Selasa, 02 Desember 2008

PESONA GADIS LUGU

Sebelumnya aku tak pernah punya rencana akan tinggal di pesantren. Sejak SMA aku berharap masuk perguruan tinggi negeri, dan itu satu-satunya obsesiku sejak lulus sekolah lanjutan atas. Sayang, momen terpenting aku sia-siakan. Aku tidak lulus seleksi masuk PTN. Kegagalan itu membuat aku benar-benar shock di hadapan teman-teman, dan apalagi keluargaku yang sangat berharap padaku. Kerja keras, berbagai prestasi belajar dan kelebihan yang kuraih sejak SD sampai SMA serasa tak ada gunanya. 
Aku benar-benar tak punya bayangan akan ke mana. Kakakku pernah mengantarku daftar AKPER, tapi juga tidak dapat diterima karena aku buta warna. Beberapa undangan perguruan tinggi swasta sama sekali tak menarik bagiku. Aku merasa telah gagal, dan satu-satunya harapanku hanyalah mencoba masuk perguruan tinggi negeri lagi tahun depan. Itupun masih tanda-tanya, apakah aku akan diterima atau gagal lagi.
Aku benar-benar bingung sejak membaca pengumuman ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku enggan keluar rumah, dan di rumah aku sangat tidak nyaman, sebab ortu selalu tanya mau kuliah di mana? Aku hanya keluar rumah malam hari, dan itupun hanya ke rumah kang Malik, temanku mengaji di madrasah malam. 
Di rumah kang Malik, tanpa sengaja aku menemukan potongan kalender pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Seketika itu aku putuskan untuk masuk pesantren. Terus terang aku berniat banting setir, menjauh dari teman-temanku, melupakan semua cita-cita yang selama ini kukejar, dan memulai jalan baru. 
Sampai di rumah aku bilang pada ortu mau mondok ke pesantren. Mereka tentu saja kaget, sebab ke pesantren sama sekali tak ada dalam bayanganku maupun keluarga. Dengan wajah tanpa ekspresi, ortu hanya mengiyakan niatku, dan besok pagi-pagi buta aku sudah berangkat ke Jombang. Padahal aku sama sekali tak tahu di mana pesantren itu, selain berbekal alamat yang kucatat dari potongan kalender kemarin. 
Beberapa hari setelah di pesantren, ortuku datang berkunjung. Mereka memintaku kuliah di kampus swasta milik pesantren itu. Aku menurut saja, meski kuliah di kampus swasta sama sekali tak ada dalam benakku. Apalagi kampus yang dimaksud hanya dua deret gedung sederhana layaknya kereta api.
Meski demikian, keputusan masuk pesantren sudah memberiku solusi terbaik, setidaknya untuk sementara waktu. Aku merasa tenang dan terfikir untuk mencoba tes masuk PTN lagi tahun depan, terlepas diterima atau tidak. Aku mulai menikmati dunia pesantren, tetapi aku masih setengah hati ikut kegiatan organisasi. Mungkin karena aku masih berfikir akan mencoba masuk PTN lagi. 
Karena paksaan pengurus organisasi, suatu hari aku tak bisa menolak datang ke kegiatan organisasi. Dengan bermalas-malasan, akhirnya aku datang juga ke pertemuan itu saat acara sudah dimulai. Saat masuk ruangan itulah, tiba-tiba mataku menatap sesosok gadis yang teramat cantik. Aku benar-benar takjub memandang Wajahnya yang serasa menyilaukan mata dan membuat jantungku berdesir lembut. 
Itu pertama kalinya aku bertemu wanita yang sungguh-sungguh sempurna di hatiku, membuat anganku terbang ke awan. Seorang santriwati yang saat itu menjadi pendamping MC acara itu telah membuatku begitu terpesona. Selama kegiatan berlangsung pandangan mataku hanya tertuju pada gadis berwajah innocence di sudut depan ruang pertemuan itu. 
“Itu siapa?” Tanyaku pada Nung, teman sekamarku.
“Itu mbakku. Mbak Tutik. Apa? kamu naksir ya?” Jawabnya balik bertanya.
"Bener mbak kamu?" Tanyaku.
"Mbak sepupu. Itu anak Nganjuk, anaknya budeku" Jawabnya serius, dan sejak saat itulah aku tak henti bertanya soal gadis itu pada Nung temanku.
Aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah lembut itu selalu membayangi hati dan pikiranku sejak saat itu. Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi aku sama sekali tak tahu caranya. Aku hanya bisa titip salam pada teman-teman sekolahnya dan teman-teman kuliah yang tingga satu asrama dengannya.
Aku menyebut nama gadis itu di setiap doaku. Aku menuliskan namanya di setiap tempat, di buku, kitab dan almari pakaianku. Suatu hari aku mengambil fotonya yang tertempel di buku induk organisasi dan kulekatkan di dalam lemari pakaianku.
Semua temanku tahu aku menyukainya, tapi tak ada yang peduli untuk membantuku mengenalnya. Padahal aku sama sekali tak tahu bagaimana mendekatinya. Beberapa temanku menawarkan diri menghubungkan aku dengannya, tetapi tak satupun yang member kabar lebih lanjut padaku. Hiru-pikuk pesantren membuatku tak menemukan jalan untuk dekat dengannya, tetapi dalam kebuntuan itu, aku tetap yakin dia akan menjadi jodohku suatu hari nanti.
Tanpa terasa hampir setahun aku di pesantren, dan aku sama sekali tak lagi berfikir untuk keluar. Bahkan saat kakaku dan ortuku mengingatkan aku soal daftar tes masuk PTN, aku dengan tegas memastikan tak akan keluar dari pesantren. Sejak berjumpa gadis itu, aku kian yakin bahwa tempatku ada di sini.
Apalagi di akhir tahu itu juga aku diminta mengajar mengaji di asrama Tutik, gadis pujaanku. Aku merasa terbuka jalan untuk mengenalnya, tapi sayangnya aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Bahkan saat akhirnya dia lulus SMA, aku hanya mampu gigit jari.

Aku benar-benar kehilangan jejak saat dia lulus SMA dan melanjutkan studi di kota Malang. Beberapa kali aku mengunjungi kampusnya, tetapi tak satupun sahabatku membantu aku, bahkan untuk sekedar bertemu. Aku benar-benar merasa gadis itu telah sangat jauh dariku, meski sangat dekat di hatiku.
Hatiku benar-benar hancur saat beberapa waktu berselang, seorang alumni pesantren itu datang ke kamarku. Dia bercerita kalau sudah melamar Tutik, dan lamarannya diterima. Beberapa kali dia datang ke kamarku menegaskan betapa gadis itu sudah menjadi miliknya. Aku hanya bisa memendam rasa kehilangan yang teramat dalam, tapi itu tak menyurutkan niatku untuk tetap belajar di pesantren itu.