Minggu, 29 Juni 2014

KEBUNTUAN KOMUNIKASI DENGAN SUAMI

Akhir-akhir ini hubunganku dengan suami terasa hampa. Kami memang selalu bersama dan saling bicara tentang banyak hal, tetapi sama sekali tak bicara soal perasaan. Aku sendiri berusaha menghindari bicara soal perasaan, karena aku tahu dia tidak mau lagi bicara soal perasaan. 
Sebenarnya aku sumpek banget dengan keadaan ini, tapi bagaimana lagi, suamiku sepertinya benar-benar sudah tdk mau bicara denganku untuk urusan itu. Setelah dua kali aku menyakiti perasaannya, dia menutup diri untuk bicara urusan batin.
Sebenarnya aku ingin jelaskan semuanya, tapi percuma saja. Aku tahu tidak ada gunanya, bahkan hanya memperburuk keadaan. Setiap aku jelaskan, dia selalu punya argumen sendiri yang sulit aku bantah.
Aku tahu yang dia mau, tapi aku tak bisa menuruti keinginannya. Dia ingin tahu semua yang pernah kulakukan dengan Zaenal, mantanku. Tentu saja aku tak bisa menuruti kemauannya, sebab jujur padanya sama halnya dengan menghancurkan diriku sendiri di hadapannya. Aku kuatir kejujuranku akan dia jadikan senjata untuk menyudutkan aku. Aku hanya bisa jawab, bahwa masa laluku tak beda jauh dari masa lalunya. Hanya itu pembelaanku di hadapannya, dan diapun tak pernah bertanya lagi.
Aku sendiri sekarang membatasi diri untuk bicara hal-hal sensitive. Untuk urusan batin, aku memilih asyik dengan kehidupanku. Aku tetap kontak teman-teman. Hanya kontak dengan Zaenal yang sengaja agak aku batasi, biar tidak kembali memperparah hubunganku dengan suami.
Mungkin benar kata suamiku, ini bukan saatnya menyoal perasaan. Pernikahan kita sudah sejauh ini, kenapa kita harus menyoal perasaan? Tanyanya. Sejujurnya aku senang bisa bicara soal perasaan, tapi buat apa kalau ujung-ujungnya hanya membuat kamu tidak nyaman bersamaku? Ucapnya lagi dengan nada bertanya. "Bagiku akan lebih bermanfaat bila kita bisa makin fokus kerja dan berkarya demi anak-anak", Jelasnya.

Sejujurnya aku tak nyaman karena ada yang mengganjal di batinku, tetapi apa boleh buat. Aku tak bisa menuruti keinginan suamiku untuk terbuka, sebab aku tidak siap dengan resikonya. Terbuka berarti harus membuka aibku sendiri di hadapan suami. Aku terima keadaan ini meski suamiku tak benar-benar mempercayaiku. Bagiku seperti ini sudah lebih baik dibanding Anik, Umi, mbak Sin atau teman-temanku yang lain.