Rabu, 22 April 2009

KISAHKU 06 - MELEMAHNYA PERTAHANAN HATI

Bulan sudah berganti tahun, bahkan genap 4 tahun aku serasa terus berperang urat syaraf dengan orang tuaku. Aku mencoba beradu kesabaran dengan mereka, yang aku yakin akan luluh oleh waktu. Untuk melepas penatnya penantian, sesekali aku mencuri kesempatan bertemu dengan kekasihku. Aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Zaenal setiap kali ada teman kuliah yang menikah, atau ada kegiatan di luar kota.
Herannya, orang tuaku tetap kukuh dengan pendiriannya. Padahal seiring usia yang kian bertambah aku merasa mulai lemah, aku merasa mulai kalah. Aku merasa resah dan bersiap-siap menyerah. Perlahan aku mulai menyerah pada orang tuaku.
Keluargaku sendiri tak henti meluluhkan hatiku. Kakakku yang semula membelaku dan kadang menjadi penengah, kini lebih banyak menasehatiku soal rumah tangga. Dia bercerita soal rumah tangganya yang membuatku befikir ulang soal hubunganku dengan Zaenal. Aku mulai berfikir ulang tentang masa depanku secara lebih realistis, dan bukan sekedar mengikuti kata hati.
Ini dikarenakan aku dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan realistis. Aku tak bisa menjawab pertanyaan kakaku, apakah menikah dengan Zaenah pasti membuat aku bahagia? Kakakku menunjukkan betapa dia yang menikah karena cinta dengan iparku ternyata juga banyak masalah. Dia juga menunjukkan betapa saudara-saudara sepupuku yang menikah dengan orang yang baru dia kenal ternyata tidak kalah bahagia.
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Apa yang membuat aku memilih Zaenal? Apakah dia lelaki idealku? Bukankah selama ini setiap orang yang dekat denganku selalu menilai aku pasti akan menikah dengan orang-orang yang lebih dari dia. Aku mengingat-ingat kembali sikap teman-temanku selama di asrama.
Aku mencoba mengalihkan deraan perasaan pada logikaku. Melihat seperti apa aku selama di asrama, mereka menyangka, aku pasti akan menikahiku dengan lelaki yang menonjol, seperti keluarga kyai,  dosen atau orang-orang yang dianggap hebat oleh kebanyakan orang.
Aku mengakui, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan lelaki itu. Zaenal sama sekali tidak masuk dalam hitungan orang yang pantas menjadi suamiku. Dia bukan siapa-siapa di mata semua orang. Dia tidak dikenal bahkan di lingkungan kampusku sendiri.
Aku sadar. Aku hanya terlanjur dekat dengannya, hingga membuat aku merasa tak ada yang lebih baik darinya. Aku merasa dia yang paling cocok denganku, karena dia lelaki pertama yang aku kenal, yang aku ijinkan memiliki hatiku. Lagi pula aku bertekad hanya ingin mengenal satu lelaki dalam hidupku, dan lelaki itu adalah Zaenal.
Aku merasa seperti tak pernah punya hak untuk mengikuti kata hatiku. Sejak kecil aku lebih banyak mengikuti kehendak orang tuaku. Ironisnya, aku harus mengikuti mereka dalam menentukan teman hidupku. Aku ingin berontak dari kenyataan ini, tapi aku merasa terlalu lemah untuk melakukannya.

