Rabu, 22 September 2010

KISAHKU 19 - HADIAH YANG HILANG

Suamiku begitu bahagia saat tahu aku positif hamil. Di tengah kesibukannya dan hidup terpisah, dia berusaha selalu menjaga dan memanjakanku lebih dari biasanya. Tiada saat yang lebih membahagiakan dalam hidup melebihi saat hamil pertama, sekalipun dia enggan tinggal di rumah orang tuaku.
Untuk mencarikan suasana, keluargaku mengajakku dan suami ke Bandung dan Jakarta. Waktu itu kehamilanku menginjak bulan ketiga. Kami pergi ke Bandung menghadiri resepsi salah satu guru yang bekerja di rumahku, kemudian ke Jakarta untuk memperkenalkan suamiku dengan keluarga kakakku.
Dalam satu pertemuan keluarga di Jakarta, sikap kakak iparku tidak lebih baik dari adikku. Sekalipun hanya dengan kata-kata kakak iparku bersikap kasar pada suamiku, yang membuat suamiku enggan bicara dengannya. Bahkan sejak saat itu, dia tak pernah berkomunikasi dengan kakak iparku hingga suami kakakku itu meninggal dunia.
Keluargaku sudah biasa dengan sikap kakak iparku yang keras dan serba mengatur, juga dengan sikap adikku yang sering kalap bila sedang emosi, tetapi sikap itu tidak bisa diterima suamiku. Dia sama sekali bukan tipe lelaki yang bisa menerima kekerasan apapun. Meski sangat rasional dalam memandang banyak masalah, dia orang yang sangat perasa.
Dia tak menunjukkan ketidaksukaannya pada cara kakak iparku, tetapi dengan pasti menjaga jarak dan menghindari berbicara langsung. Dia bahkan lebih suka membawaku jalan-jalan di sekitar rumah sekedar menghindari komunikasi. Itu pula sebabnya dia mengajakku segera pulang ke rumah.
Satu hal lagi kupahami dari suamiku. Dia memang seorang yang lembut dan penyabar, tetapi bila dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai, dia bisa bersikap sangat keras. Bahkan sejak saat itu aku menyebutnya bola karet, halus, empuk, lembut, tetapi bila terlempar dengan keras dia bisa sangat menyakitkan.

Pulang dari Jakarta keluargaku kembali meminta suamiku tingga di rumah orang tuaku. Kami butuh orang seperti dia untuk membangun kembali lembaga pendidikanku yang beberapa tahun terpuruk dan ditinggalkan masyarakat. Apalagi aku sedang hamil dan butuh perhatian dia lebih dari biasanya.
Dia tidak mengiyakan, tetapi setelah beberapa hari tinggal di rumah, tiba-tiba aku mengalami keguguran. Suamiku menemaniku selama aku menderita sakit yang tak tertahankan. Dia tak pernah jauh dariku, sekalipun raut kekecewaan jelas tergambar di wajahnya. Dia kehilangan anak yang menjadi harapannya.