Rabu, 13 Maret 2013

PERNIKAHAN MANTAN PACAR ISTRIKU

Sejak ditelepon mbak Umi tadi pagi, wajah istriku begitu kusut. Raut kesedihan terlihat jelas di wajah cantiknya. Ocehan pagi yang biasa mengantarnya menyambut hari sama sekali tak terdengar. Dia berlagak biasa saja, seakan tak ada apapun yang membebani perasaannya, tetapi raut mukanya tak mampu menyembunyikan duka. 
Aku sempat berfikir ada yang salah dariku, tetapi seingatku tak ada yang aneh seminggu belakangan. Aku sangat ingin mengintip handphone dia, tetapi benda itu terus berada dalam genggamannya. Aku berpura-pura keluar rumah saat dia kemar mandi, dan tanpa sadar dia geletakkan handphone begitu saja di meja makan.
Seketika aku mengambil handphone itu. Rupanya bukan hanya mbak Umi yang telepon dia, tetapi Mukhlisoon juga. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya begitu sedih. Sepertinya Zaenal menikah hari ini. Lamat-lamat aku tadi mendengar dia bicara soal pernikahan, dan mengucapkan selamat.
Aku coba ambil handphone istriku yang lain. Nomor GSM ini jarang dia pakai telepon mbak Umi, sebab mereka suka ngobrol lama-lama pakai Flexy. Sekejap aku keluar rumah sambil menyimpan benda itu rapat-rata di kantung celanaku. 
"Eh, mbak. Nikahannya jam berapa?" Aku SMS mbak Umi pakai handphone istriku. Sejujurnya aku hanya berpekulasi. Aku berharap mbak Umi mengira SMS itu dari istriku.
"Saiki Nyik. Jam 10. Ini dah mo brngkat" Jawabnya.
Rupanya, istriku begitu sedih mendengar mantan kekasihnya menikah. Dia begitu gelisah hingga tak dapat menyembunyikan perasaannya di hadapanku.
Beberapa saat kemudian, aku kembali ke rumah. Rupanya istriku belum juga keluar dari kamar mandi. Keran air terdengar mengucur deras. Padahal aku tahu kamar mandi itu seharusnya sudah penuh, sebab sebelum istriku ke sana aku biarkan bak mandi itu terisi penuh.
Beberapa saat kemudian istriku keluar dari kamar mandi. Dia tak terlihat habis mandi, dan hanya mencuci mukanya saja. Celana ketatnya tak terlihat basah, pertanda dia tak buang air besar.
Dia langsung ngeloyor ke dapur, seperti mencari sesuatu. Dia tampak kebingungan di ruangan itu, tanpa jelas apa yang akan dia lakukan. Aku mencoba mendekatinya, tetapi dia buru-buru ke ruang tengah. Sepertinya dia enggan aku dekati, entah karena takut aku menanyakan masalah yang membebani hatinya atau entah apa aku tak tahu. Yang jelas, dia merasa sedih mendengar mantan kekasihnya menikah hari ini.
Aku mencoba memeluknya dari belakang saat dia menyalakan TV, tetapi lagi-lagi dia tepis. "Apa sih? Gerah, nih" Sergahnya sembari ngeloyor ke ruang belakang. Aku biarkan dia terlihat sibuk di dekat dapur, meski terlihat bingung melakukan apa. Sepertinya dia ingin aku menjauh agar tak tahu perasaannya.
"Ma, kamu baju sekarang. Sudah mandi belum?" Tanyaku serta-merta.
"Mau ke mana?" Sahutnya terkejut.
"Aku lupa ada acara pernikahan hari ini. Mungkin agak terlambat, tetapi nggak masalah. Yang penting kita datang"
"Pernikahan siapa? Aku kok nggak tahu"
"Teman. Ayolah. Buruan"
"Anaknya?"
"Biar aku yang gantikan baju"
"Nggak mandi?"
"Biar aku yang mandiin. Kamu mandi duluan saja" 
"Sebentar. Siapa yang nikah?"
