Nikmatnya hubungan
seks menjadi satu-satunya yang mungkin kuharapkan darimu, tetapi untuk yang satu ini aku harus sering menggigit jari sendiri. Mungkin masalahnya memang dari cinta yang tak sepenuhnya tulus, atau entahlah aku tak tahu.
Kalaupun ada, dia hanya melakukannya semata sebagai kwajiban. Bagi istriku seks seperti sebuah jatah yang harus dia
berikan untukku. Sebagai jatahpun rasanya terlalu baik untuk menyebutnya, karena
pengalamanku ini lebih tepat disebut sebagai sedekah, yang baru benar-benar
terjadi bila dia memiliki waktu luang.
Sementara waktu luang itu sangat
sedikit, bahkan terlalu sedikit. Padahal bagiku seks bukan kebutuhan yang dapat
dijadwalkan. Hasrat
itu muncul setiap saat, setiap waktu, yang untuk itu mestinya istri juga
siap setiap saat. Gairahku bahkan sudah hilang ketika dia siap melayani, dan
layanan itupun sudah pasti mengecewakan.
Terang
saja, bagiku semua ini sangat tidak memuaskan. Masak, hubungan seks dengan
perempuan tidak ada bedanya dengan onani? Aku harus bersenggama dengan “boneka”
yang tertidur, yang tak pernah basah selain oleh air ludahku sendiri.
Istriku
hanya peduli pada hal lain, pada semua kesibukannya, dan tidak pernah pada
seks. Aku merasa, selain sekedar memenuhi kwajiban dia seperti tak membutuhkan seks. Aku masih beruntung diijinkan "pake" begitu saja, meski gairah tak jarang runtuh sendiri.
Kini aku bisa memahami kenapa sebagian orang
selingkuh untuk sekedar seks yang lebih bergairah. Paling tidak, selingkuh akan
terasa seperti masa pengantin baru, di mana pasangan baru tak bisa menolak
keinginan, bahkan selalu ingin membuat senang pasangan barunya.
My Diary Monday, July 24, 2006