Jumat, 16 Oktober 2009

KISAHKU 18 - HARGA DIRI SUAMIKU


Sejak aku menikah, Anny, adik kandungku sering marah-marah. Sejak aku belum menikah, dia sering bilang tak mau kalah dari aku dalam hal memilih suami. Pendidikan suamiku yang cukup tinggi membuatnya sempat uring-uringan. Dia selalu bilang, "Aku harus dapat suami seperti apa agar bisa melebihi kakaku?"
Sejak awal pernikahanku, adikku memang seperti kurang respek pada suamiku. Dia sering membuat suamiku sedih karena banyak bercerita soal mantan pacarku. Dia sering menelpon Zaenal sejak aku menikah. Dia bahkan sering memprovokasi suamiku dengan memberikan telepon Zaenal padaku, tetapi aku masih bisa menahan diri.
Itu sebabnyak, sejak bulan pertama menikah suamiku mengajakku tinggal di luar kota. Alasan dia agar lebih dekat dengan pekerjaannya, tetapi aku dan orang tuaku selalu melarang. Orang tuaku bahkan berharap kami tinggal di rumah agar dapat mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelola orang tuaku.
Masalahnya, tinggal di rumahku menghadapkan suamiku pada adik kandungku yang tidak menyukainya. Adikku memandang suamiku hanya orang miskin yang numpang hidup di keluargaku. Padahal dia sebenarnya orang mandiri. Sejak kuliah, dia bahkan pantang tinggal bersama orang tuanya sendiri.   
Entah karena sebab apa, suatu hari adikku uring-uringan. Dia mengata-katai suamiku dengan kalimat yang tidak pantas. Sikap sabar suamiku membuat adikku mengira suamiku akan bersikap seperti kebanyakan orang yang dia perlakukan begitu, hanya diam, dan tak akan berbuat apa-apa. 
Ternyata salah. Suamiku spontan menampar adikku. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa dia tak bisa diremehkan. Tinggal di rumahku memang bukan kemauan suamiku, tetapi karena permintaan keluargaku. Berkat suamiku, kami bahkan baru saja memulai mengembangkan lembaga pendidikan milik keluarga yang sempat mati karena konflik.
Setelah keributan itu, suamiku mengajakku kontrak rumah di dekat kampusnya. Orang tuaku melarang, tetapi suamiku benar-benar tak tahan lagi menghadapi sikap adikku. Kamipun tinggal di kontrakan sederhana. 
Suamiku begitu bersemangat sejak kami tinggal di kontrakan. Dia begitu menikmati hidup meski harus memulai dari nol. Tinggal di kontrakan sama sekali bukan masalah buat suamiku. Dia bahkan tampak sangat bahagia meski hidup serba terbatas. Dia mondar-mandir ke sana ke mari untuk memenuhi berbagai keperluan, tanpa tampak lelah sedikitpun di wajahnya.
Masalahnya justeru buat aku. Aku tak terbiasa hidup seperti ini. Aku tidak siap, tidak biasa hidup seperti itu. Bahkan salah satu alasanku melepaskan Zaenal adalah karena aku takut bila harus memulai hidup seperti itu. Meski demikian aku memilih mengikutinya. 
Aku baru menyadari perbedaanku dari suamiku. Di balik kelembutannya, dia adalah sosok yang sangat mandiri dan penuh harga diri. Mandiri adalah dunianya, tetapi sebaliknya buat aku. Aku bukan tipe wanita seperti itu. Aku hanyalah wanita yang sangat lemah bila harus hidup lepas dari orang tuaku. 
Dua bulan hidup di kontrakan benar-benar membuatku tersiksa. Aku berusaha menjalaninya, tetapi tubuhku tak mampu lagi bertahan. Aku sakit dan harus masuk rumah sakit. Apalagi saat itu aku sedang mengandung. Akhirnya, aku kembali ke rumah, sedangkan suamiku tingga di kontrakan. 
Berpisah darinya membuatku sangat tersiksa. Berbagai cara kulakukan bersama keluargaku untuk membuatnya bersedia kembali, termasuk setelah adikku meminta maaf padanya, tetapi dia tak bergeming. Aku sangat tidak nyaman dengan hidup seperti ini. Hanya kehamilanku yang membuat suami selalu menyempatkan diri menemaniku di rumah.