Sabtu, 07 Maret 2009

PELAJARAN DARI SAHABAT

Kali ini aku berhasil sampai rumah agak sore, sekitar pukul 7.30 malam. Seperti biasa kalau aku lagi pulang sore pasukan kecilku pasti menyambutku dengan dengan sorak sorai., kemudian berebut masuk mobil yang berhenti di depan pintu gerbang.

Tidak seperti biasanya, kali ini istriku juga turut menyambutku di gerbang depan. Dengan wajah geli melihat keceriaan pasukan kecilku, aku menangkap segurit beban batin di sudut matanya. Meski begitu aku tak ingin memudarkan keceriaan mereka. "Jangan masuk dulu, pah" Sahut yang besar.
"Iya kita beli roti bakar dulu" sambung yang kecil.
"OK"

Akupun batal membelokkan kendaraan ke halaman dan terus meluncur ke pusat jajanan di tengah kota. Sepulang kerja aku memang biasa membawa mereka ke pusat jajanan di beberapa sudut kota kecil ini. Kadang hanya makan roti bakar, pisang bakar, terang bulan, atau fried chicken lokal.

Seteleh jajan sana-sini dan putar-putar kota sejenak kamipun meluncur pulang. Belum sampai di rumah, pasukan kecilku sudah tertidur pulas. Terpaksa mereka harus dievakuasi dari garasi satu persatu.

Setelah mandi dan ganti pakaian, kuhampiri segelas kopi panas yang disediakan pembantu di meja kerjaku. Hanya tidak seperti biasanya, kali ini istriku sudah duduk di sana, masih dengan raut wajah yang nampak memendam masalah. Aku tahu, kalau dia bersikap begitu pasti ada sesuatu yang hendak dia bicarakan. "Ada gosip apa nih, Ma?" tanyaku membuka percakapan.

"Ih..., ini bukan gosip, tapi beneran" sergahnya. Aku memang biasa memakai istilah gosip bila tahu ada yang hendak dia bicarakan.
"Trus apaan, tuh?" tanyaku.
Setelah jeda terdiam beberapa saat diapun memulai pembicaraan. "Tadi Farah di sini seharian?"
"Iya?" sahutku keheranan, dan dia hanya terdiam membenarkan.

Farah adalah istri temanku, Arif, yang sekarang jadi relasi usaha kami di rumah. Di antara keluarga kami terjalin komunikasi yang akrab, tapi jarang bahkan hampir tidak pernah kami saling berkunjung berlama-lama. Kalaupun sempat kumpul dan ngobrol santai paling di toko atau kebetulan ketemu di rumah makan.

Selain mengelola usaha di rumah kebetulan Arif juga pegawai pemerintah yang kantornya satu jalur dengan aku. Tidak jarang kami berangkat dan pulang kerja bersamaan.

"Tumben dia di sini berlama-lama. Ada apa?" responku kemudian.
Dengan raut malas dia bilang, "Itu..., katanya si Arif mau kawin lagi"
"O... Jadi, to?" timpalku dengan nada ringan.
"Kamu sudah tahu?" tanyanya keheranan.
"Sudah. Rencananya sudah agak lama kok" Sahutku sembari mengepulkan asap rokok.
"Farah sudah tanda tangani surat ijinnya beberapa bulan yang lalu" sambungku.
"Kamu sudah tahu?" tanyanya lagi.
"Aku kan sering pulang pergi kerja bareng sama Arif"
"Malahan surat itu aku yang ketikan"
"Hah..., gila kamu!" Hardiknya dengan nada marah. Seketika wajah istriku jadi bersungut-sungut mendengar penjelasanku.
"Dia minta tolong dan kebetulan aku kan yang akrab dengan laptop"
"Kamu nggak kasihan sama Farah?"
Sejenak aku terdiam sambil menghisap rokokku yang tinggal setengah batang.
"Aku sudah kasih masukan ini itu, tapi Arif tetap pada keputusannya. Menurutku sikap Farah sendiri terlalu lemah di depan suaminya. Dia memposisikan seperti pembantu di mata suaminya. Lihat saja kalau mereka bicara. Farah kaya bawahan dan Arif jadi atasannya" Jelasku.

"Kamu juga tahu masalahnya apa?"
"hmmm" sahutnya sembari mengangguk.
"Tapi menurutku itu karena mereka tidak bisa berkomunikasi yang terbuka dan seimbang. Jadi wajar, kalau Arif bisa mengambil keputusan tanpa perasaan dan Farah menyerah begitu saja" lanjutku lagi.

"Apa bukan karena usia mereka terpaut terlalu jauh?" timpalnya bertanya.Usia Farah dan Arif memang terpaut jauh. Saat ini Farah baru berusia 20 atau 21, sedangkan Arif sudah susiaku. Mereka menikah saat Farah masih SLTA, dan sekarang kuliahbaru semester V atau VI.
"Nggak juga. Ini soal mind set aja" jawabku.
"Konsep relasi suami-istri mereka memang kaya gitu. Suami adalah raja dan istri jadi dayang-dayangnya"

Beberapa saat kami terdiam. Kulihat beban batin belum sirna dari wajahnya. "Sudahlah..., itu kan urusan rumah tangga orang, kok kamu yang sedih?"

Dia hanya diam tak menanggapi. Segurit kekesalan kulihat semakin membebani wajahnya. Jelas sekali kulihat kulit wajahnya yang putih merona kemerahan, seperti menahan beban. "Sudahlah, itu urusan mereka" sahutku menenangkan.