Sabtu, 04 April 2009

KISAHKU 02 - SEPERCIK PESONA MASA SMA

Aku merasakan pengalaman berbeda ketika orang tuaku menyekolahkan aku di sebuah pesantren di Jombang. Perhatian pada pelajaran sekolah di pesantren itu tidak begitu menonjol dibanding sekolahku di Surabaya, tetapi kegiatan di luar pelajaran sangat banyak. Aku ikut berbagai kegiatan, mulai dari Sholawatan, Qosidah, Drumb Band, pidato dan organisasi.
Di sekolah itulah aku mulai tertarik pada laki-laki. Diam-diam aku mengagumi Masrouf yang saat itu menjadi ketua OSIS. Aku kagum pada sikapnya yang dewasa dan terlihat aktif. Sayang sekali, dia sepertinya tidak memandangku istimewa. Lelaki itu pacaran dengan kakak kelasku, yang aku lupa namanya, tapi aku ingat mereka memang pasangan serasi waktu itu.
Di sekolah itu aku dekat dengan seorang beberapa anak laki-laki, terutama Faizin, ketua OSIS tahun berikutnya. Sama seperti Masrouf, Faizin adalah cowok yang pintar, dewasa, dan aktif di sekolah. Cowok itu sangat perhatian padaku, dan kami sering berada dalam kelompok yang sama setiap kali ada tugas sekolah. Dia selalu melibatkan aku di berbagai kegiatan, termasuk Paskibraka. 
Sejujurnya aku suka dengan anak itu, tetapi entahkah, saat itu aku merasa ada sesuatu yang membuatku masih belum bisa menerimanya. Aku bahkan marah saat dia menyatakan perasaannya padaku. Hubungan kami sempat renggang karenanya, tetapi dengan dewasa, dia tetap berusaha menjalin hubungan baik denganku. 
Dia bahkan sering menulis surat padaku hingga bertahun-tahun sejak kami lulus SMA. Aku tak tahu pasti maksudnya. Meski isi suratnya tidak secara khusus menyatakan cintanya padaku, tetapi aku merasa dia masih tetap menaruh harap seperti dulu. Mungkin karena aku kurang merespon, dia tak menyatakan cintanya secara terus terang, dan hanya isi suratnya yang selalu penuh dengan kalimat-kalimat indah yang menyanjungku.  
Sejujurnya aku menyukainya, tetapi karena sejak kuliah aku ditunangkan dengan seseorang, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya dapat menelan rasa kecewa dalam hati saat beberapa tahun kemudian dia datang dan memperkenalkan kekasihnya padaku.
Di luar itu, di pesantren inilah aku merasa lebih berkembang. Aku punya banyak pengalaman, mulai dari organisasi hingga mengikuti berbagai lomba. Aku selalu dilibatkan dalam organisasi santri maupun sekolah, meski aku lebih banyak diam. Sebenarnya aku merasa takut dan tidak bisa ngomong, tetapi entah mengapa selalu dijadikan pengurus dan diajak ikut rapat. 
Yang menjadi kenangan indah di pesantren adalah aku sering menjadi juara di berbagai lomba di pondok maupun organisasi. Aku pernah juara lomba baca kitab kuning, qiro'ah, pidato dan sholawatan. Semua itu membuatku merasa nyaman belajar di sana.
Meski begitu ada satu yang menyebalkan. Di pesantren itu ada petugas yang naksir aku. Orangnya sudah tua, dan sangat tidak menarik, tetapi dengan berbagai cara mendekati aku. Dia menggunakan berbagai cara agar aku mau dengannya, mulai dari membelikan makanan, mengajak jalan-jalan bersama santri lain, hingga disuruh ke rumahnya.
Aku tidak sendirian ketika dia jebak, karena pasti selalu ditemani teman karibku. Selama di pesantren aku punya dua orang teman yang sangat akrab. Yang satu berasal mbak Erwina dari Madiun dan satunya Ulfa dari Lumajang. Kami selalu jalan bareng, mengaji bersama, tampil sholawatan bersama, berbagai kegiatan organisasi santri, bahkan bila ada kegiatan pondok yang di luar. 
Waktu organisasi santri aku heran, karena tiba-tiba banyak yang menjodoh-jodohkan dengan  seorang santri bernama Irfan. Dia tetangga temanku mbak Erwina yang ketika masuk pondok langsung kuliah. Anaknya kelihatan baik, pandai Qiro'ah dan sangat dikenal meski baru. Dia bahkan pernah mengajar Qiro'ah di pondokku. Yang membuat aku heran, semua anak langsung bersorak setiap kali dia menunjukku untuk membaca qiro'ah.
Aku bingung dengan sikap semua orang yang kelihatannya menjodoh-jodohkan aku dengan dia, karena kami sama sekali tak pernah bicara langsung. Aku baru tahu maksudnya jauh hari setelah kuliah. Adik kelasku di SMA yang kuliah satu kampus denganku bilang, kalau Irfan menyukai aku, dan selalu membicarakan aku. Ada perasaan senang, tetapi semua berlalu begitu saja, sebab aku tak tahu lagi dia ada di mana.  

KISAHKU 03 - KULIAH DAN PERJODOHAN

Selesai SMA aku kuliah di kota Malang. Karena tidak lulus UMPTN, aku memilih kampus swasta sebagaimana kakakku. Selama di kampus aku tidak punya banyak teman. Selama kuliah aku hanya akrab dengan 3 orang, yaitu Dewi, Hilwa, dan Umi sejak semester 1. Aku mulai ikut beberapa kegiatan kampus, terutama organisasi mahasiswa, sholawatan, menyanyi, dan mc. Bekal ketrampilan selama di pesantren cukup berguna di sini, karena aku sudah terbiasa aktif di pondok.
Secara tak sengaja aku bertemu seorang lelaki bernama mas Samsul, yang ternyata masih satu daerah denganku. Dia mahasiswa senior dan sangat dihormati di kampus. Sedangkan di rumah dia adalah anak seorang tokoh masyarakat sebagaimana orang tuaku.
Aku tidak berpikiran apa-apa saat bertemu dengannya. Kami bahkan hanya berbasa-basi sebentar dan tidak pernah bicara lagi sesudahnya. Aku kaget ketika pulang ke rumah, rupanya dia sudah melamar aku menjadi tunangannya. Aku tidak tahu perasaanku bagaimana saat itu. Aku menerima saja keputusan orang tua, karena aku terbiasa patuh pada mereka.
Waktu berlalu, tetapi tak pernah sekalipun mas Samsul mengajakku bicara. Bahkan menyebalkan karena dia sama sekali tidak menyapaku saat bertemu muka. Dia tidak menemuiku ketika kami sama-sama ada kegiatan di lokasi KKN. Dia bahkan menulis surat yang isinya keberatan ketika tahu aku menyanyi di lokasi KKN. 
Aku menjadi kurang respek padanya, meski aku tetap sadar telah menjadi tunangannya. Teman-teman mas Samsul sangat mengormati aku, karena mungkin tahu hubunganku dengan dia, atau karena dia bilang aku ini adiknya.