Senin, 16 September 2013

UJIAN BATIN DI MALAM PERTAMA

Di usia 27 tahun, secara mental Tutik sudah sangat siap menikah. Bahkan sejak lulus kuliah 4 tahun silam sebenarnya cewek itu sudah berniat menikah dengan Zaenal, teman kuliah yang sangan dia cintai, tetapi terganjal oleh restu orang tua. 
Setelah penantian panjang, gadis itu kian kuatir dengan usianya yang kian tak muda. Diapun menyerah pada kehendak orang tuanya, dan bersedia menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Setelah beberapa kali bertemu dan mengenal lebih dekat, hati Tutik perlahan mulai bisa menerima kehadiran lelaki itu sebagai calon suaminya. Apalagi status dan pekerjaan sang calon suami cukup mapan dibanding Zaenal, yang saat itu masih belum jelas pekerjaannya.
Lelaki ini memang bukan pilihan hatinya, tetapi Tutik cukup bersemangat menyambut hari pernikahan yang telah begitu lama dia nantikan. Kehadiran Iwan, sang calon suami, telah membuka lembaran baru, setidaknya telah membuka jalan bagi kebuntuan kisah cintanya selama ini. Gadis itu bersiap belajar merelakan impian hatinya terlepas untuk selamanya.
Kehadiran sang calon suami bahkan mengubah suasana keluarganya, yang semula penuh ketegangan akibat sikap keras ayahnya dan keinginan kuat Tutik untuk mempertahankan Zaenal, menjadi penuh harapan. Dukungan keluarga yang begitu besar, membuat Tutik berusaha mempersiapkan sendiri hampir semua keperluan pernikahan, mulai dari rias pengantin, makanan, hingga tata ruangan.
Tutik begitu tegang di hari pernikahannya. Berjuta perasaan menghantui batin wanita itu, antara lega telah menikah dan malu di hadapan teman-teman akrabnya semasa kuliah yang terlanjur sering mendengar bagaimana tekadnya untuk bertahan bersama Zaenal. Padahal kenyataannya dia menikah dengan lelaki lain.
Tanpa sadar, selama di pelaminan wanita itu sama sekali tak pernah tersenyum. Dia kuatir Zaenal mengiranya bahagia dengan pernikahan ini. Wanita ini bahkan terlihat enggan menggandeng suaminya selama pernikahan berlangsung.
Iwan, sang suami, rupanya merasakan yang dirasakan istrinya. Lelaki itu begitu tegang melihat sikap sang istri yang kelihatan tak seperti kebanyakan pengantin. Segunung rasa kecewa dan penyesalan yang teramat dalam menghantui batin lelaki itu, tetapi dia tak punya pilihan selain terus melangkah. Dia tak bisa bayangkan betapa kecewa keluarganya bila tahu apa yang tengah dia rasakan. 
Usai resepsi pernikahan, Iwan langsung bicara pada istrinya perihal rasa kecewanya pada sikap sang istri. Dengan wajah penuh penyesalan, sang istri mengakui bahwa dia masih memendam rasa bersalah pada Zaenal, tetapi tetap tak ingin pernikahan ini berakhir. Sembari memeluk sang suami wanita itu meminta maaf dan meminta Iwan tak meninggalkannya. 
Bukannya percintaan yang Indah seperti yang dibayangkan oleh banyak calon pengantin baru, malam-malam pertama dilalui Iwan dengan perasaan yang teramat tertekan. Hanya batang demi batang rokok yang menemani lelaki itu sekedar membunuh rasa kecewanya yang teramat dalam.
Perasaan tak menentu dirasakan Tutik. Di satu sisi dia menyayangi suaminya, dan sangat kuatir sang suami akan segera meninggalkannya. Di sisi lain, wanita itu dia tak dapat memungkiri masih kuatnya bayang-bayang Zaenal di hatinya. Apalagi menurut teman-teman kuliahnya yang mampir ke rumah Zaenal, mantan kekasihnya itu tengah berduka karena dia menikah dengan orang lain.