Rabu, 22 September 2010

MALAM PERTAMA YANG MENYEDIHKAN

Bagi pasangan normal, malam pertama pasti jadi saat2 paling ditunggu. Setelah pesta usai dan tamu2 telah berlalu, tentu saja saat bersejarah itu yang paling kutunggu, tetapi hari pernikahan serasa sama sekali tidak istimewa bagiku. 
Ada perasaan aneh, hampa dan serasa menyongsong hari-hari yang suram. Meski begitu, aku mencoba sekuat tenaga berfikir positif. Inilah hariku, hari istimewaku yang harus kunikmati sebagaimana seharusnya. Apapun alasanya, apapun latar belakang pernikahan ini, apapun yang dipikirkan istriku, hari ini aku mempunyai istri. Aku akan menikmati hari-hari indah bersamanya.
Selepas acara pernikahan siang itu, aku merasa suasana semakin aneh, karena istriku seperti berusaha menjauh dan menghindariku. Dia bahkan berusaha menghindarkan aku dari kawan-kawannya. Praktis, aku sama sekali tidak berbicara dengan mereka. Beberapa lama aku hanya di kamar, sementara dia entah di mana. Menjelang Maghrib aku mulai sedikit kesal, karena dia tidak juga masuk ke kamar pengantin. Segera saja keluar mencarinya dan ternyata sejak tadi dia berada di kamar sebelah.
Kulihat dia begitu asyik telepon seseorang dan tidak mempedulikanku. Setelah tahu kehadiranku diapun menghampiri, lalu mengejutkanku saat berkata, “Mas, kamu tidur di kamar sana aja ya, aku di sini?”
Dengan menahan rasa kesal akupun mendekatinya dan bilang padanya, “OK. Nggak apa-apa. Biar aku mau pulang saja”
“Lho, kenapa?” sahutnya terkejut.
“Aku nggak merasa sedang jadi pengantin” jawabku datar dan segera beranjak pergi. “Jangan… Mas…, jangan pergi”
Aku benar-benar kesal, dan segera beranjak ke kamar untuk mengemasi barang ke kopor. Beberapa saat kemudian dia masuk ke kamar bersama ibunya. “Mau ke mana, nak?” tanya ibu mertuaku.
“Saya pulang saja, bu”
“Lho, kenapa? Ya nggak enak dong kalau dilihat orang. Masa baru jadi pengantin kok pulang”
Aku terdiam sejenak. Dengan menahan kesal aku berusaha bicara sesopan mungkin pada wanita itu. “Kalau di sini saya yang merasa tidak enak. Masa istriku tidur di kamar sebelah dan saya di sini?”
Kontan ibu mertuaku terhenyak, dan balik marah-marah pada istriku, “Kamu ini bagaimana sih? ….. Harusnya kamu temani suamimu”
Istriku diam saja, kemudian ibu mertuaku menasehatiku, “Nak, tolong kalau ada apa-apa dibicarakan dulu, jangan terus pulang begitu”
“Saya sudah bicara tadi, tapi kayaknya ….” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku kesal sekali.
Kembali mertuaku bilang sama istriku, “Sudah. Kamu harus di sini. Layani suamimu, ajak makan. Dari siang tadi sudah kamu ajak makan apa belum?”
Istriku hanya mengangguk.
“Nak, tolong sabar ya?” nasehatnya seraya pergi meninggalkan kami.
Aku tidak berkata-apa dan berhenti mengemasi barang-barang. Aku sendiri juga tidak enak kalau harus pulang di hari pernikahan. Aku tak bisa membayangkan apa yang yang harus kukatakan pada orang tuaku. Dengan dipenuhi rasa kesal, bingung dan perasaan yang tidak menentu, akhirnya aku memilih tidak berbuat apa-apa. Aku tetap tinggal, dan inilah awal kebodohanku.
Aku berusaha meredam kekesalanku. Aku mencoba tenang menghadapi sikap istriku yang memuakkan. Aku bahkan berusaha bersikap sebaik mungkin, Aku berusaha mendekat saat dia terus sibuk membersihkan kuku-kukunya dari cat. Aku mencoba membantunya membersihkan cat dari kuku jari tangan dan kakinya, tapi dia menolak. “Sudah, biar aku sendiri” pintanya.
