Selasa, 12 Maret 2013

ANTARA AKU DAN ZAENAL

Sejak memutuskan mengakhiri hubunganku dengannya 12 September 1999 lalu, aku jarang sekali kontak dengan lelaki yang pernah sangat kuharapkan menjadi pendamping hidupku itu. Sejak aku menikah 22 Januari 2000, hanya beberapa kali dia telepon, itupun semula karena Zaenal menghubungi adikku, Anny, yang kemudian diberikan padaku. Hingga beberapa tahun sesudah menikah, kebetulan Anny memang tetap aktif kontak sama dia. Itu sebabnya aku selalu tahu perkembangan keadaan lelaki terbaik di mataku itu dari waktu ke waktu.
Dia kembali telepon aku saat akan menikah dulu, yang itupun karena ada mbak Umi di Malang. Selain lewat Anny, mbak Umi memang jadi pengubung utamaku dengan Zaenal, bahkan sejak kami jadian. Bahkan boleh dibilang dialah sahabat yang rela menjadi "obat nyamuk" paling setiaku, menyediakan tempat, menyampaikan kabar, dan pokoknya wanita itu jadi segalanya bagi hubungan kami.
Sejak saat itu aku hampir-hampir tak pernah kontak Zaenal lagi kecuali sekedar untuk mengucapkan selamat hari raya, atau saat anaknya lahir atau saat dia naik haji. Aku memang berusaha menjaga hubunganku dengan lelaki itu tetap baik. 
Antara aku dan Zaenal sejak awal telah sepakat untuk tetap berteman sekalipun tidak bisa menikah, karena hubungan kami tak direstui orang tuaku. Apalagi kami memang teman dekat, temanku sekaligus teman dia juga.
Tentu saja itu kulakukan tanpa sepengetahuan suamiku, sebab sebelum-sebelumnya, sikap suamiku selalu kelihatan tidak berkenan setiap kali aku telepon Zaenal. Aku diam-diam menyimpan nomor HP Zaenal, yang di HP-ku dengan kuberi nama Mukhlisoon, tentu agar suamiku tak curiga. Aku pikir selama beberapa tahun ini suamiku tidak tahu. Apalagi dia jarang sekali menyentuh HP-ku kecuali saat menyetel atau membetulkan kerusakan. Aku sendiri kurang nyaman kontak sama dia, karena kuatir suamiku marah.  
Aku kembali nyaman telepon dan SMS Zaenal sejak dia pulang haji. Itupun karena Anny yang berikan HP itu padaku. Aku kembali terbuka padanya karena dia bilang selama ini aku sombong sekali padanya. Sejak saat itulah kebekuan hubunganku dengan Zaenal mulai mencair. Aku jadi makin nyaman kontak dengan lelaki itu setiap saat, kadang telepon, kadang saling SMS.
Aku sama sekali tak ada niat apapun selain berteman, tetapi harus akui, kontak dengan Zaenal memang ada perasaan yang berbeda. Tak dapat kupungkiri antara aku dan dia memang ada rasa yang istimewa. Kuakui rasa itu tetap ada meski kami tak mungkin bersama. Apalagi hubungan kami berakhir bukan karena kemauan kami, tetapi karena kehendak orang tuaku.
Aku masih senang mendengar rayuannya, sekalipun dia jarang memujiku secara langsung. Misalnya dia bilang kalau kehidupannya bahagia sekalipun istrinya tidak secantik aku. Hatiku berbunga-bunga saat dia bilang kangen padaku, apalagi  kata-kata seperti itu jarang dia katakan saat kami masih bersama dulu. 
Aku berusaha tak menanggapi ungkapan ungkapan seperti itu sekalipun terus terang aku sangat menikmati. Tak dapat kupungkiri aku bahagia dan sangat terhibur mendengarnya. Bagaimanapun aku harus menjaga diri agar tak jatuh dalam hubungan yang lebih jauh. 
Kadang aku masih merasa cemburu padanya. Entahlah, aku merasa sangat sedih saat dia menikah dulu. Aku juga merasa kesal mendengar Zaenal sering membanggakan keluarga barunya di hadapanku, tetapi perasaan itu aku sembunyikan dalam-dalam di lubuk hatiku. 
Aku tak tahu kenapa ada perasaan seperti itu, tetapi aku sama sekali tak berniat mengakhiri jalinan komunikasi yang kembali terajut ini. Bisa kembali bercengkerama dengan orang yang sangat aku kasihi, sudah lebih dari cukup buatku saat ini. Aku bahkan tak berharap lebih dari ini.
Aku benar-benar terbawa suasana untuk terus menikmati jalinan komunikasiku dengan Zaenal. Aku makin nyaman kontak dengan mantan kekasihku itu, hingga sering kali bertukar SMS nyaris tanpa henti. Aku sampai gelagapan menghapus SMS antara aku dan dia bila ada suami di dekatku. Bagaimanapun aku takut suamiku tahu.
