Rabu, 22 September 2010

MALAM-MALAM PENUH BEBAN

Hari kedua pernikahan rupanya tidak lebih baik. Kami memang semakin akrab, bicara banyak hal tanpa beban. Dia selalu tertawa lepas karena gurauan-gurauanku, meski sesekali menangis sedih saat membicarakan mantan kekasihnya.
Seharian hampir-hampir kami tidak berada di kamar, karena dia membawaku keliling dari satu rumah ke rumah kerabatnya yang lain untuk memperkenalkan aku. Baru sekitar jam 9 malam kami mengakhiri perjalanan itu.
Saat kembali ke kamar, kembali rasa kecewa menyeruak di hati, karena sejenak sejak masuk kamar dia sudah tertidur pulas. 
Rasa kesalku benar-benar tak tertahankan. Tanpa seijin dia dan siapapun, aku pulang ke rumah orang tuaku, hanya dengan meninggalkan pesan di secarik  kertas, “Aku pulang, tidak usah kamu cari, tidak usah kamu telepon”
Terus terang aku sendiri sebenarnya segan kembali ke rumah. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada ortuku. Semalaman aku hanya duduk-duduk di terminal, menyiksa diri dengan berbatang-batang rokok. Aku baru berani ke rumah sekitar jam 10 pagi.
Ibuku kaget bukan kepalang melihat kedatanganku, “Lho, istrimu mana?” tanyanya mengawali. Semula aku berkelit ke sana ke mari, tapi akhirnya akupun mencoba bicara sehalus mungkin, “Bu..,  kalau pernikahan ini tidak dilanjutkan menurut ibu bagaimana?” tanyaku politis.
Bukan sempat menjawab pertanyaanku, ibu sudah terkulai lemas tak sadarkan diri. Berbagai usaha kulakukan, tapi dia seperti sulit untuk siuman. Segera saja kuangkat wanita itu dan membawanya ke rumah sakit. Yang paling istimewa pula, ini adalah pertama kalinya ibuku masuk rumah sakit. Beberapa saat setelah ditolong perawat ibu kembali siuman. Lega sekali hati ini melihatnya.
Beberapa saat setelah siuman, ibu memaksa bicara padaku, meski dokter melarangnya. “Le, ibu nggak mau mendengar kata itu lagi. Ibu sudah bilang, sekali melangkah, jangan pernah menoleh ke belakang, jangan pernah menarik ludahmu sendiri. Sekarang kamu pulang ke rumah istrimu atau kamu tidak usah datang padaku lagi”
Aku hanya diam saja, meski sebenarnya aku ingin menyampaikan alasanku. Aku tak tega bicara saat dia dalam keadaan seperti itu. Apalagi ibuku memang lumayan “otoriter”. Dia tidak pernah meminta argumen, Bagi anak-anaknya dia adalah pepunden, sesembahan. Apa yang dia mau, dia katakan tidak pernah sekalipun kami bantah. “Kamu harus pulang ke rumah istrimu sekarang”
“Tapi ibu kan masih sakit?”
“Aku sudah banyak yang ngurusi. Sekarang kamu pergi sana. Ayo pergi” hardiknya dengan nada yang kian tinggi.
Setelah merasa linglung beberapa saat, akhirna akupun berdiri. Aku mencoba sungkep (menyalami tangannya), tapi dia tepis. “Nggak usah. Besuk Minggu saja kalau kamu datang sama istrimu”
Hari minggu yang akan datang memang acara ngunduh mantu (resepsi di rumah pengantin pria) dirumah ibuku. Sebagai orang yang ditokohkan di kampungku, aku bisa mengerti betapa sedih dan malunya ibuku bila acara itu batal dengan cara seperti ini.
Aku merasa linglung. Aku tak tahu harus apa, tak tahu lagi harus bagaimana. Beberapa saat aku hanya terduduk di terminal bis. Kepulan asap rokok saja yang membantuku mengusir penat hingga beberapa lama.
Saat aku kian jauh larut dalam lamunan, tiba-tiba HP-ku berdering. Rupanya mertuaku menelpon, "Istrimu sakit, nak. Dia harus ke rumah sakit, tetapi tidak mau diantar ke sana tanpa kamu. Tolong pulanglah"
Sebentar kemudian istri yang berbicara sambil menangis. Dia minta maaf, dan memintaku kembali. Terus terang aku tidak berminat, tetapi kali ini benar-benar tak ada pilihan. Semua  harus kulalui meski teramat memuakkan. Setelah malam pertama yang memuakkan, minggu pertama pernikahan kuhabiskan dengan berjuta beban.