Jumat, 06 Juni 2014

KENANGAN BERMESRAAN DENGAN PACAR

Sebenarnya aku termasuk cewek yang tak kenal pacaran. Semua orang pasti menilaiku sebagai cewek yang sangat agamis. Sampai semester akhir, belum sekalipun aku pacaran. Bahkan aku sudah risih hanya mendengar kata "pacaran" saja.
KKN di Blitar Jawa Timur mengubah kisah hidupku. Seringnya aku dan Zaenal mengisi acara bersama membuat aku diam-diam simpati pada lelaki itu. Padahal saat itu dia sudah punya cewek anak Sumatera.
Entah kenapa, aku merasa begitu senang saat mendengar Zaenal putus dari pacarnya. Apalagi dia tampak tertarik padaku. Dalam banyak kesempatan dia sering ngomong yang mengarah pada keinginan untuk menjadi kekasihku. Awalnya aku berpura-pura tak serius menanggapi meski sikapnya kian jelas menunjukkan suka padaku.
Meski demikian aku tak mampu menyembunyikan kata hatiku. Aku kian nyaman meladeni obrolannya setiap kali bertemu. Aku senang setiap kali bersamanya, apalagi ketika teman-teman menyindirku.
Sayang, rasa bahagia itu tak bertahan lama. Aku harus menanggung perasaan kecewa yang sangat dalam setelah aku bicara soal cowok idaman itu pada orang tuaku. Mereka tak merestui pilihanku hanya karena Zaenal anak pertama dan aku anak ketiga, pasangan yang dinilai tidak baik buat orang Jawa. Sangat naif, memang, tapi itulah faktanya.
Meski demikian, sikap orang tuaku bukannya membuat aku menjauh dari lelaki itu, aku bahkan kian dekat dengannya. Aku dan dia kian kompak untuk mencari cara agar orang tuaku merestui pilihanku.
Meski tak pernah ada kata jadian, aku dan Zaenal menyadari bahwa kami adalah pasangan sejati yang dijodohkan oleh Tuhan. Kami sepakat untuk memperjuangkan cinta ini sampai menjadi kenyataan. Di saat-saat perjuangan itulah aku merasakan indahnya menjadi seorang wanita. Aku bahagia saat Zaenal mulai nakal, mulai dari memegang tanganku, memelukku, merabaku bahkan menciumku. 
Aku ingat kapan pertama kali dia menciumku di rumah mbak Umi, teman dekat, yang sekaligus mak comblangku. Waktu itu teman-teman pada keluar rame-rame dan tinggal kami berdua di rumah itu. Saat kami asyik bicara, tiba-tiba Zaenal mengecup pipiku. Uh... Panas dingin rasanya.
Aku bahagia sekali melihat kenakalan lelaki itu, tapi aku berusaha menyergah seakan tak suka melakukannya. Meski begitu, seperti dia tahu aku menyukainya, hingga setiap ada kesempatan aku selalu biarkan dia menciumku. Bahkan seolah menjadi kebiasaan, peluk-cium seakan menjadi jatah wajib setiap kali bertemu.
Aku benar-benar shock ketika suatu ketika dia ingin mencium bibirku. Aku menyergah menolak, tetapi melihat dia tampak kecewa, aku jadi tak tega padanya. Akhirnya, di saat sepi, aku biarkan lelaki itu melumat bibirku. Uh...., melayang rasanya menikmati ciuman itu. Rasa geli bukan hanya terasa bibirku tetapi merayap sampai kemaluanku.
Sejak saat itu, cumbu rayu telah jadi menu wajibku. Aku kasihan padanya yang harus menghadapi masalah ini karena keras kepalanya orang tuaku. Aku merasa selalu ingin menghiburnya. bahkan saat Zaenal mulai berani meraba-raba tubuhku, pahaku, payudaraku. Aku selalu keki bila dia melakukannya, tapi aku bahagia.
Hingga beberapa waktu aku masih menolak saat jari tangannya menyusup ke balik celana dalamku. Melihat sikapnya yang manja, sebenarnya aku tak tega membuatnya kecewa. Aku selalu ingin membahagiakannya dengan semua yang aku punya. Aku tahu dia selalu ingin menyentuh bagian terlarangku, tetapi dengan sabar aku selalu bilang padanya, "Yang ini hanya untuk nanti. Setelah menikah. Percayalah, ini hanya untuk kamu"
Tanpa terasa, hampir lima tahun berlalu. Kami terus berjuang merebut restu orang tuaku tanpa hasil, padahal usiaku kian tak muda lagi. Aku tak bisa terlalu lama menunggu, tapi sikap orang tuaku kian membatu, hingga terpikir olehku untuk nekad menikah tanpa restu.
Suatu hari kami bertemu. Untuk sekian kali kami bicara soal itu dan itu, soal restu orang tuaku. Aku berniat nekad memilih jalanku, hingga seharian kami habiskan untuk bercumbu rayu. Tak seperti biasanya, kubiarkan Zaenal menciumiku, meraba tubuhku. Kubiarkan tangannya menjelajahi tubuhku, bagian manapun yang dia mau.
Aku bahkan sengaja memakai celana dalam elastis. Aku telah siap andai kata Zaenal menyetubuhiku. Sayang, beberapa kali penisnya tak mampu menembus vaginaku. Mungkin karena aku terlalu takut saat itu, atau penisnya yang kurang keras, aku tak tahu. Beberapa kali dia mencoba mendesakkan ujung penisnya di vaginaku sampai terasa sakit, tapi tak mampu menembus ke dalam. Setelah mencoba beberapa kali,  sperma Zaenal menyembur di atas kemaluanku, membasahi bulu vaginaku.
Beberapa kali dia kembali mencoba menyetubuhiku, tapi tetap saja penisnya tak mampu menembus kemaluanku. Hanya cairan sperma hangatnya yang kian membanjiri selangkanganku.
Waktu berlalu hingga usiaku menginjak 27. Aku kian gelisah karena tak mampu berbuat apa-apa. Aku baru menyerah saat kakaku bilang padaku. "Kamu harus memilih, Tut. Maju kamu hancur, mundur juga hancur. Tapi diam seperti ini kamu lebih hancur.
Dengan terpaksa aku memilih mundur, meski terus terang hatiku tak mudah menerima kenyataan itu. Apalagi lelaki baru yang tertarik padaku kelihatannya cukup rasional untuk kuterima sebagai suamiku. Dengan berat hati, kutinggalkan Zaenal, meski kami sepakat akan saling mencintai hingga kapanpun juga.
Meski tak mungkin bersama, aku berjanji akan selalu mencintainya, dan diapun berjanji akan selalu mencintaiku. Peristiwa itu sudah berlalu 15 tahun yang lalu, tapi tak sedikitpun terhapus, bahkan tidak berkurang sedikitpun dari kenanganku.