Semula aku berencana hanya akan tinggal setahun saja di pesantren itu. Kuliah di kampus swasta sama sekali tak ada dalam bayanganku. Aku berniat untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun berikutnya, setelah mengalami kegagalan pada tahun itu.
“Itu siapa?” Tanyaku pada Nung, teman kamarku.
“Itu mbakku. Mbak Tutik. Apa kamu naksir ya?” Jawabnya.
Aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah lembut itu selalu membayangi hati dan pikiranku sejak saat itu. Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi aku sama sekali tak tahu caranya. Aku hanya bisa titip salam pada teman-teman sekolahnya, entah disampaikan atau tidak.
Aku menyebut nama gadis itu di setiap doaku. Aku menuliskan namanya di setiap tempat, di buku, kitab dan almari pakaianku. Suatu hari aku mengambil fotonya yang tertempel di buku induk organisasi dan kulekatkan di dalam lemari pakaianku.
Semua anak tahu aku menyukainya, tapi sama sekali tak tahu bagaimana mendekatinya. Beberapa temanku menawarkan diri menghubungkan aku dengannya, tetapi tak satupun yang member kabar lebih lanjut padaku. Hiru-pikuk pesantren membuatku tak menemukan jalan untuk dekat dengannya, tetapi dalam kebuntuan itu, aku tetap yakin dia akan menjadi jodohku suatu hari nanti.
Aku sangat senang mendapat kesempatan mengajar di pondokannya, tetapi bukan berarti terbuka jalan untuk mengenalnya. Aku benar-benar kehilangan jejak saat dia lulus SMA dan melanjutkan studi di luar kota.
Beberapa kali aku mengunjungi kampusnya, tetapi tak satupun sahabatku membantu aku, bahkan untuk sekedar bertemu. Dia telah semakin jauh dariku, tetapi sangat dekat di hatiku.