Rabu, 29 Juli 2009

KISAHKU 13 - MENYESALI MASA LALU


Hari demi hari aku merasa menikahi lelaki yang jauh lebih baik dari yang pernah aku bayangkan. Dia begitu cerdas jauh di atasku, hingga perlahan aku merasa kecil di hadapannya. Dia tahu banyak hal dengan logika yang jauh lebih tajam, hingga aku merasa sering mendengar hal-hal baru di telingaku darinya.

Dengan lelaki manapun, termasuk kakak iparku yang tinggal di Jakarta, aku langsung bisa paham pembicaraannya, tetapi aku sering harus berfikir keras untuk memahami yang dia katakan. Aku sering terkejut pada apa yang dia katakan. 

Saat aku bicara dengan teman-temanku, termasuk Zaenal, aku tak banyak kesulitan karena mereka pasti mengiyakan, sedangkan dengan suamiku, aku sering tidak bisa bicara apa-apa saat dia tiba-tiba mempertanyakan yang aku katakan. Kali ini aku bisa membedakan bagaimana kemampuan orang pada umumnya, dengan orang yang lebih tinggi kemampuan berfikirnya.

Menjelang resepsi di keluarga suami, aku kembali menanyakan mengapa dia begitu sedih. Dia tak mau bicara terus terang tetapi aku terus mendesaknya. "Kamu kan sudah tahu aku memang pernah pacaran sama orang lain, kenapa kamu sepertinya mempersoalkan masa laluku?" Aku terhenyak ketika tiba-tiba dia berkata, "Entahlah, seharusnya aku menerima kamu apa adanya. Kamu selalu cerita hal-hal yang terlalu baik, seolah kamu itu hanya berteman saja. Tetapi dari cara kamu bercerita dan sikap kamu kemarin-kemarin aku tahu kamu sudah pernah disentuh oleh lelaki itu" jelasnya dengan nada sendu.

Tenggorokanku serasa buntu mendengarnya. Beberapa kali aku menghela nafas, tetapi tidak mengurangi rasa shock yang mendera dadaku. Aku hanya bisa menangis sembari memeluknya erat-erat. Aku merasa kotor. Aku merasa ternoda. Aku tahu, rupanya suamiku kecewa telah menikah dengan aku. "Tapi itu bukan kemauanku" Ucapku berulang kali membela diri.

Dia tidak berkata apa-apa, tetapi sorot matanya jelas menujukkan rasa kecewa yang terpendam. Aku mulai menyadari betapa aku sebenarnya tak pantas angkuh di hadapannya. Aku merasa begitu rendah buatnya, tetapi aku takut kehilangan dia. Dia tak berkata apa-apa lagi, dan hanya memeluk dan membelaiku.
Dalam hati, aku mulai menyesali masa laluku. Sekalipun tak pernah melakukan hubungan yang jauh, ternyata suamiku tetap saja tahu. Aku tak bisa memungkiri semua yang dia tahu. Aku menyesal sudah berpacaran sebelum menikah, karena hanya membuat suamiku tak bangga menikahiku. 
Seharusnya, aku bertemu dia saja seumur hidupku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku tak tahu kalau dialah sebenarnya jodohku.