"Temanku. Undangannya di mana aku lupa naruh, tapi yang jelas hari ini" Jawabku berbohong.
Meski terlihat ragu, diapun beranjak ke kamar mandi, dan aku bergegas mengganti pakaian kedua anakku. Istriku terlihat lebih segar saat kembali masuk kamar, tetapi tak henti bertanya siapa yang menikah. 
"Sudahlah. Aku kasih tahu, kamu juga nggak tahu" Jawabku kembali berbohong. Dia terlihat ragu untuk ganti pakaian, dan terus menanyaiku. 
"Eh, bisa nggak, papa aja yang ke sana? Mama lagi kurang enak badan" Tiba-tiba dia mencoba menolak ajakanku.
"Percuma kalau kamu nggak ikut"
"Emang kenapa? Kemarin waktu pernikahan teman papa mama juga nggak ikut"
"Kali ini mama harus ikut"
"Iya, kenapa?" Desaknya penasaran.
Akupun berdiri dan memeluk tubuhnya yang hanya berbalut handuk. Dia mencoba berontak, tetapi aku tahan hingga wajahnya tenggelam dalam pelukanku. Aku harap dia melepaskan kesedihannya di dadaku, tetapi dia malah berontak.
"Enggak. Ini mau ke mana?" Sergahnya berusaha melepas pelukanku.
"Memangnya kenapa, sih?"
"Ya aku perlu tahu kita mau ke mana?" Sahutnya dengan nada tinggi sembari menatap mataku dalam-dalam. Rona kesedihan begitu jelas terlihat di bola matanya yang memerah.
"Aku ingin mama nggak bersedih lagi" Jawabku lirih.
"Sedih? Memang kenapa? Nggak usah sok tahulah..." Kilahnya sembari terduduk di pinggir tempat tidur.
"Zaenal menikah hari ini. Aku pikir..."
"Idih! Ngapain sih ungkit-ungkit masalah itu lagi?" Sergahnya emosional, sembari membanting pakaian ke lantai.
"Aku lihat sejak telepon Zaenal tadi kamu terlihat sedih, jadi..."
"Alaah... Aku paling sebel kalau kamu bicara soal itu lagi"
"Sayang, aku ingin kamu datang ke pernikahannya"
"Ngapain?! Sudah. Aku nggak ikut. Kamu saja ke sana" Hardiknya.
"Aku benci kamu sok tahu perasaanku"
"Oke..., terserah kamu saja" Sahutku sembari meninggalkannya. Kututup pintu kamar itu dan kubiarkan dia melakukan apapun yang dia suka.
Aku tahu dia hanya butuh waktu untuk menangis, tanpa aku perlu tahu yang dia rasakan.
Aku mulai gelisah setelah hampir dua jam istriku mengunci diri di kamar. Dia sama sekali tak terlihat keluar kamar, bahkan setelah beberapa saat aku keluar beli rokok dan ngopi di warung, dia masih juga di sana tanpa suara.
"Maaf ganggu, mas" Kataku mengawali telepon dengan Zaenal siang itu.
"O ya, mas. Nggak apa-apa"
"Istriku sangat sedih mendengar mas Zaenal menikah"
"Masa?"
"Iya. Dari pagi tadi dia terus di kamar, sepertinya menangis. Saya nggak berani ganggu"
"Aku minta tolong. Mas bisa bantu bicara dengannya"
"O ... Emm... Gimana ya?" Jawabnya ragu.
"Kalau nggak ngrepotin sih. Kalau mas lagi sibuk ya sudah nggak masalah"
"Repot sih enggak, tapi rasanya kok nggak enak aja"
"Kalau gitu saya panggil ya?" Timpalku seraya mengetuk pintu kamar.
"Sayang..., sayang... ini ada telpon" Beberapa kali aku memanggil istriku yang mengunci diri di kamar, tetapi dia seperti enggan menyahut.
"Sayang...", Aku kembali memanggil, tetapi tidak dijawab, tapi tiba-tiba saja dia membukakan pintu dengan wajah sembab. Akupun menyerahkan handphone itu dan bergegas pergi menjauh. Aku tak ingin dia terganggu.
