Senin, 01 Juli 2013

PAYUDARAKU KELEMAHANKU

Dua tahun sejak lulus kuliah di Malang beberapa tahun lalu, cowok yang selama ini dekat denganku tak juga menunjukkan keseriusannya untuk melamarku. Padahal dia satu-satunya cowok yang aku dambakan akan menjadi  pendamping hidupku hingga akhir hayat. Apalagi karena usiaku tak lagi belia, kedua orang tuaku kian sering mendesakku untuk segera menikah. 
Karena penantian demi penantianku pada cowok itu tak juga bersambut, akhirnya aku menyerah pada keputusan orang tuaku. Aku benar-benar tak punya pilihan selain menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku yang tak aku kenal sebelumnya. 
Sejujurnya aku menjalani ini karena keterpaksaan saja. Hatiku penuh dengan kebimbangan menyambut hari pernikahanku, karena aku sama sekali tak tertarik dengan calon suamiku. Sejak pertama kali dipertemukan hingga hari pernikahan tiba, aku berharap ada keajaiban yang mampu mengubah jalan hidupku. 
Selama menanti hari pernikahan, aku selalu berharap cowok idamanku datang melamarku, tapi  rupanya jalan hidupku tak seindah cerita sinetron selama ini. Aku tetap harus duduk di kursi pelaminan bersama lelaki yang tak kucintai. Aku hanya bisa diam dan bersiap menjalani pernikahan setengah hati.
Bahkan di malam pertama aku berusaha menunjukkan betapa aku tak tertarik pada lelaki itu. Aku berusaha diam membatu saat suamiku mulai menyentuhku. Aku dapat menahan seluruh perasaanku saat dia mulai memegang tanganku dan menciumiku. Aku ingin ekspresikan betapa aku tak berminat padanya, aku tak tergoda olehnya, dan aku dapat melakukannya.
Aku masih dapat menahan seluruh rasaku saat dia mulai melepas pakaianku, sama sekali tak membuatku bernafsu. Aku baru tak mampu menahan godaan saat dia  mulai membuka BH-ku. Pertahanan hatiku benar-benar runtuh saat lelaki itu melepas kancing BH-ku. Aku benar-benar tergoda untuk bercinta saat penutup buah dadaku terlepas dan dia mulai meraba kedua payudaraku.
Aku benar-benar pasrah, tak mungkin menolak lagi saat jemarinya mulai meraba bagian intimku. Sentuhannya pada payudaraku malam itu membuat aku tanpa sadar mulai menerimanya sebagai suamiku. Aku menikmati hubungan intim malam itu dan malam-malam selanjutnya. 
Mungkin karena kerasnya hatiku, atau karena aku tak sepenuhnya bahagia dengan pernikahanku, membuat hari-hari pernikahanku tak berjalan semestinya. Selain bercinta, aku merasa banyak ketidakcocokan antara aku dan dia. Suamiku bahkan mulai menjaga jarak dariku sejak aku berterus terang kalau belum dapat melupakan cowok idamanku. Bahkan sejak aku hamil, hubunganku dengan suami kian memburuk. Kamipun sepakat mengakhiri kisah itu, meski seharusnya kami berbahagia oleh kehadiran buah pernikahanku.