Minggu, 14 Desember 2008

DILEMA BATIN


Tidak Harmonis. Hubunganku dengan istri hari-hari ini terasa hambar, hambar sekali. Aku merasa rumah tanggaku sedang tidak harmonis. Mungkin saja istriku merasakan hal yang sama, tapi bisa jadi seperti biasanya dia tak mau tahu. Aku tak ingin membicarakan apa masalahnya, karena itu percuma. Bicara dengan istriku hanya nambah masalah saja, karena dia bukan orang yang bisa diajak bicara baik-baik. Lebih baik diam saja, dan lakukan apa yang menurutku baik.  
Seksualitas membeku. Kami praktis jarang sekali melakukan hubungan intim. Gairahku terhadap istri praktis menghilang, entah apa sebabnya. Aku bahkan ada perasaan tidak suka dengan istriku, padahal aku masih tertarik melihat perempuan seksi.
Sejak dia malas KB aku juga malas berhubungan intim. Diapun tak peduli pada perubahan sikapku soal penurunan tuntutan seksualitasku, yang sebenarnya sudah mulai kukurangi beberapa waktu sebelumnya. Bagiku, pada dasarnya dia memang tidak begitu membutuhkannya. Dia hanya butuh aku sebagai penjaga rumah, penjaga malam, yang membuatnya tak khawatir bila aku ada di rumah, dan sebaliknya, merasa tidak nyaman bila tidak ada aku di rumah.
Hubungan seks dengannya kian hari kian mengecewakan. Masa-masa yang lumayan seru saat pengantin baru hanya untuk dikenang. Seks tanpa gairah, dan berakhir dengan keluhan, yang sakitlah, yang keluar darahlah. Sangat dan sangat mengecewakan.  
Istriku sangat menginginkan punya anak perempuan, tapi aku sudah tidak ingin tambah anak lagi. Memang, aku lebih suka punya anak laki-laki, tapi di sisi lain, aku memang merasa berat bila harus membagi kasih sayangku pada Kaka dan Bilbil. Aku kasihan waktu Kaka punya adik. Dengan dua anak saja selama ini mereka tak terurus secara layak, apalagi bila harus tambah anak lagi. Makanya aku memilih menghindari berhubungan seks yang wajar dengan istriku. Aku tidak nyaman, karena takut istriku hamil lagi.
Istriku semakin tidak peduli dengan keluarga. Waktu dan tenaganya habis buat ngurus lembaga. Baginya tidak ada yang lebih penting dibanding sekolahan, toko dan segala macam kegiatannya. Anak, aku dan rumah kalah penting dibanding semua itu. Ini membuat aku semakin muak melihatnya. Aku tak mau terlibat, karena dia punya sifat ngêréh kalau dituruti. Dia hanya mau memperalat aku untuk memuluskan kemauannya. Respon pertama setiap ide dariku pasti penolakan. Kalaupun pada akhirnya dia pakai, itu hanya dapat terjadi atas kemauannya saja. Kalau dia tidak mau, ada beribu alasan akan dikemukakan sekedar untuk menolaknya.
Thursday, January 04, 2007