Selasa, 12 Februari 2013

SUAMIKU & JANJIKU PADA MANTAN PACAR

Sebelum menikah sebenarnya aku sudah punya pacar, sebut saja Z. Kami punya hubungan yang sangat baik dan boleh dibilang sempurna. Hubungan kami berlangsung layaknya sahabat, karena sejak semula kami satu kelompok saat KKN dan berteman baik. Meski tak begitu tampan, di mataku sia lelaki sempurna. Kami merasa sangat cocok satu sama lain. 
Aku memang tak mau pacaran seperti kebanyakan orang yang selalu menghabiskan waktu berdua, tetapi kedekatanku dengannya begitu berarti. Sayang hubungan harus kuakhiri secara baik-baik, karena ortuku tak menyetujui hubungan kami. Meski begitu kami berjanji untuk tetap menjalin silaturahmi. Itu sebabnya sejak menikah aku berusaha menepati janji itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan suami, aku biasa telepon, dan kadang ketemu dengan mantanku. Meski demikian, kami berkomitmen untuk hanya berhubungan sebatas sahabat, tidak lebih. 

Apalagi setelah dia juga menikah, kami berjanji untuk menjaga keutuhan keluarga masing-masing. Kami saling mendukung dan mendo'akan agar masing-masing diberi keberkahan, kesehatan, kelapangan rejeki, dan kebaikan.
Kebetulan suamiku orang yang cukup sibuk. Dia sangat penyabar, tidak tergantung padaku, dan tidak pernah sekalipun marah padaku, meski kadang aku tidak memperhatikannya. Justeru aku yang sering kali marah-marah padanya, tetapi sama sekali tak ditanggapi.
Akhir-akhir ini sikap suamiku berubah drastis. Dia semakin cuek padaku. tidak peduli padaku, dan seakan tidak respek padaku. Aku tak tahu apa masalahnya. Berulang kali aku bertanya jawabnya selalu datar, "tidak ada apa-apa", "Capek saja", atau "Lagi banyak kerjaan"
Sikapnya yang kian memuakkan membuatku hatiku merasa goyah (gonjing). Aku jadi berfikir untuk semakin dekat dengan mantanku. Apalagi mantaku sering kali merayuku, membuaiku dengan kata-kata yang melambungkan anganku, seakan kami masih pacaran dulu. Meski hanya lewat telepon dan bertemu di tempat umum, kehadiran mantanku cukup untuk mengobati kejengahan hatiku setiap kali bertemu suamiku.
Belakangan suamiku kelihatan enggan pulang. Setiap kali ngantor ada saja alasan untuk tidak pulang. Terpaksa aku harus bicara padanya. Aku butuh kejelasan atas sikapnya yang tidak mengenakkan akhir-akhir ini.
Semula dia enggan bicara, tetapi setelah aku tekan dia mengaku. Dia bilang sangat kecewa telah menikahiku. Dia bilang sangat sedih karena menurutnya aku masih mencintai orang lain. Rupanya dia tahu aku biasa berkomunikasi dengan mantanku. Dia tahu semua lebih dari yang aku duga.
Dia sama sekali tidak marah padaku. Hanya sering kali dia kelihatan menangis sedih menyesali kebersamaannya denganku. Dia bilang sebenarnya sudah tak membutuhkan aku lagi kalau saja bukan demi anak-anakku.
Aku berusaha meluruskan kesalahpahaman ini, tetapi dia terlanjur terlalu yakin dengan persepsinya sendiri. Aku berusaha memperbaiki sikapku di hadapannya dengan berbagai cara. Aku berusaha lebih perhatian, lebih hangat, dan mengakhiri hubunganku dengan mantanku, tetapi sepertinya sia-sia saja.
Dia sama sekali tak mengubah penilaiannya terhadapku. Dia memang berusaha tetap bersikap baik padaku dan anak-anakku, tetapi raut kekecewaan sama sekali tak hinag dari sorot matanya.
Aku hanya bisa pasrah. Aku sadar telah melakukan kesalahan fatal yang mungkin tak pernah termaafkan sepanjang hidupnya.