Selasa, 18 Juni 2013

CARA SALAH MEMUTUSKAN MENIKAH

Saat baru saja melanjutkan setudi, ibuku kasih ultimatum, “Adik-adikmu sudah pada selesai kuliah, sudah kerja dan punya calon sendiri. Mereka nggak mau mendahului kamu menikah. Karena itu, sekarang juga sebutkan nama calon istri kamu. Kalau tidak bisa berarti kamu harus menikah dengan calon yang ibu pilih”
Apesnya, aku tidak mampu menyebut satu namapun. Sejak berpisah dari anak tetangga, hatiku sulit berkomitmen dengan wanita. Dengan modal tampang yang nggak terlalu malu-maluin, status sosial dan keluargaku, aku lebih suka datang dan pergi dari satu hati ke hati yang lain. 
Pernah sih, belum lama sebelumnya aku coba jalin hubungan serius dengan seseorang, tapi ortunya tidak setuju. Dengan ringan hati aku melepaskannya begitu saja. Aku pikir, menikah adalah menjemput masalah, kenapa harus dimulai dari masalah?
Di saat yang begitu kritis, ibuku menunjukkan sebuah foto seseorang yang aku tidak kenal, tapi ibu bilang kami sudah saling kenal. Aku baru ingat saat ibuku menyebutkan namanya.
Saat kuliah semester-semester awal dulu aku memang sempat kenal gadis itu di suatu acara organisasi. Terus terang lumayan cantik juga. Aku bahkan nyaris naksir dia. Cuma saja saat itu hatiku belum benar-benar tertarik untuk mencarikan pengganti anak tetangga di hatiku. Akhirnya, kamipun tak lagi berkomunikasi sekitar 7 tahun lamanya. Aku bahkan sudah lupa wajahnya.
Ternyata dia anak sahabat ibuku di organisasi. Saat bertemu dalam berbagai pertemuan organisasi tingkat wilayah (provinsi), rupanya mereka sempat saling bicara dan berniat menikahkan kami.
Tanpa berdaya akhirnya pinanganpun berlangsung, dan pernikahan ditetapkan kurang dari dua bulan sejak saat itu. Aku sendiri tidak terlalu antusias menyambut hari pernikahanku. Selain hari-hariku sibuk oleh kuliah yang padat di semester awal, aku biarkan semuanya mengalir begitu saja.
Kegelisahan justeru datang sekitar tiga minggu menjelang hari pernikahan. Entahlah, aku merasa telah salah langkah membiarkan semua ini harus terjadi. Aku mulai merasa dia bukan wanita yang cocok untukku. Dari pembicaraan kami di telepon aku merasa dia tidak enak diajak ngobrol. Dari nada bicaranya aku merasa dia gadis yang angkuh, seakan selalu merendahkan lawan bicaranya. 
Dengan berterus terang dia juga mengakui kalau pernikahan ini bukan atas kehendaknya, tapi karena ortunya tidak setuju dengan cowok pilihan hatinya. Segudang tanya kontan silih berganti menggangguku, "Kalau pernikahan ini atas dasar keterpaksaan, kenapa aku mesti menikahi perempuan seperti ini?" 
Aku sangat terpukul dengan pernyataannya, dan berniat membatalkan pernikahan. Hanya saja, sekali lagi aku tak berdaya, karena ortuku tak mengijinkan. “Kamu adalah contoh bagi adik-adikmu, dan tak kuijinkan kamu memberi contoh seburuk itu”
Yah…, serasa lemas seluruh tulang belulangku. Aku hanya bisa menyerah, pasrah dengan perasaan gundah, menyambut hari yang seharusnya indah. Aku hanya berfikir, andai saja aku bisa berkata tidak pada ibuku….