Rabu, 24 Desember 2008

RINDUKAN AKU, PLEASE....!!!

Delapan jam perjalanan dari Jogja lumayan melelahkan. Kalau bukan karena keluarga, rasanya malas bolak-balik menempuh perjalanan sejauh ini. Rasa kantuk dan lelah selama nyetir tersisih oleh keinginan bertemu keluarga, anak-anak dan tentu saja istri tercinta.
Apalagi di Jogja saat ini kian banyak pemandangan indah yang membangkitkan gairah. Di kalangan cewek sana lagi ngetred pakaian bawah model celana pendek dari kain tipis, entah apa namanya. Banyak cewek yang begitu PD jalan-jalan hanya dengan memakai celana pendek tipis, yang panjangnya tidak lebih dari separuh paha, atau lebih tepatnya hanya sekitar sepertiga paha, bahkan kurang.
Jujur saja, pemandangan ini secara signifikan selalu membangkitkan gairah. Meski
demikian , aku selalu alihkan godaan ini dengan mengingat yang biasa kutemui di
rumah, terutama saat istri sedang tidur. Aku manfaatkan saja daa tarik ini sebagai penambah kerinduanku pada kehangatan seorang istri. Meski dirundung rasa lelah, kantuk, aku berusaha tetap fokus, directing my car to stay on the way. Dalam hati aku berharap segera dapat memuaskan hasrat batin itu di rumah.
Sekitar pukul 10.30 malam akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat, tapi kali ini tak seorangpun menyambutku. Kalau aku datang saat anak-anakku belum tidur, biasanya mereka pasti bersorak histeris seperti menyambut pahlawan yang baru datang dari medan perang. Cuma saja kali ini mereka sudah tidur, begitu pula istriku. Hanya pembantu yang suka rela membukakan pintu gerbang, garasi dan membuatkan kopi panas.
Segera saja aku mandi sebersih mungkin. Aku berharap kuman dan kotoran di jalanan tadi tidak menyebar ke seluruh penjuru rumah, apalagi menulari anak-anakku. Selain itu, aku juga berusaha agar bau badanku tidak jadi pengganggu saat aku mendekat pada istri.
Selesai mandi aku datangi anakku satu-persatu di kamarnya. Aku mencium pipi dan kening mereka dan tidak terkecuali istriku. Anak-anak hanya meregangkan tubuhnya saat merasa aku cium pipi dan keningnya, kemudian kembali tertidur pulas. Istriku juga hanya terbangun sejenak saat aku menciumnya, “Pa…, sudah nyampai?” sapanya sembari tersenyum.
Tentu saja, aku tak perlu menjawab pertanyaan itu. Segera saja kurebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Perlahan kurengkuh tubuh sintal itu, tapi serta-merta ia menyergah, “Ih… apaan, sih?”
“Aku kangen, sayang” rajukku, sembari sedikit memaksa memeluknya. Perlahan kuelus lengannya yang terbuka, tapi serta-merta dia menepisnya. Aku tidak patah arang dan perlahan mencoba mengelus pahanya yang tersingkap. Kali ini dia tidak lagi menyergah melarang, melainkan menghardik, “Ih… capek… capek. Aku ngantuk! Sana tidur sama anak-anak saja. Orang lagi ngantuk, kok”
Akupun menyerah dan beranjak pergi. Persis seperti yang sudah-sudah, aku kembali harus menelan mentah-mentah kekecewaan batin untuk kesekian kalinya. Ditolak dan ditolak, bahkan sekedar untuk memeluk istriku sendiri.
Rasa lelah dan kantuk yang belum juga sirna kini telah bertambah rasa kesal dan kecewa. Aku hanya bisa menghibur diri dengan memotretnya dalam pose-pose seksi saat tertidur. Dalam hati aku selalu berguman, kenapa tubuh yang sebegini seksi seakan tak memiliki "strom" sama sekali?
Setelah hampir seminggu berpisah, kenapa tidak ada yang merindukanku? Ke mana kerinduan mesti kutumpahkan?
Mendapatkan hangatnya kemesraan suami-istri tak ubahnya menunggu hujan salah musim saja. Seolah perlu keberuntungan untuk mendapatkan kesempatan yang satu itu. Terus terang, kadang rasanya kesabaran ini sudah sampai titik akhirnya. Ketabahanku sudah kian kehilangan daya tahannya. Jiwa ini sungguh telah rapuh oleh kehampaan dan rasa-rasa yang tiada lagi bermakna. Bila suatu hari ada hati yang terbuka menyambut kerinduan ini, bila suatu saat ada hati yang menawari sejuknya kerinduan, aku tidak bisa janji akan mampu menghindarinya.