Sabtu, 28 September 2013

KUINGIN KAMU BAIKAN LAGI DENGAN ZAENAL DAN MBAK UMI

Aku merasa belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu. Kuakui selama ini aku belum benar-benar mengenalmu dan menerima kamu apa adanya. Itu sebabnya aku belum bisa membuat kamu merasa nyaman bersamaku. Aku belum pernah lebih baik dibanding mbak Umi dan Zaenal, orang paling dekat dan paling bisa mengerti kamu.
Dari peristiwa demi peristiwa yang kita lalui aku baru benar-benar sadar, betapa aku belum dapat menjadi lelaki seperti harapanmu. Kehadiranku bahkan sama sekali belum dapat menggantikan tempat Zaenal di hatimu. Aku tak pernah bisa menjadi tempat curhat ternyamanmu. 
Apalagi aku sama sekali bukan sosok ideal bagimu. Aku seperti ayahmu yang keras dan kolot, sosok yang selama ini tak kau inginkan mendampingimu. Aku tidak seagamis Zaenal, yang gaul dan disukai banyak orang. Aku bukan sosok penyabar yang menenangkan untuk bersandar.
Aku tahu betapa hancur hatimu saat harus benar-benar terputus dari kekasihmu, dan mak comblang yang rela berjuang dan berkorban seutuhnya untukmu. Aku tahu betapa hampa perasaanmu saat harus memutus persahabatan dengan mbak Umi dan Zaenal, orang yang selama ini paling dekat dan paling berarti dalam kehidupanmu.
Padahal merekalah yang paling bisa membuatmu merasa hidup penuh warna. Bersama mereka kamu bisa menghabiskan begitu banyak waktu untuk telepon dan saling bicara, tanpa pernah kehabisan bahan, tanpa pernah kehabisan kata-kata. Pada merekalah kamu paling bisa berbagi cerita tentang suka maupun duka. Hanya merekalah yang bisa memberi ketenangan di ruang batinmu, sesuatu yang tak pernah mampu kuberikan padamu.
Aku tahu betapa kamu begitu berat menjalani hari-harimu tanpa mereka. Kamu benar-benar tampak begitu aneh tanpa mereka. Padahal kamu bisa kehilangan semua orang, tapi tak bisa jauh dari mereka. Hari-hari ini kamu seperti anak kecil yang kehilangan orang tua. 
Kamu berusaha menyenangkanku, padahal wajahmu sama sekali jauh dari kesan itu. Aku bahkan lebih menikmati kebersamaanku denganmu setelah kau luapkan keluh-kesah dan menumpahkan semua ceritamu pada Zaenal. Akulah yang menikmati memuncaknya gairahmu, meski aku tahu hasratmu sebenarnya bukan untukku, meski pada lelaki itulah hasratmu menggebu.
Aku tahu, kamu memang paling bisa "ngepas", menerima keadaan, menerima nasib, menerima kehadiranku sebagai jalan takdirmu. Aku tahu kau berusaha mencintaiku, tetapi kamu tak mampu. Aku tahu, menjaga jarak dari Zaenal dan mbak Umi itu hanya untuk menjaga perasaanku, padahal itu justeru mengecewakanku. Bagiku, sikapmu itu tetap saja sebuah keterpaksaan. Sikapmu tak lebih dari sebuah ekspresi kegagalan, ketidakberdayaan, ketidakbahagiaan, yang melumpuhkan gairahmu, membuat hambar kebersamaanku denganmu.
Aku tahu kau tak percaya kata-kataku, tapi aku sungguh berharap kamu baikan lagi sama Zaenal dan mbak Umi. Aku yakin kau suka, kau bisa, kau percaya aku mengatakan yang sesungguhnya. Aku ingin kau yakin, aku sama sekali tak punya rasa cemburu untuk semua itu. Aku hanya berusaha mengerti kamu. Aku merasa bersalah atas perpisahanmu dari kedua orang itu.
Kalaupun ada yang aku harapkan darimu, aku ingin gairahmu bangkit kembali seperti dulu di saat-saat kau rajut kembali kisahmu, saat kau begitu bahagia menikmati kedekatanmu, senda guraumu, tawa lepasmu, dan sikap tersipumu oleh rayuan dan godaan nakal Zaenal, dan curhat bebasmu dengan mbak Umi. 
Mungkin kedengaran lebay, tapi bukankah itu yang terjadi?