“OK” tanggapku menyerah. Akupun merebahkan tubuhku di atas tempat tidur hingga waktu Maghrib tiba dan sholat berjama’ah. Sesudah itu, dia mengajakku makan di ruang makan.
Selesai makan, istriku pamit mau telepon temannya dari kamar sebelah. Lama sekali aku menunggu dan rasa kesal itu kembali menghantuiku. Aku merasa ini bukan hari indah pengantin baru seperti diceritakan banyak orang. Ini hari paling memuakkan dalam hidupku.
Selama ini ada puluhan gadis yang dekat denganku, tak satupun bersikap begitu. Mereka menghormatiku, memujaku dan mengharapkanku. Sementara dia yang kumiliki justeru terasa melecehkanku.
Akupun keluar rumah dan membeli beberapa bungkus rokok. Inilah pertama kalinya dalam hidupku aku merokok. Sukses, beberapa batang mengepul dari mulutku, meski kadang harus disertai batuk-batuk. Merokok itu pahit rasanya, getir di mulut dan lidah, tapi tak segetir perasaanku malam itu.
Mungkin karena diingatkan ibunya, istriku menyusulku di halaman depan. “Mas, ayo masuk” pintanya.
Akupun mematikan rokokku dan beranjak ke kamar bersamanya. “Lho, mas merokok, ya?” tanyanya keheranan.
“Sebenarnya sih tidak”
“Kok merokok?”
Aku diam saja dan beranjak masuk kamar bersamanya. “Aku ganti baju dulu ya?” pintanya sembari beranjak keluar.
“Lho, ke mana?”
“Di kamar sebelah”
Meski merasa aneh, aku hanya mengangguk dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Dalam hati aku heran, “Kenapa dia harus ganti baju di kamar sebelah, tapi sudahlah… biar aja” Aku menenangkan hatiku sendiri.
Sesaat kemudian dia muncul di kamar dengan memakai baju tidur dengan pakaian bawahan model celana panjang. Dia membuka-buka almari seperti mencari sesuatu. Sesaat kemudian dia kembali duduk di meja rias. “Ayo sini, dong” Pintaku.
“Sebentar” jawabnya sembari membersihkan wajah dengan kapas dan cairan kosmetik. Akupun segera bangkit dan mendekatinya. Saat dia tengah asyik memberishkan wajah dengan kapas, tanpa permisi aku mencium pipi kirinya. Dia sama sekali tidak bereaksi, dan “Ih…”  sergahnya sembari menghindar saat aku bermaksud mencium untuk kedua kalinya.
“Ayo dong” pintaku kembali sembari memegang tangannya. Diapun akhirnya menurut kuajak ke tempat tidur.
Saat tubuh kami rebah di tempat tidur, akupun mendekat dan bermaksud merengkuhnya. “Mas… Jangan” Tiba-tiba dia menyergah sembari menepis tanganku.
“Kenapa?” tanyaku
“Kita  kan pengantin baru?” sambungku.
“Ya, tapi jangan sekarang” pintanya.
“Kenapa?”
“Aku belum siap”
“Memangnya kita mau ngapain?”
“Hm…” leguhnya menergah.
“Aku pengen peluk aja”
Dengan sedikit memaksa, akhirnya kupeluk juga perempuan itu. Terus terang tergoda juga, saat tanganku melingkari tubuhnya dan pahaku menindih pahanya. Dia menahan jemariku dan memeganginya erat-erat saat bermaksud menyentuh payudaranya, tapi membiarkanku menciumi pipinya.
Dingin dan sama sekali tak terasa istimewa menciumi perempuan tanpa reaksi apapun. Terus terang ini bukan pertama kalinya aku mencium wanita, dan aku tahu bagaimana biasanya reaksi pertama mereka.
