Selasa, 12 Februari 2013

CINTA BARU

Aku Tutik, wanita 26 tahun, berpacaran dengan Zaenal, 25 tahun sejak 4 tahun yang lalu. Sejak dulu sebenarnya aku tak berniat pacaran, tapi entah kenapa, waktu KKN aku jadi tertarik pada Zaenal. Meski usianya lebih muda, aku menerima Zaenal karena dia kelihatan serius sama aku.
Lelaki itu begitu baik di mataku, begitu sempurna, tak ada yang kurang darinya. Selain dari keluarga berada, dan pintar agama, dia juga dikagumi teman-temanku karena kebaikan hatinya. Aku merasa sangat nyaman bersamanya dan ingin selamanya menemaninya.
Dalam semua hal aku merasa sudah cocok dengan cowok asal Pasuruan itu. Dari sisi agama, keluarga, dan semua hal sebenarnya sudah setara (kuffu), tetapi sayang orang tuaku, terutama ayahku, tidak merestui hubunganku. Sebenarnya ibuku tidak mempermasalahkan pilihanku. Apalagi ibuku sangat suka lelaki yang pintar dalam agama. tetapi tidak ada yang mampu menentang keputusan ayah.
Alasan ayahku sungguh tak masuk akal, yaitu hanya karena dia anak pertama sedangkan aku anak ketiga. Konyol, bukan? Di jaman secanggih ini ada orang yang memegang teguh mitos jaman batu? Padahal orang tuaku termasuk taat beragama, bahkan termasuk tokoh di kampungku.  
Tentu saja aku tak terima dengan alas an itu, tapi ayah selalu marah besar setiap kali aku memperdebatkan keyakinan kolotnya itu. Ayah terlalu yakin, pernikahanku tidak akan berjalan baik karena termasuk "dadung kepuntrir". Sungguh, aku merasa begitu konyol karena harus gagal menikah dengan lelaki pilihanku hanya karena alasan yang sungguh di luar nalar.
Berbagai cara kulakukan untuk meluluhkan kerasnya hati ayah. Kakak, adik, paman, bibi dan saudaraku berusaha membantuku, tetapi ayahku sangat keras kepala. Dia sangat kukuh dengan keyakinannya. Terus terang aku kehilangan respek pada ayahku. Dia begitu keras kepala, meski tak punya alasan yang masuk akal.
Empat tahu sudah aku bertahan, tetapi tak juga ada tanda-tanda sikap ayah akan berubah. Padahal aku merasa tak siap kalau harus menikah dengan lelaki lain. Aku hanya ini dia lelaki satu-satunya yang ada dalam hidupku.
Berulang kali Zaenal bilang siap kalau aku nekat menikah dengannya, tetapi aku tak ingin menikah tanpa restu. Aku takut terjadi sesuatu, dan entahlah aku tak bisa membayangkan menikah tanpa restu ayah. Mungkin aku harus siap memulai hidup dari bawah, tanpa bekal apapun dari orang tua.
Aku makin gelisah karena usiaku kian tak muda lagi. 12 september kemarin adalah hari ulang tahunnya. Selain ingin mengucapkan selamat ulang tahun, aku aku ingi bertemu dan mengambil keputusan terbaik buat kami berdua, tetapi sayang Zaenal tidak di tempat. Di rumah Mbak Umi, akhirnya aku putuskan untuk menulis surat untuknya, dengan derai air mata yang tak mampu kubendung. Aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengannya dan memilih mengikuti kehendak orang tuaku.
Beberapa hari kemudian dia telepon aku. Dia keberatan aku mengakhiri hubungan. Kamipun sepakat tak akan pernah ada kata berpisah, meskipun aku dan dia tak mungkin bersama. Kami berjanji akan terus menjalin silaturahmi, layaknya saudara sehati. Kami ingin cinta ini abadi selamanya. 
Nganjuk 13 September 1999