Sabtu, 06 Juni 2009

KISAHKU 10 - AKU SEORANG ISTRI

Suasana rumah begitu ramai saat menjelang akad nikah. Teman-teman dekatku berkumpul di rumah menemaniku. Mereka membantu kesibukan di rumah, terutama di dapur dan sesekali menggodaku dengan berbagai candaan.
Menjelang akad nikah Zaenal menelponku sekedar mengucapkan selamat. Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Aku bingung menyikapinya. Ada rasa senang dan canggung sekaligus dalam hatiku, tetapi semua segera berlalu oleh kesibukanku malam itu.
Malam itu T sudah resmi menjadi suamiku, tetapi dia akan pulang untuk resepsi besok pagi. Dia sempat menelponku sesaat setelah keluar dari musholla tempat akad nikah. Dia sempat menggodaku, "Aku nginap di sini aja, ya?" yang membuatku merasa sangat kikuk.
Setelah rombongan keluarga Irfan pulang, teman-teman tak henti menggodaku. "Wah, sebentar lagi kamu akan merasakan itu" Aku risih mendengar candaan seperti itu. Selama ini aku paling enggan membahas masalah-masalah seperti itu. 
Meski begitu, aku sendiri bingung bagaimana menghadapi malam pengantin. Terus terang aku malu dan tak bisa membayangkan bagaimana bersanding dengan lelaki di tempat tidur. "Mbak, aku rasanya malu membayangkan malam itu" keluhku pada mbah Um, sahabat karibku. "Alah..., kalau aku biasa saja. Semua orang mengalaminya, kan?" begitu jelasnya menenangkanku. 

KISAHKU 09 - PERSIAPAN PERNIKAHAN


Persiapan pernikahan menjadi hari tersibuk dalam hidupku. Aku begitu bersemangat mempersiapkan pernikahan yang begitu lama kunantikan. Aku bersemangat ke rumah kakakku di Jakarta untuk berbelanja. Mereka membawaku berbelanja baju-baju pengantin ke berbagai tempat di kota besar itu.
Bersama mbak Um, teman karibku saat KKN, aku belanja berbagai keperluan di Surabaya. Satu hal yang aku persiapkan adalah bed cover sekaligus selimut tidur yang cukup tebal.
Orang tuaku bertanya-tanya untuk apa bed cover dan selimut tebal yang aku beli, tetapi aku berkeras membelinya. Dia-diam aku sudah berpikir bagaimana menjalani menjalani malam-malam pengantin bersama suamiku.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana malam-malam pengantin bersama lelaki yang baru kukenal. Aku malu membayangkan, apalagi membicarakannya dengan orang lain. Itu sebabnya, diam-diam aku mempersiapkan bed cover, dengan harapan aku tak perlu malu bila melakukan hubungan suami-istri di dalam balutan selimut tebal.  
Aku mengurus sendiri perias pengantinku, dan memilih perias terbaik di daerahku. Aku bolak-balik ke salon itu untuk memastikan riasan, dekorasi, hingga pakaian yang akan kupakai saat resepsi pernikahan.
Orang tuaku tidak kalah sibuk. Mereka membenahi rumah, mengundang sanak saudara dan berbagai hal yang berkaitan dengan acara pernikahanku. Bulan Ramadhan tahun itu menjadi Ramadhan paling sibuk, dan lebih banyak berkaitan dengan persiapan pernikahan.
Sejak lebaran tiba, aku sibuk belanja dan memasak untuk persiapan pernikahan. Aku berusaha memasak sendiri semuanya, dan memastikan hanya akan membuat masakan terbaik untuk pernikahanku. Bahkan saat menjelang akad nikah aku masih sibuk mondar-mandir ke sana ke mari mengurus berbagai keperluan. 

KISAHKU 08 - LAMARAN DAN MENGENAL CALON SUAMI


Hanya seminggu setelah kami sepakat menikah, orang tua Irfan berencana datang melamarku. Suasana rumahku berubah hiruk-pikuk. Semua orang membicarakan rencana pernikahanku, dan sibuk mempersiapkan lamaran. Semua beban persoalan serasa mulai lepas membebani hatiku, dan tingga menanti hari-hari pernikahan yang begitu lama kunantikan.
Di hari yang dijanjikan, aku sempat kuatir keluarga Irfan tidak jadi dating. Hingga siang hari mereka tidak kunjung datang setelah seharian kami  menunggu. Aku menyibukkan diri dengan memasak seharian.
Aku merasa lega ketika mereka tiba, tanpa Irfan. Hanya ayah, ibu dan adiknya datang ke rumah. Padahal keluargaku berkumpul semua menyaksikan prosesi itu. Rupanya kami sedikit salah paham, sebab orang tuanya Irfan sebenarnya baru berniat silaturrahmi. 
Meski begitu pertemuan itu sudah menghasilkan kata sepakat, bahwa kami akan menikah sekitar 2 bulan kemudian. Keputusan itu sebenarnya terasa terlalu cepat, karena aku dan Irfan belum cukup mengenal, tetapi aku juga tak punya alasan untuk terus menunggu. 
Seminggu kemudian Irfan memintaku bertemu. Aku menjanjikan dia bertemu di Malang karena ada beberapa keperluan. Aku menolak tawarannya untuk mengantar aku ke sana. Aku memintanya menjemput di terminal saja saat aku pulang, karena waktu itu aku sebenarnya ke Malang untuk menemui Zaenal sekedar untuk menegaskan bahwa hubungan kami harus diakhiri.
Aku begitu terharu, ketika Zaenal meminta agar tidak pernah ada kata putus di antara kami. Akupun mengiyakan untuk tetap berhubungan baik meski kami tidak jadi menikah. Aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana mengakhiri ikatan batinku dengan lelaki yang sekian lama kuperjuangkan untuk menjadi suamiku. Tak pernah ada masalah yang mengharuskan kami putus. Hubungan dan perasaan kami masih seperti sebelumnya, meski tak mungkin bersama. Mempertahankan persahabatan adalah pilihan paling adil di antara kami.
Perjalanan pulang menjadi kesempatan aku mengenal Irfan lebih dekat. Perasaanku semakin mantap untuk memulai kisah baru bersamanya setelah mengenal pribadinya, dan sikapnya yang menyenangkan. Aku sendiri masih merasa kaku untuk menerima seperti Zaenal, tetapi aku merasa dia lelaki yang baik dan dalam banyak hal cukup mengesankan. Apalagi setelah kami bertemu kembali beberapa hari kemudian.
Dia membawaku ke tempat kerjanya, memperkenalkan aku dengan orang-orang yang dekat dengannya hingga aku makin tahu banyak tentang dia. Aku bahkan diperkenalkan dengan kakaknya dan beberapa kali singgah di rumah makan. Meski kelihatan pendiam, ternyata dia sangat pintar berkelakar dan enak diajak bicara. Aku semakin yakin bisa menjalani kisah baruku bersamanya.