"Papa maunya apa, sih?" Hardiknya saat aku kembali ke rumah.
"Mau apa gimana?"
"Ngapain papa telpon-telpon dia?"
"Sayang...." Rayuku sembari berusaha memeluknya, tetapi istriku menepis dekapanku.
"Aku nggak suka papa telpon-telpon kaya gitu"
"Oke. Aku cuma kasihan melihat kamu"
"Kasihan apanya? Nggak usah sok tahu, kenapa?"
"Oke..., tapi mama sekarang sudah tenang, kan?" Tanyaku meyakinkan, tetapi dia hanya berlalu tanpa menjawab.
"Aku mau keluar sama anak-anak.Kamu mau ikut?" Tanyaku menawarkan. 
"Ke mana?"
"Renang"
"Enggak. Mama di rumah aja" Jawabnya sambil mengutak-atik handphone di sofa. Akupun meluncur keluar besama kedua anakku.
---***---
"Papa ke mana aja? Sudah jam segini kok belum pulang?"
"Masih di Mall, sayang. Anak-anak minta ayam goreng dan mainan"
"Ya Allah. Apa mereka nggak kecapekan?"
"Tanya aja sendiri" jawabku sembari menyodorkan handphone pada Fadhil, anak sulungku.
"Mas, aku mau ke Mall dulu, cari makan terus mainan" Ucap Fadhil.
"Iya, tapi jangan lama-lama sayang" Lamat-lamat kudengar ucapan istriku.
"Ya. Dah ya, ma. Assalamu alaikum"
Perasaanku sedikit lega menyaksikan anak-anakku begitu menikmati makan di KFC malam ini. Meski sejak siang berenang, mereka begitu riang menikmati wahana permainan di mall itu.
Beberapa kali handphone berdering tapi tak kuangkat. Aku malas terima telepon istriku malam itu. Aku memilih larut dalam kegembiraan anak-anakku di zona permainan mall itu. Kami baru keluar saat mall benar-benar tutup. 
Aku sengaja jalankan mobilku perlahan, menikmati gemerlap kota yang mulai sepi. Entahlah, aku merasa malam pulang malam ini, tetapi aku tak tega melihat buah hatiku yang mulai terlelap di jok depan dan belakang.
"Papa ke mana aja, sih? Jam segini kok belum pulang?" Teriak istriku lewat handphone.
"Masih di jalan, sayang"
"Ya. Allah... Jam segini baru pulang? Kasihan anak-anak, pa"
"Tenang aja. Mereka sudah tidur, kok"
"Iya, tapi cepetan"
"Oke" Jawabku singkat. Aku tak menambah kecepatan mobilku dan membiarkannya perlahan mengantarku pulang ke rumah. 
Aku langsung ke kamar mandi, sesaat setelah mengunci garasi dan menidurkan anak-anak di kamar. Kulihat istriku duduk mematung di sofa, sambil terus menatap kosong ke TV. Sepertinya dia menungguku untuk bicara, sebab aku tahu jam segini tidak ada acara TV yang dia sukai. 
Selesai sholat Isya' aku langsung rebahkan tubuhku di atas kasur. Kulemaskan otot-otot tubuhku yang lumayan kelelahan mengasuh kedua anakku sejak siang tadi. Di kamar yang kubiarkan gelap, sejenak aku berdo'a, lalu berusaha kosongkan pikiran sambil memejamkan mata. 
Aku berharap segera tertidur, tetapi tanpa kusadari justeru air mata terasa mengembun di pelupuk mataku. Aku tak tahu yang aku rasakan saat ini. Segulir kesedihan terasa mengiris ruang terdalam di hatiku, saat menyadari rupanya istriku masih begitu mencintai seseorang di luar sana. 
Air mata wanita itu melukaiku, membawaku di antara rasa kasihan dan kekecewaan. Aku kasihan melihatnya begitu berduka oleh pernikahan mantan kekasihnya. Duka itu melukai perasaanku tanpa seorangpun tahu.