Rabu, 29 Juli 2009

KISAHKU 12 - PERTAMA CUKUR VAGINA


Sejak malam itu, aku tak segan lagi menghabiskan waktu berlama-lama dengan suamiku. Dia pintar membuat lelucon hingga membuat hubunganku semakin tanpa jarak. Karena aku sedang menstruasi, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berpelukan. Jemarinya tak henti meraba sekujur tubuhku. 
Mengenalnya lebih jauh membuatku merasa sangat beruntung menikahi lelaki itu. Aku merasa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dibanding yang aku harapkan selama ini. Aku bercerita padanya, betapa selama ini banyak teman-temanku yang bertanya, "Lelaki seperti apakah yang pantas menikahiku" Aku merasa dialah lelaki itu. 
Lelaki yang selama ini aku harapkan pada dasarnya jauh dari itu semua. Dia bukan orang yang terkenal, bahkan tidak diperhitungkan di kampus dan teman-temanku. Aku menyadari benar, mengapa selama ini aku memilihnya. Itu hanya karena aku benar-benar tak punya alternatif, teman dekat yang lebih baik. 
Hampir tiga malam ini aku bercerita banyak hal padanya, mulai cerita masa kecil, masa remaja, hingga hubunganku dengan Zaenal, mantan pacarku. Aku tak bisa menahan tangisku saat bercerita tentang hubungan Zaenal dengan anak Madiun itu. Aku teramat sedih mengingatnya, tetapi hampir-hampir tak pernah menangis karenanya.
Aku tak tahu berapa lama aku menangis. Aku hanya merasakan kedamaian saat suamiku memelukku erat-erat, menenangkanku, sembari mengelus punggungku. Lega rasanya bisa melepaskan beban perasaan yang selama ini kupendam dalam-dalam.
Hari ketiga pernikahan, aku melihat suamiku lebih banyak diam. Dia tidak banyak bicara atau bercanda seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa kali aku mencoba menyambutnya dengan mesra, tetapi sikapnya kelihatan dingin saja. 
Menjelang malam, aku bertanya, "Mas, kamu kenapa jadi diam?" Dia hanya menjawab "Tidak ada apa-apa" sembari tersenyum masam. Aku terus mendesaknya, hingga akhirnya dia bicara.
"Aku merasa... entahnya apa namanya. Ternyata kamu masih mencintai Zaenal. Kamu masih begitu terkenang dengan lelaki itu" jelasnya. Aku terhenyak mendengarnya. Aku tak menyangka, cerita-ceritaku rupanya dipahami begitu oleh suamiku.
"Harusnya kamu mengerti, dong. Aku sekian tahun bersama dia, sedangkan sama kamu baru kenal berapa bulan? Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin kamu tidak ketemu aku lagi" Jelasku apa adanya. Dia hanya diam saja mendengar jawabanku. Tak berapa lama air mata mengucur dari pelupuk matanya.
Aku bingung. Aku tak tahu mengapa dia bersedih. Aku terus merayunya, hingga wajahnya sedikit cerah. Dia bahkan keluar kamar dengan membawa buku catatan yang biasa tergeletak di atas meja. Setelah menunggunya beberapa saat, aku menjemputnya di teras depan, dan menariknya kembali ke kamar.
Aku tahu, dia masih bersedih, tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku terus merayunya, mengelus tubuhnya, dan bagian intimnya hingga bangkit mengejang. Aku biarkan tubuhku terbuka dan berharap dia melakukan tugasnya sebagai suami. 
Usahaku berhasil. Diapun melucuti pakaianku, lalu mencumbuiku dengan penuh mesra, hingga akupun merasa tergoda. Segulir cairah kurasakan mengalir dari pangkal kemaluanku. Dia bilang, "Heh, keluar cairannya", kemudian menyentuh bagian tubuhku yang paling rahasia yang berselimut bulu rambutku yang lebat. Aku hanya tersipu menahan geli.
"Lebat sekali? Kok nggak dicuku?"  tanyanya. 
"Idih, dicukur? Malulah..." Sergahku.
"Kan sunnahnya dicukur setiap jum'at"
"Masa, sih? Aku pikir juga gitu, tapi aku malu menyentuhnya"
"Sama punya sendiri kok malu?"
"Nggak tahulah. Seumur hidup belum pernah sekalipun dicukur"
Setelah meraba-raba tubuhku beberapa saat, suamiku mencoba memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluanku, tetapi tidak berhasil. "Aduh, di mana sih lubangnya?" tanyanya. Aku hanya tertawa geli.
"Lebat sekali sih" sergahnya sembari bangkit ke meja rias. Sejenak kemudian diapun mencukur bulu kemaluanku. Aku tertawa menahan geli. Kembali kurasakan cairan hangat mengalir lembur ke permukaan kemaluanku. Aku terangsang menahan geli, tetapi dia seperti tak peduli. Bahkan dengan tenang dia mengusik liang kemaluanku seperti mencukur bulu yang tumbuh di sisi dalamnya.
Dengan perasaan berbunga-bunga aku ke kamar mandi membersihkan kemaluanku yang penuh rambut. Aku merasa sedikit aneh saat membasuh kemaluanku dengan sabun, sebab ini pertama kalinya tak ada lagi bulu tumbuh lebat menutupinya.
Aku memeluk suamiku sesaat setelah masuk kamar. Kami kembali bercumbu mesra. Dia meraba sekujur tubuhku dan akupun meraba sekujur tubuhnya, tak terkecuali bagian yang selama ini kuanggap paling rahasia.
Sebenarnya aku masih takut melakukan hubungan itu, tetapi aku ingin dia melakukannya malam ini. Dengan perasaan tegang, kubiarkan dia memasukkan kemaluannya di kemaluanku, tetapi tidak berhasil. Perasaanku sendiri sangat tegang, hingga beberapa kali dia gagal melakukannya. 
Vaginaku terasa semakin tegang, saat sebagian kemaluannya masuk ke kemaluanku. "Kok susah ya" Tanyanya. "Mungkin karena aku belum benar-benar suci, mas" jawabku. Diapun hanya menindihku seperti malam-malam kemarin, sambil menggesek-gesekkan kemaluannya di depan kemaluanku.
Aku merasa sangat bahagia, karena suamiku tak lagi tampak sedih. Kesibukannya berusaha berhubungan badan denganku malam itu, sepertinya mengalihkan semua yang dia pikirkan.