Minggu, 01 Juni 2014

AKU TAK BAHAGIA DENGAN PERNIKAHANKU

Orang pasti tertawa atau mencibir bila kisah ini kuceritakan pada orang lain, teman, atau keluargaku. Aku punya istri lumayan menarik, punya empat orang anak, rumah, kendaraan lumayan dan pekerjaan yang cukup terpandang, meski penghasilanku tak sebesar anggota DPR. Bagaimana mungkin aku tak bahagia?
Aku tidak tahu mengapa, tapi percaya atau tidak, begitulah yang aku rasakan. Aku tidak merasa nyaman dengan pernikahanku. Perasaanku dipenuhi penyesalan bahkan sejak beberapa hari menjelang pernikahanku. Aku merasa telah salah mengambil keputusan. 
Gara-garanya saat aku telepon, calon istriku bilang hanya menjalani pernikahan ini karena menuruti kemauan orang tuanya. Aku kecewa sekali dengan sikap dan beberapa kata-katanya yang bernada begitu. Rasanya ingin sekali membatalkan pernikahanku, tapi aku tak tahu bagaimana melakukannya. Aku tak tahu bagaimana bicara dengan keluargaku. 
Ibuku satu-satunya orang aku beri tahu dan seketika bilang tak setuju dengan sikap dan keputusanku, tanpa mau mendengar alasanku. Aku hanya bisa membiarkan hari berlalu hingga hari pernikahan tiba. Seperti kata ibu, sekali melangkah pantang kembali, akupun memantapkan langkahku.
Pernikahan yang biasanya dianggap hari istimewa benar-benar mengecewakanku. Sepanjang resepsi pernikahan, wajah istriku begitu muram. Tak sekalipun dia tersenyum sepanjang resepsi berjalan. Setelah resepsi hingga senja hari dia juga tampak berusaha menghindariku. Dia membiarkan aku sendiri seperti orang dungu di kamar pengantin di rumahnya.
Malam pengantin yang selalu diimpikan oleh semua orang, memberiku jawaban atas semua keraguanku. Rupanya istriku belum bisa melupakan mantan pacarnya. Itu sebabnya dia tak ingin terlihat bahagia saat kekasihnya sedang kecewa. Dia tak ingin teman-temannya yang datang cerita pada Zaenal kalau istriku, Tutik, tampak bahagia di pernikahannya. Saat kutanya seperti apa perasaannya pada Zaenal, dia bilang, "Aku ingin hanya ada satu laki-laki dalam hidupku. Aku merasa cocok dalam segala hal dengan dia. Dia itu orangnya baik banget. Aku tak tahu marahnya dia seperti apa"
"Aku berpisah dari dia bukan kemauanku. Aku dan dia bahkan sepakat tidak ada kata putus" 
"Kamu harusnya mengerti, aku baru dua bulan kenal sama kamu, sedang aku jalan sama dia sudah empat tahun" Jawabnya saat aku mulai bertanya.
Lemas batinku mendengarnya. Hari pernikahan itu benar-benar membalikkan hari-hariku yang dipenuhi rasa kecewa dan penyesalan. Hari-hariku dipenuhi rasa kecewa yang sangat dalam, sangat kecewa dan menyesal.
Aku merasa salah memilih calon istriku. Aku tidak meneliti seperti apa wanita itu, hingga setiap hari aku harus menangisi  kebodohanku.
Ingin sekali mengakhiri pernikahanku, tapi aku sungguh tak tahu harus bagaimana. Aku sempat bicara dengan ibuku, dan sikapnya sama. Dia tak ingin mendengar omongan bodohku. Akhirnya kuputuskan menjalani pernikahanku.
Aku mencoba menerima kenyataan ini, meski hari-hariku penuh dengan beban perasaan menyesal. Apalagi sikap istriku sama sekali tak mendinginkan kekecewaanku. Dia menganggap aku terlalu beruntung menikahinya, meski aku merasakan sebaliknya.
Rasanya seperti berada di rumah ibu tiri yang sinis dan tak menginginkanku. Sikap istriku sama sekali tak menghargaiku. Aku berusaha bersabar dan menerima kenyataan ini, meski sejujurnya aku belum mampu menghapus rasa kecewaku. Aku hanya bisa menangis setiap kali terbersit kisah pilu hatiku.
Rupanya itu belum cukup, sebab rupanya diam-diam istriku masih sering menghubungi Zaenal di luar sepengetahuanku. Aku bisa saja melarangnya, tapi bagiku apa artinya? Melarangnya hanya menghalanginya bertemu atau bicara, tapi siapa yang mampu menghapus kata hati orang?
Aku telah salah memilih istri, tapi aku merasa tak salah memiliki anak darinya. Hanya merekalah satu-satunya yang berharga dalam pernikahanku. Aku hanya berfikir, aku adalah suami dan ayah dari 4 orang anak. Aku bertanggung jawab pada mereka seperti lazimnya. Istriku tak lebih dari seorang perempuan bagiku. Dia hanya istriku bukan kekasih buatku. Aku tertarik pada tubuhnya, tapi aku tak merasa memiliki hatinya. Mungkin itu sebabnya aku merasa tak nyaman bersamanya. Aku sungguh tak bahagia bersamanya.
Aku tahu, istriku juga tak bahagia. Aku tahu, hidup denganku bukan keinginannya. Pasti bukan hal mudah merelakan dirinya berpisah dari orang yang paling dia cintai. Aku bahkan melihat sendiri bagaimana sedihnya istriku saat Zaenal menikah beberapa tahun yang lalu. Di hari pernikahan Zaenal beberapa bulan setelah anak keduaku lahir, istriku mengurung diri seharian di kamar. Cintanya pada lelaki itu tak berubah bahkan setelah 15 tahun kami menikah.
Betapapun hampa dan kecewanya hatiku, aku pastikan untuk terus menjalani pernikahan ini, terutama demi anak-anakku. Aku tak mau mengorbankan mereka karena kebodohan yang kubuat sendiri di masa lalu.