Aku merasa lebih bebas berkomunikasi dengan lelaki itu saat sedang ramai-ramainya rencana reuni kampus. Pada saat yang sama aku sering kontak dengan teman-temanku yang lain, sehingga aku merasa punya banyak alasan untuk telepon atau ditelepon teman lamaku.
Aku berniat benar-benar menikmati hubungan dengan mantanku saat hatiku terasa gonjing (goyah) melihat suamiku yang pada saat yang sama sering bersikap tidak mengenakkan. 
Tanpa aku tahu sebabnya, suamiku sering bersikap kasar padaku, meski hanya dalam kata-kata. Dia kelihatan enggan telepon kalau di kantor, bahkan kalau ditelepon kelihatan sekali kalau dia malas menjawab. Kalaupun menjawab kata-katanya sangat tidak mengenakkan. Aku tak mau menanggapi saat suamiku sering sekali bilang, kalau bukan karena anak-anak dia tidak betah dengan pernikahan ini.
Aku sangat sedih mendengarnya. Kehadiran Zaenal dalam kehidupanku kembali terasa bagai satu-satunya tetasan embun yang menyejukkan jiwaku. Dengan senang hati aku menyambut kunjungan Zaenal ke rumah orang tuaku. Itupun sebenarnya karena adik istrinya menikah dengan orang Nganjuk. Aku juga bersemangat datang ke reuni karena Zaenal juga berjanji menemuiku di sana.
Suatu hari sikap suamiku benar-benar tak mengenakkan. Setiap kali ngantor, dia seperti enggan pulang. Selalu saja ada alasan untuk tidak pulang meski aku tahu tidak ada pekerjaan yang benar-benar penting. Sikapnya membuatku makin jengah, muak sebab ada banyak pekerjaan di rumah, termasuk mengurus empat orang anak yang sangat merepotkan. 
Aku memutuskan harus bicara dengan suamiku. Aku tak bisa biarkan keadaan terus-terusan seperti ini. Di luar dugaanku, rupanya suamiku lebih dulu bicara. Dia bilang selama ini dia menyadap telepon dan SMS-ku dengan Zaenal. 
Aku sangat shock dan tak bisa ngomong apa-apa lagi. Ternyata semua yang aku sembunyikan selama ini sudah dia ketahui suamiku. Dia tidak marah padaku, tetapi sangat kecewa telah menikahiku. Dia bilang pernikahan ini sama sekali tak ada artinya lagi baginya, bahkan dia sebenarnya ingin mengakhirinya. kalau bukan demi anak-anak. 
Dia memang tidak marah di hadapanku, tetapi dari tulisan-tulisannya jelas sekali kalau dia sangat kecewa padaku. Hatinya seperti sudah pecah berantakan karena perbuatanku. Dia tidak bisa percaya lagi padaku. Dia terus mengulang-ulang, betapa dia sangat menyesal telah menikah denganku. Aku sangat sedih, setelah memahami mengapa selama ini dia sering mengatakan itu.   
Aku berusaha meluruskan penilaiannya padaku, tapi percuma saja. Argumen apapun hanya kian memojokkan aku. Setiap pembelaanku terasa sia-sia karena dia seolah jauh lebih tahu jawabannya. Ketika aku bilang aku tak pernah bicara soal perasaan, dia tunjukkan sikapku saat mendengar rayuan Zaenal. Ketika aku bilang tak ada pembicaraan soal perasaan, dia tanya "apa selama pacaran kamu hanya bicara soal cinta-cintaan?" Ketika aku bilang hanya berteman, dia balik bertanya, "Kalau berteman kenapa selinthutan?", dan masih banyak lagi yang membuatku memilih pasrah.
Semua tanggapannya atas pembelaan diriku justeru menyakitkanku. Aku hanya bisa pasrah, dan hanya bisa berusaha memperbaiki sikapku pada suami. Aku bahkan dengan terpaksa membatasi hubunganku dengan teman-temanku, terutama mbak Umi, seorang yang paling berjasa buat hubunganku dengan Zaenal di masa lalu, bahkan setelah kami berpisah. 
Aku merasa beruntung karena punya anak yang mengikat suamiku tidak akan pernah pergi meninggalkan aku. Akupun berusaha lebih memperhatikan anak-anakku, terutama dalam urusan belajar, sekolah, dan makanan mereka, sesuatu yang hampir-hampir tak pernah kulakukan sebelumnya.
Aku berusaha membuat suamiku bahagia dengan melakukan apapun yang dia suka. Aku rela difoto dan shooting bugil karena dia bilang menyukainya, dan hanya itu satu-satunya hal menarik dari aku di matanya. Dia selalu menunjukkan sikap seakan tak ada masalah, tetapi aku kini sangat paham, suamiku paling pintar menjaga sikapnya meski yang dirasakan dalam hatinya justeru sebaliknya.