KISAHKU 07 - MENYERAH PADA JODOH

Kakaku tak henti mendorongku agar segera mengambil keputusan. Aku harus berani mengambil resiko. “Kalau kamu mau maju, majulah terus, dan harus siap dengan segala konsekwensinya. Kalau kamu mundur kamu harus segera mudur, dan semua ada konsekwensinya. Kamu tak bisa terus-terusan menunggu karena itu hanya menghancurkan dirimu sendiri”, begitu pesan kakaku berulang kali.
Aku mulai lemah setelah teman-temanku bilang Zaenal secara diam-diam mendekati cewek lain. Banyak temanku yang bilang dia sedang mendekati cewek entah Ponorogo atau Madiun. Aku sangat sakit hati, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Aku sadar, aku sudah membuatnya menunggu selama ini. Orang tuakulah yang menjadi penghalang hubungan kami.
Karena itu, dalam hati aku mulai meyakinkan diri, bahwa aku tak akan pernah menikah dengan dia. Aku hanya tak tahu bagaimana keluar dari kenyataan ini. Betapapun menyakitkannya kenyataan itu, aku tak punya alternatif yang lebih mungkin dibanding Zaenal.
Itulah sebabnya, aku mulai membiarkan orang tuaku memilihkan jodoh untukku. Beberapa kali calon suami diajukan padaku, tetapi belum ada yang benar-benar kuterima. Aku sedang mempertimbangkan 2 orang lagi yang kemungkinan besar kuterima salah satunya. Salah satu lelaki itu adalah mas Samsul yang dulu pernah dijodohkan dengan aku. Hubungan kami yang sempat putus dan karena dia orang satu daerah denganku menjadi pertimbangan terberatku untuk menerimanya.
Sebenarnya aku tidak nyaman bila harus menikah dengan mas Samsul. Aku punya banyak alibi untuk menjelaskan mengapa dulu aku memutuskan pertunangan. Aku bahkan kesal karena mas Samsul menyurati Zaenal, dan menuduhnya telah merusak hubungannya denganku, tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku bersiap-siap menerimanya kembali, karena sepertinya dia laki-laki yang paling mungkin aku nikahi.
Saat tengah mempertimbangkan lelaki yang akan kuputuskan sebagai suami, tetapi tiba-tiba Irfan menelponku, setelah 2 tidak ada kabar lagi. Dia mengabarkan kalau sekarang sudah masuk kuliah S3 dan bertanya apakah aku sudah menikah. Aku sedikit berbohong padanya kalau aku sudah putus dari Zaenal. Aku memang sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri hubunganku dengan Zaenal dan bersiap menerima calon suami pilihan orang tuaku.
Aku begitu senang ketika tanpa kuduga dia mengajakku menikah. Aku tidak tahu yang harus kukatakan, tetapi semua orang yang kuberi tahu soal itu menyayangkan bila aku menolaknya.
Akhirnya, akupun menerima ajakan Irfan untuk menikah. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya, tetapi bagaimanapun Irfan adalah alternatif paling aman di antara semua lelaki yang mungkin menikahiku. Paling tidak aku sedikit lebih mengenal dia dibanding yang lain. Lagi pula, Irfan bukan dari daerahku dan tidak mengenal keluargaku sebelumnya.
Sejak menerima mas Irfan, masalahku terasa sudah selesai, karena aku akan menikah. Keluargaku begitu bahagia dengan keputusan ini. Mereka menganggap aku mendapatkan orang yang jauh lebih baik dibanding pilihanku maupun orang tuaku. Apalagi pekerjaan dan pendidikan calon suamiku jauh di atas yang mereka bayangkan.
Aku sendiri sebenarnya masih merasa gamang. Aku tak tahu yang aku rasakan, karena aku merasa tidak cukup mengenalnya. Aku hanya mengenal Zaenal sebagai satu-satunya lelaki dalam hidupku, tapi aku berharap seiring waktu mas Irfan akan bisa menggantikan Zaenal di hatiku.
Aku berusaha menepis kebimbangan hatiku, meski aku tak bisa memungkiri, hingga sikapku sedikit ambigu. Di hadapan Zaenal dan teman-teman aku tetap menegaskan bahwa sebenarnya Irfan bukan pilihanku. Menikah dengannya hanyalah jalan yang harus aku lalui. Aku hanya mengikuti kehendak orang tuaku.
Pengakuanku sedikit berbeda bila bertemu dengan orang-orang yang tidak mengenal sahabat-sahabatku. Aku mencoba bersikap seolah aku bahagia telah menemukan sosok terbaik dalam hidupku.