Sabtu, 03 Mei 2014

BERATNYA JUJUR PADA PASANGAN

Cerita Seorang Kawan
Menyenangkan sekali bisa berhubungan kembali dengan mantan pacar. Eh, sebenarnya bukan mantan sih…, soalnya kami sepakat tak akan pernah ada kata putus di antara kami. Aku senang kesepakatan itu dia tepati.

Senang rasanya bisa kembali berbagi kabar berita dengannya, berbagi cerita, berbagi canda tawa seperti dahulu kala, dan sesekali mendengar kembali bujuk-rayunya. Lega rasanya bisa menumpahkan kerinduan yang sekian lama tersimpan di dada. Bahagianya hatiku mendengar dia bilang masih suka padaku seperti saat dulu masih bersama, dan tak pernah berubah, meski dia telah bahagia dengan keluarganya.

Sejak kembali bisa bicara nyaman dengannya, aku menjadi selalu ingin kontak dia lagi dan lagi. Setiap kali memegang handphone, aku selalu tak sabar untuk segera menghubunginya.Aku merasa tak sabar menunggu balasan SMS darinya. Aku tahu kapan dia bisa dihubungi dengan bebas, diajak bertukar SMS silih berganti, atau telepon seolah tanpa henti. 

Bersamanya benar-benar menjadi penghibur duka, di tengah beribu beban dan masalah yang tak henti mendera. Sayangnya, pasangan resmiku ternyata mengetahui semua. Dia begitu kecewa karenanya.

Seketika aku tak bisa berkata-kata, saat dia mengatakan semuanya. Aku sadar telah melukai hatinya. Diam-diam aku memang bermain hati di belakangnya, tapi aku tak rela dia menganggapku telah mengkhianatinya.

Saat kesedihannya mulai mereda, aku berusaha memperbaiki semua. Aku berusaha keras meralatnya. Berulang kali kutegaskan padanya, bahwa aku hanya berteman saja. Aku harap dia menganggap semua itu hanya sebagai hal biasa. Kuharap dia tak lagi mempersoalkannya, karena aku merasa tak melakukan apa-apa.

Dia memang tidak murka, meski raut kekecewaan begitu jelas memenuhi hari-harinya. Beribu penjelasanku ternyata percuma, bahkan hanya menambah duka hatinya, membuat aku semakin tak berharga di matanya. Kata-kataku hanya angin lalu baginya, bahkan membuatnya kian tak percaya, dan sama sekali kehilangan rasa percaya.

Aku kehilangan jalan untuk kembali meyakinkannya. Tanpa kusadari, penjelasan-penjelasanku yang begitu banyak justeru menegaskan betapa aku hanya berdusta. Di matanya aku tak lebih dari pendusta yang berusaha menutupi dusta dengan dusta.

Kuakui, aku memang tak mampu memberi penjelasan masuk akal padanya. karena dia terlalu banyak tahu lebih dari yang aku duga. Meski begitu, aku tak pernah menyerah untuk membenarkan diriku. Sering kali aku balik menyerang dia, terutama masa lalunya, tapi hanya mempertegas kedunguanku di hadapannya. Dia justeru kian yakin, betapa aku hanya berusaha menutupi kesalahanku.

Aku tahu dia hanya butuh kejujuran dariku, tapi aku tak mungkin  memberikannya. Aku tak mau dia menganggapku telah mengkhianatinya. Aku lebih suka berharap dia akan mempercayai ocehan bodohku suatu hari nanti, meski sepertinya sia-sia. Aku tahu perasaannya padaku tak lagi sama. Baginya, kehadiranku tak lagi seberarti masa-masa sebelumnya. Rasa tanggung jawab saja yang membuatnya bertahan. Andai bukan karena buah hati yang terlalu berharga baginya, dia pasti memilih mengakhiri kisahku bersamanya. 

Sejauh ini dia baik-baik saja, tapi kuakui ada ruang hampa antara aku dan dia. Aku sadar dia hanya menempatkan aku sebagai teman di kehidupannya, bukan lagi sebagai kekasih. Sikapnya bahkan menegaskan betapa sebenarnya dia tak lagi membutuhkan aku meski tetap hidup bersama. Dia terlanjur memiliki keyakinan sendiri tentang aku. Dia memilih cara sendiri untuk menata hatinya di hadapanku, dan aku tak tahu bagaimana mengubahnya.

Kadang aku ingin memberikan kejujuran yang dia minta, tapi harga diriku terlalu berat melakukannya.