Kamis, 25 Desember 2008

MASALAHKU SENDIRI



Yang aku suka dari istriku adalah tubuhnya ramping, putih, mulus. Singkatnya, secara fisik aku suka banget. Yang kurang aku suka, dia itu kurang tertarik pada seks. Tidak setiap saat dia mau bermesraan, dan apalagi bercinta.
Dia tipe cuek seks, permikir monolitik dan gila kerja. Kalau sudah sibuk sesuatu sulit ditarik ke ranjang. Dia kurang ngêrês. Bahkan dia lebih banyak mengeluh soal seks. Keadaannya seperti aku kalau lagi sibuk sesuatu. Masalahnya, hampir tiap detik dia seperti itu.
Sedikit rahasia masa lalu terkuak. Meski Cuma pengakuan tak langsung, aku sadari bahwa sebenarnya istriku pernah dapatkan pasangan yang benar-benar cocok secara mental dan visi hidupnya. Makanya begitu awet dan sulit terpisahkan.
Ukuran cinta memang bukan bagaimana pandangan orang lain, tapi kebutuhan rasa pelakunya. Bila yang menjalani memandangnya sudah ideal dan cukup, maka orang lain tak dapat berbuat banyak. Aku tahu dia masih sangat mencintainya, memujanya, dan mengenangnya sebagai masa terindah dalam hidupnya.
Aku benar-benar yakin bahwa aku manusia yang gagal untuk urusan cinta. Aku hanya punya seorang perempuan, tubuh istriku, tapi bukan seluruh hatinya. Sebagai orang timur, aku terpenjara oleh lingkungan, terutama keluargaku. Aku harus menerima kenyataan ini, tanpa pernah dapat mengubahnya demi menjaga perasaan orang tuaku, keluargaku.
Satu-satunya yang mungkin aku raih hanya kenikmatan seksual. Itupun belum memuaskan. Terlalu sedikit kesempatan yang aku dapatkan dibanding yang aku butuhkan. Mungkin juga pengalaman bersama dik Iid membuat sensasi bersama istri menjadi kurang terasa. Setelah cinta yang gagal kuraih, aku tak perlu menyoal keperawanan.
Bagaimana mungkin menyoal masalah keperawanan, sedangkan yang aku nikahi jelas-jelas bekas bini orang.  Kisah kemesraan dan gairah itu jelas tak lepas dari roman cintanya di masa lalu. Hanya saja dia memang tertutup soal yang satu itu, tapi dari sikapnya jelas dia tak memungkirinya. Karena itu, yang mungkin aku harapkan hanya seks yang memuaskan. Aku ingin dia jadi seorang perempuan yang binal di hadapanku, haus seks dan penuh gairah. Aku ingin dengar, mas… aku puas… oh… ah…
Kalau mau jujur, jelas aku tidak puas dengan kenyataan jodohku. Tapi itu semua salahku sendiri. Resiko tindakan bodoh, puncak dari sekian kebodohan dalam tindakan yang pernah aku lakukan. Seperti halnya soal disertasi, aku juga nggak akan menyalahkan Nyoto. Dia memang nggapleki, tapi di sisi lain aku sendiri tidak mampu bekerja dengan baik, sebaik yang mestinya dapat kulakukan.  Orang lain bisa, kenapa aku gagal? Artinya masalah ada pada diriku sendiri.

MONDAY, JANUARY 22, 2007