Rabu, 10 Desember 2008

AKU INGIN BERCINTA


Hasrat ini muncul lagi dan lagi, bikin perasaanku nggak tenang, suntuk seharian. Kenapa juga sih adik kecil ini nggak juga bobok? Padahal ada banyak kerjaan hari ini. Ayo dong adik kecil... bobok ya? Papa lagi banyak kerjaan, nih. Aduh... kok tambah menjadi-jadi, deh.Stop... stop... stop, ya. Kalau nakal terus, ntar diplester lagi sama papa. Jam tiga nanti papa mau presentasi, masa harus bicara dari belakang meja aja, kan nggak lucu?
Kadang aku benci dengan diriku sendiri, terutama untuk urusan yang satu ini. Tanpa diminta hasrat ini selalu saja datang dan datang lagi. Aku sudah banyak-banyakin rokok biar hasrat itu mereda, bila perlu biar impoten. Kantong sudah penuh kapur barus yang katanya bisa bikin adik nggak bangun-bangun, tapi nyatanya selalu saja dorongan itu datang tanpa diminta.
Ngomong sama istri juga percuma. Kami terlanjur bikin kesepakatan mengenai jatah mingguan. Kebetulan saja jatah minggu ini sudah habis. Aku bahkan tidak sempat memanfaatkannya. Aku biasa kehilangan mood dengan sistem seksual semacam ini, tapi apa boleh buat? Maksain sedikit bonus hanya bikin runyam suasana rumah saja.
Rasanya pengen sekali selingkuh dengan teman kantor, pegawai, mahasiswa atau mantan pacar, tapi selalu urung kulakukan. Entahlah, selalu saja ada rasa enggan melakukannya, meski sebenarnya mudah saja kualkukan.
Seks selalu menjadi keinginan yang sangat mengganggu. Aku selalu haus seks, aku selalu menginginkannya, tapi tak selalu ada. Punya istri seperti punya pacar saja. Selalu kepingin mesra-mesraan, tapi tak selalu dapat kesempatan. Istriku begitu lelah setelah seharian tak henti bekerja. 
Dia begitu bersemangat dengan tokonya, dengan sekolahan dengan semua hal yang ada di sini. Dia sama sekali tak mengerti kebutuhanku, selain sesekali mau melayani. Hubungan seks dengan istri semakin tidak menyenangkan. Semakin hilang gairah. Dia juga sama sekali tak peduli soal satu ini, jauh lebih parah dibanding saat-saat pertama aku masih bisa memaksanya dengan segala cara. 
Aku tidak puas, sungguh tidak puas dengan keadaan ini, tapi harus selalu berbohong kalau aku puas. Aku juga tak mau memaksakannya. Lagi pula seks secara paksa sering kali sangat mengecewakan. Lebih baik swalayan saja, sambil berhayal ke langit yang tinggi sekali. Kadang terpikir olehku untuk tidak melakukannya lagi dengannya. 
Beberapa kali aku menghindari hubungan seks, bahkan berhari-hari tanpa seks, tapi dia seperti tak merasa lain, tak peduli. Dia dan aku memang berbeda untuk urusan yang satu ini. Bagiku seks adalah kebutuhan dan kesenangan, tapi baginya hanya kwajiban, atau lebih jauh sedikit, tanda kerinduan. Masih untunglah ada yang merindukan.