Kamis, 05 Maret 2009

INGIN SELALU KERAMAS

Aku adalah pelanggan setia toko mbak Nur dan mas Yanto. Setiap kali persediaan rokokku habis, entah pagi, siang, sore, atau malam hari, aku pasti meluncur ke sana. Kebetulan hanya toko mereka yang jual rokok yang paling akrab denganku.

Sejak menikah aku memang jadi perokok berat. Padahal sebelumnya termasuk kelompok anti rokok. Mungkin kalau MUI haramkan rokok sebelum aku menikah, aku pasti jadi pendukung utamanya, tapi tidak kali ini. Karena fatwanya terlambat, ya tentu saja aku jadi penentang terberatnya.

Rokok boleh haram buat orang lain, tapi tidak buatku. Rokok telah terlanjur jadi sahabat setiaku, yang paling tahu perasaanku, yang selalu setia membelai relung dadaku, hatiku, perasaanku. Dalam sehari minimal aku perlu 2 bungkus hingga 4 bungkus. Boros memang, tidak sehat memang, tapi sulit sekali membayangkan hidup tanpa rokok.

Setiap kali ke toko mereka kadang aku hanya ketemu mbak Nur atau mas Yanto saja, tapi tidak jarang aku ketemu keduanya di tokonya yang tidak terbilang besar. Sebenarnya sih tidak ada yang istimewa dari keduanya ataupun tokonya. Mereka hanya pasangan suami-istri yang kira2 berusia 45 - 50 tahunan, dengan usaha bertani dan membuka toko kelontong kecil-kecilan.

Aku selalu melihat mereka begitu riang mengelola kios kecilnya bersama-sama. Sepertinya keluarga pas-pasan itu begitu harmonis. Anak-anaknya yang sudah beranjak remaja tampak jarang membantu mereka di toko, tapi mas Yanto tak segan2 membantu istrinya dengan suka rela, mulai dari kulakan bensin, melayani pembeli hingga bersih-bersih toko.

Yang aku heran, hampir setiap kali ke tokonya aku selalu mendapati mereka kelihatan habis keramas. Rambut keduanya basah atau kalaupun kering kalihatan kalau habis keramas. Tidak peduli ketemu pagi, siang, sore atau malam hari, aku selalu melihat mereka seperti habis "mandi besar".

Sebagai orang dewasa tentu saja aku berfikir, apakah yang kulihat itu karena mereka habis ML? Sebegitu seringkah? Pagi, sore, siang, malam? Apakah itu yang membuat mereka kelihatan harmonis? Bagaimana mereka bisa masih sebegitu mesra saat anak-anaknya sudah beranjak dewasa?
Saat kebetulan mampir ke tokonya bersama istriku, aku menggoda keduanya. "Wah... ini nggak pagi, nggak siang, nggak malam, keramas terus... Hayoo... habis ngapain" godaku.
Dengan tergelak mereka menimpali. "Ngapain lagi, masa nggak tahu?"

Rupanya keduanya paham pada sindiranku, dan seolah membenarkan apa yang jadi dugaanku selama ini.
"Ya pasti tahulah.... Kita juga ikut senang. Itu artinya harmonis" sahutku.
"Ya hidup mau apa lagi kalau nggak dinikmati, ya nggak, bu?" sahut mbak Nur sembari tertawa. Istriku hanya tersenyum kikuk.
"Kalau dinikmati sekarang kapan lagi, ya pak?" timpal suaminya.
Kami hanya tertawa tanpa sempat mengiyakan. Dalam hati aku membenarkan. Kita hanya hidup berapa tahun. Bahkan kupikir mestinya memang tidak ada waktu untuk menunggu dan menunggu menikmati hari-hari itu. Cuma persoalannya jalan hidup orang memang tidak sama.

"Sampeyan malah lebih enak, bu. Masih mudah, lebih sehat, dan punya segalanya" timpal istrinya kemudian.
"Punya apa? Sama saja. Yang penting cukup dan pada rukun aja, kan?" sahut istriku.
"Lho, kalau kita kan cuma hidup pas-pasan. Yang bisa dinikmati cuma itu, ya nikmati aja" timpal suaminya sembari disambut gelak tawa.

Sebelumnya aku memang sering cerita sama istri saol mbak Nur dan mas Yanto yang selalu keramas. Dia tidak percaya kalau itu karena mereka sering ML. Sampai di rumah aku bilang sama istriku. "Tuh... bener, kan kalau mereka memang sering keramas?"
"Alah..., kamu itu memang sembarangan aja kalau ngomong sama orang" sahutnya sengit.
"Tapi bener, kan?"
Dia hanya dia saja, lalu aku bilang padanya "Terus terang aku iri pada mereka. Mereka begitu menikmati kehidupan suami-istri, terlepas keadaan ekonominya seperti apa" Dia hanya tersenyum kecut dan
berusaha tidak begitu merespon.

Istriku memang tidak pernah berubah. Dia tetap seperti sebelumnya, dingin, kaku, dan gak interest untuk urusan yang satu itu, tanpa sedikitpun berubah. Hayalanku saja yang maksain aku bikin happy ending dengan happy moment semu, sekedar untuk menghibur diri. Demi nama baik , harmoni, dan anak-anak, cuma kesibukan, rokok, dan swalayan aja yang tetap jadi pelarian paling amanku
hingga detik ini.

Sering kali aku sudah patah arang, aku menyerah dan tak percaya perubahan itu kan terjadi. Aku percaya kata para ahli, kalau es kutub utara dan selatan mulai mencair karena pemanasan global, tapi aku tak percaya yang ini bisa mencair seabad lagi. Kalau yang beku air memang bisa cair, tapi kalau batu cuma bisa pecah aja...

Meski begitu, kadang aku berusaha sesekali. Kali ini akupun mencoba menggoda, "Ma, aku kok jadi pengen keramas, to"
"Ya sudah, sana. Sampo, sabun semua ada kok" sahutnya sembari nyelonong pergi.
"Nah, lho...????????"

Akupun cuma bisa bengong. Keramas aja? Ampun.... Maksudku kan bukan cuma keramas.... tapi sebelum keramas pengennya ya kaya mbak Nur dan mas Yanto itu.

Dasar nasib... nasib...