Rabu, 29 Juli 2009

KISAHKU 15 - BUKU HARIAN SUAMI


Hidupku begitu berwarna di hari-hari pengantin baru. Aku merasa sangat bahagia dan begitu nyaman bersama suamiku. Ada seseorang yang selalu mendampingiku dan memanjakanku. Setiap saat dia mencium, membelai dan memelukku, yang membuatku merasa bagai seorang puteri.
Aku merasa sangat beruntung menikah dengan lelaki yang begitu penyayang. Dia bahkan memanggilku "sayang" sejak hari pertama pernikahan, hingga membuat iri adikku. 
Dia juga begitu perhatian, bahkan mampu berperan sebagai suami lebih dari yang aku bayangkan. Dia mau membantuku melakukan banyak hal, hingga hal-hal kecil, seperti memasak dan mencuci pakaian. Bahkan saat aku sakit telinga, dia tidak segan menghisap telingaku yang beberapa hari terasa sakit dan dipenuhi nanah. 
Dia biasa memijit tubuhku dan mengurutkan minyak pijit ke sekujur tubuhku bila aku merasa lelah atau kurang enak badan. Aku tahu, setiap habis memijitku, ujung-ujungnya dia mengajakku bercinta, tetapi aku suka cita melayaninya. 
Banyak hal baru kupahami dari suamiku. Dia punya wawasan yang begitu luas dalam hal agama maupun kehidupan sehari-hari. Banyak hal baru aku pahami dari dia, berbeda dari yang biasa dipahami oleh kebanyakan pemahaman yang aku dengar. 
Aku menjadi belajar banyak hal, dan memahaminya banyak hal dengan logika yang terasa baru buatku. Apalagi aku memahaminya dengan proses yang begitu indah dan penuh kasih sayang.
Saat dia pergi ke Jogja untuk kuliah, aku mencoba membuka-buka bukunya. Aku menemukan buku harian suamiku dan mencoba membacanya. Dia bercerita banyak hal yang sebagian terasa lucu, serius hingga menyedihkan. 
Aku merasa terhenyak saat membaca bagian catatannya di hari-hari pernikahan kamu. Rupanya dia benar-benar menyesal telah menikahi aku. Dia merasa sudah salah memilihku sebagai istri. Masa laluku dan perasaanku pada Zaenal menjadi masalah yang paling dia sesalkan. Di balik sikapnya yang begitu baik padaku, rupanya dia memendam perasaan sebaliknya.
Aku kaget, sangat sedih dan tersinggung mengetahui semua itu. Aku langsung telpon mbak Um dan Zaenal untuk menceritakan semua itu. Mereka menenangkanku dan berharap aku segera bisa menyelesaikan masalah itu dengan suamiku. 
Akupun berusaha menguatkan diri menghadapi kenyataan itu. Aku bahkan bersiap merelakan andai kata suamiku meninggalkanku. Dalam hati sempat terbersit rasa, aku memang menikah dengannya bukan karena pilihan, bukan kemauanku.  Kalau akhirnya harus berakhir di awal pernikahan, kurasa ini kesempatan buatku menunjukkan betapa pilihan orang tuaku tak selalu yang terbaik. 
Meski demikian, aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku saat suamiku menelpon. Dengan nada sedih, aku bahkan tegaskan padanya, kalau ternyata dia memang tak bisa bersamaku. 
Dia bergegas pulang dan menenangkanku. Kami bicara panjang lebar. Dia memintaku membaca bagian lain buku hariannya. Dia mengakui menyesal menikahiku, karena menurutnya aku belum sepenuhnya melupakan masa laluku, dan aku tak bisa memungkiri dan hanya bisa mengakui semua itu.
Dia juga menuliskan betapa dia kasihan padaku. Setelah tahu cerita lengkap kehidupanku sebelum menikah, dia memahami betapa berat tersiksanya aku dengan beban batin yang selama ini kuhadapi.
Dia sudah memutuskan ingin membahagiakanku. Dia merasa tak pantas membuat aku terluka saat harus hidup bersamanya. Dalam buku itu dia menuliskan, “Aku sedih harus menikahi kamu, tapi sudah menderita sekian tahun akibat sikap orang tuamu yang tak rasional. Pantaskah aku bila harus membuatmu bersedih? Tidak. Mungkin aku harus hadir dalam kehidupanmu sebagai pengobat hatimu”
Aku terharu saat dia mengucapkan kembali kata-kata itu. Sebenarnya aku pernah membaca bagian itu, tapi aku hanya memperhatikan bagian kekecewaan yang dia rasakan. Akupun merasa mengerti rasa kecewa yang dia rasakan. Aku berusaha memahami posisiku di hadapannya.
Aku tak bisa lagi memandangnya sebagai perebut kehidupanku. Dia malaikat penyelamatku. Aku tak cukup istimewa di matanya, tetapi dia bersedia menjalani pernikahan ini demi membahagiakanku, dan tak ingin aku menderita untuk kali kedua.
Tak bisa kupungkiri sebenarnya aku takut dia benar-benar meninggalkanku. Semula aku hanya tak bisa bayangkan apa kata orang bila aku bercerai di usia pernikahanku yang baru terhitung hari, tetapi aku menyadari bahwa sebenarnya akupun sangat menyayanginya. Aku mulai mengenalnya lebih jauh dan merasa harus bersyukur menjadi istrinya.
Di sisi lain, ada rasa penyesalan telah berpacaran dengan seseorang sebelum menikah dengannya. Aku berharap jadi wanita paling istimewa, tetapi itu sepertinya jauh dari harapanku.