Aku tak memikirkannya, karena kamipun akhirnya ngobrol banyak hal, cerita masa lalu, teman-temannya dan tidak terkecuali aku tanya sikapnya seharian tadi. Saat aku tanya sikapnya padaku sejak acara resepsi selesai diapun mulai menjelaskan. “Perasaanku nggak enak aja” jelasnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Entahlah. Rasanya aku tidak siap sekamar dengan laki-laki”
“Kamu kan sudah pernah jalan sama cowok. Sudah lama ingin menikah, masa masih tidak siap?” tanyaku penuh selidik.
Sejenak dia terdiam. Kulihat matanya berkaca-kaca, seolah menahan sebuah beban perasaan yang tak mudah diungkapkan. “Mungkin itu pula sebabnya” dia berguman perlahan.
“Kamu nggak marah, kalau aku cerita?”
“Nggak. Kamu cerita saja”
Dia kembali diam sejenak. Setelah menghela nafas panjang dia melanjutkan ceritanya. “Tadi kami telepon. Dia sekarang sedang stress berat. Katanya dia sedih sekali karena aku menikah sama kamu. Sebenarnya kami memang belum rela mengakhiri hubungan kami, tapi apa boleh buat?” Segulir air mata mengembang di permukaan matanya, hingga meleleh di pipi.
Sejujurnya hatiku hancur sekali mendengar penjelasan itu, tapi aku mencoba tenang. Perlahan kuusap linangan air di wajahnya. Di satu sisi aku kasihan juga dengan wanita itu. Dia sungguh tidak beruntung harus menikah dengan orang yang tidak dia kasihi. Akupun mulai secara jelas menyesali pernikahanku.
Dia mengaku bersedia menerima tawaranku karena kesal pada  mantan pacarnya yang ternyata mencoba mendekati cewek lain. Meski kemudian usaha itu diurungkan, dia masih memendam rasa kesal itu kepadanya.
Sedemikian sedihnya dia mengingat kisah cintanya, membuat dia tak mampu lagi melanjutkan cerita. Akhirnya diapun menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa memeluknya, menenangkannya dengan mengusap punggungnya perlahan.
Dalam hati akupun mencoba menenangkan perasaanku sendiri yang kecewa berat malam itu.
Aku mulai merasionalkan cara pandangku. “Masa bodoh dengan masa lalunya. Yang jelas, dia  istriku. Bersama dialah aku mesti habiskan sisa hidupku dengan berbagai masalahnya, terutama masa lalu dia dan kekasihnya, bahkan jalinan komunikasinya yang masih bertahan hingga saat ini.
Aku harus berfikir pragmatis saja. Malam ini aku tidur dengan perempuan. Malam ini malam pertamaku. Kunikmati saja semuanya. Siapa tahu ngobati pedihnya hatiku saat ini” pekikku dalam hati.
Beberapa lama setelah dia kembali tenang aku kembali memeluknya. Aku mulai fokuskan perhatianku pada perempuan itu. Dia masih menggoda di mataku, apalagi saat kembali memeluknya seperti tadi. Dia menyergah sembari menahan tanganku saat jemariku kembali bermaksud membuka kancing bajunya. “Mas,  jangan dulu, ya?” pintanya.
“Kenapa?” tanyaku.
Sejenak dia terdiam menahan perasaan. “Pokoknya jangan sekarang”
“Kapan lagi. Ini kan malam pertama kita, sayang?”
“Iya, tapi aku belum siap. Aku pikir mungkin satu atau dua bulan lagi aja”
“Hah…?” Pekiku lirih.
“Aku bener-bener belum siap. Maafkan aku, ya”
“OK” jawabku lemah. Perasaan kesal kembali memenuhi ruang hatiku. Segera saja aku beranjak bangkit, tapi dia memegangi tanganku sambil menyergah, “Mas… jangan!!”
Dia  mengira aku akan kembali berniat pulang. Diapun melepaskan tanganku saat aku bilang, “Aku cuma mau merokok saja”
Akupun keluar kamar dan menghisap batang demi batang rokok hingga pagi menjelang. Unik, Malam pertama bukan jadi malam mengasyikkan bersama lawan jenis, tetapi malam pertama bersama batang-batang rokok.