Sabtu, 06 Juni 2009

KISAHKU 07 - MENYERAH PADA JODOH

Kakaku tak henti mendorongku agar segera mengambil keputusan. Aku harus berani mengambil resiko. “Kalau kamu mau maju, majulah terus, dan harus siap dengan segala konsekwensinya. Kalau kamu mundur kamu harus segera mudur, dan semua ada konsekwensinya. Kamu tak bisa terus-terusan menunggu karena itu hanya menghancurkan dirimu sendiri”, begitu pesan kakaku berulang kali.
Aku mulai lemah setelah teman-temanku bilang Zaenal secara diam-diam mendekati cewek lain. Banyak temanku yang bilang dia sedang mendekati cewek entah Ponorogo atau Madiun. Aku sangat sakit hati, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Aku sadar, aku sudah membuatnya menunggu selama ini. Orang tuakulah yang menjadi penghalang hubungan kami.
Karena itu, dalam hati aku mulai meyakinkan diri, bahwa aku tak akan pernah menikah dengan dia. Aku hanya tak tahu bagaimana keluar dari kenyataan ini. Betapapun menyakitkannya kenyataan itu, aku tak punya alternatif yang lebih mungkin dibanding Zaenal.
Itulah sebabnya, aku mulai membiarkan orang tuaku memilihkan jodoh untukku. Beberapa kali calon suami diajukan padaku, tetapi belum ada yang benar-benar kuterima. Aku sedang mempertimbangkan 2 orang lagi yang kemungkinan besar kuterima salah satunya. Salah satu lelaki itu adalah mas Samsul yang dulu pernah dijodohkan dengan aku. Hubungan kami yang sempat putus dan karena dia orang satu daerah denganku menjadi pertimbangan terberatku untuk menerimanya.
Sebenarnya aku tidak nyaman bila harus menikah dengan mas Samsul. Aku punya banyak alibi untuk menjelaskan mengapa dulu aku memutuskan pertunangan. Aku bahkan kesal karena mas Samsul menyurati Zaenal, dan menuduhnya telah merusak hubungannya denganku, tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku bersiap-siap menerimanya kembali, karena sepertinya dia laki-laki yang paling mungkin aku nikahi.
Saat tengah mempertimbangkan lelaki yang akan kuputuskan sebagai suami, tetapi tiba-tiba Irfan menelponku, setelah 2 tidak ada kabar lagi. Dia mengabarkan kalau sekarang sudah masuk kuliah S3 dan bertanya apakah aku sudah menikah. Aku sedikit berbohong padanya kalau aku sudah putus dari Zaenal. Aku memang sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri hubunganku dengan Zaenal dan bersiap menerima calon suami pilihan orang tuaku.
Aku begitu senang ketika tanpa kuduga dia mengajakku menikah. Aku tidak tahu yang harus kukatakan, tetapi semua orang yang kuberi tahu soal itu menyayangkan bila aku menolaknya.
Akhirnya, akupun menerima ajakan Irfan untuk menikah. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya, tetapi bagaimanapun Irfan adalah alternatif paling aman di antara semua lelaki yang mungkin menikahiku. Paling tidak aku sedikit lebih mengenal dia dibanding yang lain. Lagi pula, Irfan bukan dari daerahku dan tidak mengenal keluargaku sebelumnya.
Sejak menerima mas Irfan, masalahku terasa sudah selesai, karena aku akan menikah. Keluargaku begitu bahagia dengan keputusan ini. Mereka menganggap aku mendapatkan orang yang jauh lebih baik dibanding pilihanku maupun orang tuaku. Apalagi pekerjaan dan pendidikan calon suamiku jauh di atas yang mereka bayangkan.
Aku sendiri sebenarnya masih merasa gamang. Aku tak tahu yang aku rasakan, karena aku merasa tidak cukup mengenalnya. Aku hanya mengenal Zaenal sebagai satu-satunya lelaki dalam hidupku, tapi aku berharap seiring waktu mas Irfan akan bisa menggantikan Zaenal di hatiku.
Aku berusaha menepis kebimbangan hatiku, meski aku tak bisa memungkiri, hingga sikapku sedikit ambigu. Di hadapan Zaenal dan teman-teman aku tetap menegaskan bahwa sebenarnya Irfan bukan pilihanku. Menikah dengannya hanyalah jalan yang harus aku lalui. Aku hanya mengikuti kehendak orang tuaku.
Pengakuanku sedikit berbeda bila bertemu dengan orang-orang yang tidak mengenal sahabat-sahabatku. Aku mencoba bersikap seolah aku bahagia telah menemukan sosok terbaik dalam hidupku.