"Memang Farah cerita sama kamu?"
Dia cuma mengangguk. Aku baru sadar bahwa rupanya masalah Farah jadi beban pikiran istriku. Dari cerita Arif aku sudah tahu, kalau untuk urusan ranjang Farah itu persis istriku. Arif merasa tidak puas dengan layanan istrinya yang tidak peka dan tidak mampu mengimbangi suami dalam urusan asmara. Meski mengalami nasib yang sama, tak sekalipun aku balik menceritakan masalahku padanya atau siapapun secara langsung.

Setelah diam terdiam sejenak dia bilang, "Aku cuma heran saja, kenapa gara-gara masalah sepele kaya gitu aja laki-laki sudah berfikir untuk menikah lagi"
"Sepele itu kan buat kamu yang nggak tahu rasanya"
"Berarti kamu juga seperti itu?"
"Seperti Arif? Ya enggalah..."
"Kamu kan tahu world view dan mind set aku dan dia beda"

"Mereka masih sangat konservatif, yang tidak mungkin menjalin komunikasi secara terbuka untuk urusan seksual. Akibatnya, pihak yang dominan dalam keluarga bisa mengambil keputusan sendiri, dengan mengabaikan pertimbangan perasaan. Sementara pihak yang inferior hanya bisa mengalah dan pasrah, serta memberikan pembenar atas nama keyakinan. Padahal keterbukaanku pada kamu saja tidak secara signifikan menyelesaikan masalah yang sama, kan?"

Dia hanya diam tersipu mendengar penjelasanku. Secercah cairan bening mengembang di pelupuk matanya, tapi wajah cantiknya kian berseri menahan haru. Tiba-tiba saja tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. "Kamu nggak akan kaya dia, kan?" tanyanya mengiba.

Aku hanya terdiam memandanginya, lalu kubilang, "Buat aku, poligami itu menyelesaikan masalah dengan masalah. Itu mungkin hanya menyelesaikan satu masalah, tapi mengundang lebih banyak masalah lagi, karena buatku menikah adalah menjemput masalah. Biasanya itu terjadi pada mereka yang tidak begitu dekat dengan anak-anaknya. Mereka tak perlu berfikir bagaimana perasaan anak-anaknya dengan kehadiran ibu tiri, bahkan tidak peduli dengan perasaan istrinya sendiri. Sedangkan aku..." sejenak kalimatku terpenggal untuk menyulut sebatang rokok lagi.

"Aku gak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anakku saat sudah besar nanti. Mereka hidup di jaman yang keadaannya mungkin sudah jauh berbeda dari masa kita saat ini, mendapati dirinya masih seperti manusia tempo doeloe dengan kehadiran ibu dan adik tiri. Nggak lucu, ah..." paparku sembari tergelak.

Kulihat rona wajahnya kian berbinar mendengar penjelasanku. "Aku tahu belum bisa jadi perempuan seperti yang kamu harapkan. Aku nggak tahu kenapa?" sahutnya sembari merengkuhku.

"Nggak apa-apa, sayang. Buatku kamu dan keluarga ini adalah yang terbaik yang kumiliki"
"Tapi kamu nggak puas sama aku"
"Nggak masalah. Aku juga tidak menuntutmu seperti ini dan itu"
"Terus kamu gimana?"
"Apanya?" tanyaku berlagak pilon.
"Ih... itunya..." sergahnya sembari mencubit lenganku.

"Sudah hampir 10 tahun, dan kurasa aku bisa mengatasinya"
"Gimana? Aku kan cuma bisa segitu"
"Ya..., kurasa seks tidak hanya bisa disalurkan lewat ML aja"
"Gimana?"
"Ya, aku kan dah biasa selingkuh"
"Ih... ngawur. Orang ditanya baik-baik kok"

"Ya, aku bisa salurkan lewat self-service, chatting, nonton BF, dan sesekali dengan kamu pas lagi mood"
"Ntar keterusan lagi"
"Ya enggaklah... You know, aku sangat rasional dan tahu yang mesti kuprioritaskan"
Kebetulan istriku kurang peka pada urusanku. Dia tak pernah berusaha cari tahu yang aku lakukan semalaman di depan laptop. Mau sekedar browsing, chatting, swinging, dia tak peduli. Yang penting aku selalu pulang, dan ada saat dia membutuhkan aja. Aku juga berusaha tidak membuatnya bertambah masalah dengan mengeluh dan menuntut ini dan itu.

"Memang kamu bisa puas seperti itu?"
"Tentu saja tidak. Tapi kan lumayan bisa sublimasikan beban perasaan"
"Atau sesekali selingkuh juga boleh"
"Ih... ngaco lagi" sergahnya sembari kencubit pinggangku.

Sejurus kemudia aku melanjutkan. "Buat aku lebih baik selingkuh tanpa sepengetahuan kamu dari pada poligami"
"Dosa kamu!"
"Habis gimana? Lebih baik aku berdosa sama Tuhan dan berdosa karena berdusta sama kamu, dari pada bikin kamu sedih dan cemburu setiap hari karena lihat istri mudaku. Ha... ha.. ha..."
"Sialan..." sergahnya sembari merengkuhku sembari berusaha mencubitiku.

Setelah tenang sejenak aku kembali melanjutkan. "Intinya, aku berani menanggung resiko apa saja demi harmoni keluarga kita. Tuhan pasti kebangeten kalau menyiksa aku. Di dunia saja sudah tersiksa karena nahan-nahan kaya gini, masa tega sih nyiksa orang di alam sana" jelasku sembari berkelakar.

"Eh..., ngomong-ngomong ada acara ngga malam ini? Sudah libur sebulan lebih, nih..." Rayuku mengalihkan pembicaraan. Biasanya saat-saat seperti kan hampir selalu berending ML.
"Nggak sekaranglah..." sahutnya.
"Lho, kenapa?"
"Males, ngantuk banget, capek. Seharian nggak istirahat. Dah ya, aku tidur dulu" jawabnya sembari meluncur ke kamar tidur.
Ya... ?????