan jemarinya menyusup di balik bajuku, menyentuh, mengusik, mengulum payudaraku, tetapi beberapa waktu aku tetap pertahankan bagian bawah tubuhku.
Aku selalu menahan jemarinya yang sesekali mulai nakal, berusaha menjalar ke balik celanaku. Aku berniat terus pertahankan bagian itu untuk hari pernikahanku. Desiran hasra yang selalu terpacu dan rengekan Fendi yang tak henti mengiba, membuat pertahanan imanku kian merapuh.
"Aku nggak mau lakukan itu. Aku cuma ingin tahu" Rengeknya untuk kesekian kali.
"Oke, tapi janji. Cuma sentuh luarnya saja" Aku menyerah, melunakkan sikapku, sembari meminta dia berjanji tak akan lebih dari sekedar meraba bagian luar vaginaku. 
"Greng" Rasanya bagai tersengat halilintar saat akhirnya jemarinya yang hangat menyentuh bagian paling pribadiku. Hasratku begitu menggelegak merasakan sentuhan jemari lelaki pujaanku. Aku bahagia sekali melihat wajahnya saat berhasil. 
Meski aku sendiri begitu tergoda, tetapi aku tetap bertahan agar tak akan lebih dari sentuhan itu, tapi rupanya itu tak cukup memuaskan rasa ingin tahu kekasihku. Hampir setiap kali bertemu, dia selalu meminta itu. "Idih..., jangan masuk-masuk" Sergahku saat dia mulai nakal, menyusupkan jarinya di liang vaginaku, tetapi lelaki itu seakan tak peduli dengan dalih sekedar ingin tahu. 
Di sisi lain, pertahanan batinku kian rapuh oleh sentuhan demi sentuhan itu. Aku hanya bisa membiarkannya mempermainkan liang vaginaku dengan ujung jemarinya, yang kurasakan kian memuncakkan gairahku. Aku bahkan tak kuasa menolak saat dia melepas celanaku. 
"Eh..., apaan, sih?I" Aku kembali menyergah saat tiba-tiba dia mengeluarkan penisnya di hadapan vaginaku. "Cuma ingin nempel saja" pintanya suatu waktu. Penolakanku hari itu dan beberapa kali sesudah itu membuatku merasa bersalah tak menuruti permintaannya. Padahal aku sangat ingin dia bahagia dan mencintaiku.
"Oke. Tapi ingat. Jangan sampai masuk. Aku hanya ingin menyerahkan itu pada suamiku, di malam pengantinku" Tegasku.
Fandipun tampaknya mengerti. Bagaimanapun sebenarnya dia juga orang konvensional sepertiku, yang memandang tabu melakukan hubungan kelamin sebelum menikah. Dia juga berharap keperawananku akan menjadi kado istimewa di hari pernikahan nanti.
Beberapa kali kami hanya petting. Dia menggesek-gesekkan penisnya di permukaan vaginaku. Setelah puas, dia selalu menyusupkan penisnya di sela pangkal pahaku dan bergerak seakan bersetubuh denganku. Setelah beberapa saat hangatnya cairan sperma lelaki itu menyembur deras di balik pahaku.
Suatu siang di kamar kost-nya, dia kembali mengajakku mengulang adegan berbahaya itu. Kali ini aku terlentang di atas kasur dan membiarkan dia memainkan ujung penisnya di permukaan vaginaku. Aku percaya dia tak akan benar-benar memasukkan penisnya dalam vaginaku, sebab sudah berkali-kali kami biasa melakukan itu. 
Sesekali dia memang mencoba memasukkan penisnya lebih dalam di vaginaku, tetapi selalu menarik kembali bila aku menyergahnya. "Jangan ke situ-situ. Ntar masuk beneran" Rengekku saat dia mencoba memasukkan penisnya di liang vaginaku.
"Enggak cuma gini aja, kok" sahutnya sembari menarik penisnya dan kembali menggesek-gesekkannya di bibir vaginaku. Aku tak curiga sebab biasanya dia begitu, tapi tiba-tiba "Bless" Aku merasa sebagian penisnya benar-benar sudah menyusup ke liang vaginaku. 
"Aduh... Masuk, masuk, nih" Sergahku seraya mendorong tubuhnya dari hadapanku. Lelaki itu benar-benar menyetubuhiku. Dia telah merenggut keperawananku.
"Aku nggak kuat. Aku kepingin sedikit aja, Wa" Sahutnya.
"Idih...., kamu gimana sih" Hardikku sembari menangis menyesali lepasnya keperawananku. Entahlah, aku merasa bingung dengan yang baru saja terjadi. Aku tak siap kehilangan keperawananku, tetapi aku mencintai kekasihku. Aku terus menangis karena merasa sangat kehilangan, meski Fandi tak henti menenangkanku. 
Aku tak henti mengguyur tubuhku setelah itu, tetapi rasa berdosa dan penyesalan serasa tak pernah pergi dari batinku. Hanya janji Fandi untuk menikahiku saja yang sedikit menghibur rasa kehilanganku.