Yang aku suka dari istriku adalah tubuhnya ramping, putih, mulus.
Singkatnya, secara fisik aku suka banget. Yang kurang aku suka, dia itu kurang
tertarik pada seks. Tidak setiap saat dia mau bermesraan, dan apalagi bercinta.
Dia tipe cuek seks, permikir monolitik dan gila kerja. Kalau sudah
sibuk sesuatu sulit ditarik ke ranjang. Dia kurang ngêrês. Bahkan dia
lebih banyak mengeluh soal seks. Keadaannya seperti aku kalau lagi sibuk
sesuatu. Masalahnya, hampir tiap detik dia seperti itu.
Sedikit
rahasia masa lalu terkuak. Meski Cuma pengakuan tak langsung, aku sadari bahwa
sebenarnya istriku pernah dapatkan pasangan yang benar-benar cocok secara
mental dan visi hidupnya. Makanya begitu awet dan sulit terpisahkan.
Ukuran
cinta memang bukan bagaimana pandangan orang lain, tapi kebutuhan rasa
pelakunya. Bila yang menjalani memandangnya sudah ideal dan cukup, maka orang
lain tak dapat berbuat banyak. Aku tahu dia masih sangat mencintainya,
memujanya, dan mengenangnya sebagai masa terindah dalam hidupnya.
Aku
benar-benar yakin bahwa aku manusia yang gagal untuk urusan cinta. Aku hanya
punya seorang perempuan, tubuh istriku, tapi bukan seluruh hatinya. Sebagai
orang timur, aku terpenjara oleh lingkungan, terutama keluargaku. Aku harus
menerima kenyataan ini, tanpa pernah dapat mengubahnya demi menjaga perasaan
orang tuaku, keluargaku.
Satu-satunya yang mungkin aku raih hanya kenikmatan seksual.
Itupun belum memuaskan. Terlalu sedikit kesempatan yang aku dapatkan dibanding
yang aku butuhkan. Mungkin juga pengalaman bersama dik Iid membuat sensasi
bersama istri menjadi kurang terasa. Setelah cinta yang gagal kuraih, aku tak
perlu menyoal keperawanan.
Bagaimana mungkin menyoal masalah keperawanan, sedangkan yang aku
nikahi jelas-jelas bekas bini orang. Kisah kemesraan dan gairah itu jelas
tak lepas dari roman cintanya di masa lalu. Hanya saja dia memang tertutup soal
yang satu itu, tapi dari sikapnya jelas dia tak memungkirinya. Karena itu, yang
mungkin aku harapkan hanya seks yang memuaskan. Aku ingin dia jadi seorang
perempuan yang binal di hadapanku, haus seks dan penuh gairah. Aku ingin
dengar, mas… aku puas… oh… ah…
Kalau mau jujur, jelas aku tidak puas dengan kenyataan jodohku.
Tapi itu semua salahku sendiri. Resiko tindakan bodoh, puncak dari sekian
kebodohan dalam tindakan yang pernah aku lakukan. Seperti halnya soal
disertasi, aku juga nggak akan menyalahkan Nyoto. Dia memang nggapleki, tapi di
sisi lain aku sendiri tidak mampu bekerja dengan baik, sebaik yang mestinya
dapat kulakukan. Orang lain bisa, kenapa aku gagal? Artinya masalah ada
pada diriku sendiri.
MONDAY, JANUARY 22, 2007