Kamis, 26 September 2013

FAIZIN, MAAFKAN AKU

Saat sedang sibuk di dapur bersama pembantu Rabo siang kemarin, tiba-tiba suamiku menghampiri. "Ada telepon", katanya seraya menyodorkan handphone ke tanganku.
Batinku terkesiap melihat nama Faizin tertera di layar handphone yang masih berdering. Seketika aku menekan tombol jawab seraya pergi dari hadapan suamiku. Terus terang aku tak enak hati menerima telepon lelaki itu di depan suamiku. Apalagi beberapa waktu lalu aku sempat tidak enak hati sama suami gara-gara teman dekatku semasa SMA itu.
Masalahnya Faizin mengungkit kembali kisah lalu. Saat masih SMA dulu dia memang sempat menyatakan perasaannya padaku. Dia cerita kalau saat reuni ditanya teman-teman perihal hubungannya denganku. Tentu saja dia bingung menjawab, tetapi dia bilang kalau sejak saat itu dia mencintaiku, bahkan masih menganggap aku wanita istimewa sampai saat ini. 
Aku jadi salah tingkah dibuatnya, dan hanya bisa tersipu menanggapi ceritanya. Terus terang aku bahagia sekali mendengar pengakuannya, tapi aku sadar kisah itu hanya bisa kulupakan sebagai masa lalu. Bisa tetap berhubungan dengannya bagiku sudah sangat menghiburku.
Sebenarnya saat SMA dulu aku juga menyukainya. Dia cowok yang aktif di sekolah, bahkan menjadi ketua OSIS. Kami selalu satu kelompok saat ada tugas sekolah. Dia sangat baik dan perhatian padaku, hingga selalu mengikutkan aku di berbagai kegiatan seperti drum band dan paskibraka, padahal saat itu aku masih jadi cewek yang sangat tertutup. 
Sayangnya, aku belum siap menerima cintanya saat itu. Aku tak tahu mengapa aku justeru marah saat dia menyatakan perasaannya padaku. Sejak saat itu hubungan kami jadi renggang, tetapi dia mencoba berbaikan, dan berusaha menjadi sahabat. Dia sangat sering berkirim surat padaku, dan sesekali aku balas. Meski dalamm suratnya yang panjang lebar dia hanya bermaksud mempertahankan persahabatan, tapi aku paham bahwa sebenarnya dia masih mencintaiku.
Dia berusaha terbuka padaku, bahkan saat dia memiliki kekasih dan menikah. Aku sempat kaget saat datang ke pernikahannya. Di rumahnya yang sederhana aku disambut layaknya tamu yang teramat istimewa. Aku baru sadar, bahwa rupanya harapan lelaki itu padaku selama ini begitu besar. Hasratnya untuk merebut hatiku begitu besar, sampai semua orang terdekatnya tahu.
Beberapa tahun sejak aku menikah, dia beberapa kali menelponku. Teman-teman juga banyak yang mengabarkan berita tentang Faizin saat ini padaku. Lelaki itu telah jadi pengusaha sukses, jauh melampaui semua teman sekolahnya dulu, termasuk aku. Dia bahkan membiayai berbagai acara reuni, serta teman-teman yang nasibnya kekurangan.
Terus terang sampai saat ini aku masih mengaguminya. Dia lelaki istimewa di hatiku. Selain dia lelaki pertama yang menyatakan cinta padaku, aku bahagia dengan sikapnya yang seakan tetap ingin menunjukkan betapa hatinya tak berubah padaku, meski aku sudah benar-benar tak mungkin meralat keputusanku.
Telepon siang kemarin mungkin akan jadi telepon terakhirnya padaku. Di akhir obrolan panjang lebar siang itu aku bilang padanya, "Zin, sebelumnya aku minta maaf"
"Kenapa?" sahutnya di balik telepon.
"Kalau tidak benar-benar penting, ada baiknya kita tidak perlu saling telepon" jelasku.
"Kenapa? Kita kan tetap sahabatan?"
"Iya, sih, tapi... Aku merasa sebaiknya tidak perlu telepon, apalagi ketemu. Sebab, telepon kamu tempo hari diketahui suamiku. Aku jadi nggak enak"
"Yang mana?" Tanya Faizin seakan penasaran.
"Yang kamu cerita sama teman-teman soal perasaanmu padaku itu" Jelasku ragu-ragu.
"Ya, bagaimanapun itu bikin hubunganku dengan suami nggak enak" Sambungku.
"Aku kan cuma cerita... tapi" Sahutnya seperti terkejut.
"Iya, aku tahu, tapi seharusnya kita nggak bicara yang nyerempet-nyerempet hal semacam itu" Sahutku. 
"Okelah... Nggak apa-apa. Kalau itu demi kebaikan kamu, aku setuju" Sahutnya tegas.
"Kurasa bukan hanya demi kebaikanku. Kalau istrimu dengar pasti nggak enak, kan?" Sahutku meralat ucapannya.
"Oke. Yang penting, aku selalu doakan kita dan keluarga kita senantiasa dikaruniai hidayah-Nya, selalu tenteram, sehat, banyak rizki dan dekat dengan-Nya" Jelasnya mengalihkan pembicaraan.
"Amin. Maafkan aku ya, Zin?"
"Nggak masalah.... Aku justeru yang minta maaf" Sahut Faizin seperti kehabisan kata-kata.
"Ya udah. Sama-sama sajalah" Sahutku menimpali.
"Oke. Salam saja buat teman-teman" Sambungku.
"Insya Allah" Jawabnya. Kamipun mengakhiri telepon dengan saling mengucap salam. 
Beberapa menit kubiarkan handphone itu tetap menyala. Ada segudang perasaan tak menentu dengan ucapanku padanya. Rasanya tak ingin putus kontak dengan lelaki pertama yang begitu tulus mencintaiku, tetapi sepertinya hidup memang harus memilih.
"Maafkan aku, Faizin" Gumanku dalam hati seraya meninggalkan handphone itu di meja. Beberapa kali aku menghela nafas dalam-dalam, menghilangkan perasaan yang sulit kusembunyikan. Aku berusaha bangkit menata sikapku, agar tampak tak salah tingkah di hadapan suamiku.