Rabu, 22 September 2010

YANG TERBAIK DARIMU: PERAWAN TULEN!!!

Sikap istriku banyak berubah sepulang dari rumah sakit. Meski sakit typus yang diderita masih masuk pada masa-masa penyembuhan, tetapi dia cukup baik padaku. