Minggu, 15 September 2013

GARA-GARA MINDER DI HADAPAN CEWEK

Sejujurnya pernah mencintai seseorang, perempuan tercantik seumur hidupku. Alfie. Keputusasaan dan kekecewaanku padanya telah membalikkan jalan hidupku, cara pandangku tentang perempuan dan cinta pada masa-masa sesudahnya.
Dulu, aku masih seorang yang sangat kuper dan rendah diri. Aku sama sekali tak punya kepercayaan diri, meski aku paling mampu dan berani tampil di muka umum. Di banding sebayaku, aku memiliki banyak kelebihan. Kemampuan, kecerdasan dan aku dikenal sebagai anak baik oleh semua orang. Dengan wajah yang tidak terlalu mengecewakan dan dari keluarga yang cukup terpandang di desaku, seolah tak ada kekurangan dalam diriku.
Ketidakpercayaan diriku yang paling menonjol adalah ketika harus berhadapan dengan perempuan. Mereka selalu terlihat sempurna di mataku, sementara aku selalu merasa sebaliknya. Hidungku tidak macung, kelaminku kecil, bajuku tarasa tidak rapi, uangku tidak cukup banyak dan masih banyak kekurangan yang selalu aku rasakan bila berhadapan dengan mereka. Jangankan menjalin cinta, bertemu dan berbicara saja jadi beban yang teramat berat.

Di depan Alfie, aku selalu merasa tidak pantas jadi kekasihnya, calon suaminya kelak. Aku selalu merasa dia terlalu cantik untukku. Aku tak bisa bersikap wajar, berbicara, berkomunikasi, ngobrol, dan semuanya jadi terlalu formal di hadapannya. Aku terlalu sering kehabisan kata-kata berhadapan dengannya, sementara dia seorang yang sangat energik dan banyak teman.
Dia membayangkan sebuah persahabatan yang menyenangkan, tapi aku tak mampu memberikannya. Selalu ada rasa segan, rikuh dan banyak lagi. Sedikit kesalahan membuat aku tak dapat tidur nyenyak. Sebenarnya dia sangat terbuka tapi aku benar-benar tak dapat melayaninya. Keputusasaanku membuat aku memutuskan untuk berpisah, keputusan yang paling aku sesali sejak aku dilahirkan ke bumi ini.
Aku berusaha menarik kembali kata-kataku, tapi dia sudah patah arang. Di matanya aku tidak hanya makhluk membosankan, tapi benar-benar membuatnya tak tertarik lagi. Aku merasa hampir gila oleh keputusanku sendiri. Benar-benar sebuah kebodohan, tapi di sanalah aku bisa menyadari betapa bodohnya aku selama ini, yang selalu memandang rendah diri sendiri, yang memilih tertutup demi sebuatan anak alim yang sama sekali tak berarti.
Sejak itu, aku benar-benar berubah menjadi seorang open minded dan berusaha keras menjadi sangat komunikatif. Aku baru menyadari betapa hebatnya diriku, betapa kusia-siakan umurku hanya untuk sebutan anak alim, padahal dungu. Aku tak pernah minder lagi, apalagi untuk sekedar urusan perempuan. Menghadapi perempuan terlalu mudah bagiku.
Banyak test case, uji coba kulakukan dan hampir semuanya berhasil. Aku bahkan sempat dijuluki play boy oleh sebagian teman. Tidak masalah bagiku, sebab aku cuma bermaksud mencoba kepercayaan diriku saja. Aku berusaha menjadi manusia baru yang penuh percaya diri, dan berhasil.
Aku benar-benar menyadari kemampuanku, meski aku tak punya bergaining dengan siapapun. Aku hanya individu yang independen, tanppa koneksi, tanpa reasi. Tapi aku bisa lakukan semua hal yang aku mau, aku suka. Dengan tetap mempertahankan sikap low prifile, lebih banyak orang memandangku sebagai pemuda hebat dan baik.
Hanya harus aku akui, aku tak pernah bisa lagi jatuh cinta, menemukan lagi perasaanku pada Alfie. Aku tetap mencintai makhluk itu, meski aku tahu itu tak mungkin lagi, bahkan sekalipun ada kesempatan untuk kedua kalinya, karena aku juga tak mau lagi.