Yang terberat bagiku justeru sikapnya yang seakan tidak membutuhkanku. Aku bahkan sempat berniat meninggalkannya kurang dari seminggu sejak hari pernikahan. Aku urungkan niatku itu karena tak tahan melihatnya menangis, bahkan bebrapa kali harus opname di rumah sakit. Dengan derai air mata berkali-kali dia bilang, "Jangan tinggalkan aku". Akhirnya akupun luluh melihatnya. Aku berjanji tak akan meninggalkan wanita yang sebenarnya bertampang cantik ini.
Rupanya tidak hanya pola pikir dan pandangan keagamaannya saja yang membuat dia tidak menyukai seks. Secara fisik dia memang terkategori frigid. Tidak sebagaimana cewek yang pernah jadi kekasihku sebelumnya, dia tidak pernah merasa terangsang meski diapakan juga. Dia hanya merasa seperti digelitik saja.
Satu-satunya cara supaya dia bisa melayani kebutuhanku hanyalah dengan teknik culiningus (oral). Kurang dari lima menit, dia pasti menggelinjang hebat dan minta aku segera intercourse. Itupun biasanya tidak lama. Sekitar lima menit kemudian, dia pasti minta aku menyudahi hubungan. Ini dikarenakan dia ternyata juga menderita vaginismus, penyempitan vagina. Punya dia memang terasa sempit sekali, ketat sekali jepitannya, seperti dijepit karet saja.
Tentu saja aku sangat kecewa dengan semua ini. Belum apa-apa, bahkan aku belum sempat keluar dia minta sudahan. Kalaupun sampai keluar, biasanya karena aku setengah memaksa. Hati ini rasanya sangat tertekan. ML sama istri tak ubahnya dengan memperkosa perempuan tak berdaya saja.
Berbagai usaha telah kulakukan, mulai dari bujuk rayu yang setinggi langit manapun yang pernah ada, nonton film porno, buku dan artikel seksualitas, tapi hasilnya tidak seberapa memuaskan. Bukan saja tidak romantis, dia benar-benar tidak tahu, tidak merasakan apa yang disukai dan diinginkan kaum adam, dan tidak peduli.
Mungkin karena dorongan seksualnya yang demikian, dia bukan hanya tidak peka terhadap suami, tetapi juga pada anak-anak. Praktis mereka menjadi anak-anakku saja, dan kurang peduli pada mamanya. Seolah-olah aku ini suami yang bertindak sebagai ibunya.
Sejak anak-anakku lahir, aku curahkan habis perhatianku pada mereka, hingga akibatnya menjadi anak-anak yang menurut tetangga sering dibilang manja. Di tengah kesibukan di kantor dan kelola usaha aku berusaha membuat mereka senang dengan segala permainan yang mereka suka.
Meski begitu aku selalu mencoba bertahan. Sempat juga sih, terpikir untuk selingkuh. Ada banyak kesempatan yang bisa kulakukan. Pekerjaan resmiku ada di luar kota, pegawaiku mayoritas perempuan, tapi selalu enggan aku melakukannya. Mungkin belum berani saja ya? Mantan pacarku yang dulu sempat punya hubungan paling intim denganku (untuk ukuran orang pacaran) adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungku untuk bertahan. Dia bilang tak akan bangga lagi padaku bila aku main sama wanita komersial. Kalau aku mau, dia bahkan siap memberiku kehangatan yang aku butuhkan. Hanya saja, sekali lagi aku masih enggan melakukannya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan yang mengecewakan ini, sebenarnya aku sudah malas berurusan dengan perempuan. Aku tidak siap dengan resiko affair dengan wanita lain. Aku kuatir kena penyakit, hamil atau dia maksa minta dinikahin. Wah, pasti bikin susah. Orang yang paling aku khawatirkan justeru anak-anakku. Aku ingin mereka tetap bangga padaku seperti hari ini. Aku takut kehilangan kepercayaan mereka, karena di hatiku merekalah yang paling berharga buatku.
Menikah bukan semata-mata urusan seksual, tapi juga menyangkut nama baikku dan keluarga. Aku hanya dapat tumpahkan keluh kesahku dalam berjilid-jilid buku harianku, hingga suatu hari saat aku sedang di luar kota, istriku membacanya satu persatu. Malam itu dia langsung telpon lama sekali sambil menangis sesenggukan. Dia tak henti meminta maaf atas keadaannya. Dia berjanji akan berubah.
Benar saja, saat aku pulang dia benar-benar berusaha berubah, meski itu hanya untuk sekali waktu saja. Selebihnya dia masih tetap istriku selama ini.