Rabu, 29 Juli 2009

KISAHKU 16 - AIR MATA DALAM SENYUMAN



Sore itu aku dan suami pulang dari ladang. Kebetulan aku dan suami sedang mencoba usaha sederhana. Kami memelihara beberapa ekor ayam yang sebagian sudah bertelor. Suami kelihatan bersemangat melakukan tugas-tugas yang sebenarnya tidak biasa dia lakukan selama ini.
Kami juga menanam sayur sawi di kebun dekat rumah. Kami begitu bersemangat karena selain mengandalkan gaji suami sebagai pegawai, kami berharap bisa menyandarkan hidup dari beberapa jenis wirausaha yang sudah kami rencanakan.
Pulang dari kebun sore itu, Anny, adikku memanggilku dengan tegopoh-gopoh. "Mbak Tut. Cepetan ada telepon"
Aku bergegas mendatanginya. Dengan raut berbinar-binar dia menyerahkan gagang telepon padaku. Aku terkejut, rupanya Zaenal menelponku sore itu. Sepanjang sore rupanya Anny berbicara panjang lebar lewat telepon.
Aku tak bisa berbicara banyak. Selain kaget, aku tak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Beberapa waktu ini aku sama sekali tak memikirkan dia. Apalagi sejenak kemudian suamiku sudah menyusulku dan masuk kamar yang kebetulan dekat meja telepon.
Aku hanya cengar-cengir menahan perasaan kaget tanpa tahu apa yang harus kukatakan. Praktis aku hanya menjawab salam dan kabar darinya, serta mengiyakan beberapa pertanyaan yang aku tak ingat lagi. Aku hanya berharap segera mengakhiri telepon dia, dan menyusul suamiku yang gelagatnya kurang enak hati.
Tak lama kemudian aku mengakhiri telepon dan menyusun suamiku ke kamar. Perasaanku tidak enak saat kulihat dia sudah tertelungkup di tempat tidur. Perasaanku sendiri tak nyaman dengan telepon itu, tapi aku mencoba berpura-pura tak merasakan apa-apa. Segera saja kurengkuh tubuh suamiku untuk menyingkirkan rasa tak nyaman di hatiku.
Beberapa saat kemudian aku menyadari suamiku tidak enak hati dengan telepon sore tadi. Rupanya tahu siapa yang menelponku sore itu. Sikap Anny yang cengar-cengir tadi kemungkinan membuatnya menduga-duga siapa yang menelponku.
"Mas..." Panggilku beberapa kali. Aku berusaha membuatnya bangkiit dan berbicara, tetapi beberapa saat dia hanya telungkup terdiam. Saat kuraba wajahnya, kurasakan air mata telah membasahi pipinya.
Dia baru bangkit saat maghrib tiba, dan segera beranjak ke kamar mandi. Perasaanku sangat tidak nyaman dengan sikapnya. Kulihat wajahnya begitu suntuk karena tahu Zaenal menelponku.
Usai sholat aku segera merengkuhnya lagi. Aku berharap bisa menenangkan hatinya. Aku jelaskan padanya bahwa aku dan dia sudah tidak ada apa-apa lagi. Dia hanya telepon Anny dan sekedar tanya kabar, karena beberapa waktu sebelumnya sempat lewat depan rumahku.
Suamiku tidak mengatakan apapun. Hanya air mata yang terus bercucuran yang aku tak bisa mengerti artinya. Sepertinya dia sangat terganggu oleh kehadiran Zaenal dalam kehidupanku saat ini, bahkan di masa laluku. Dia mencoba tersenyum meski air mata semakin deras mengucur dari pelupuk matanya.
Aku tak henti merayunya dengan segala yang aku bisa. Meski semalaman dia sama sekali tak bicara, dia masih mau melayani ajakanku bercinta malam itu. Aku baru merasa lega saat melihatnya tertidur pulas dalam pelukanku.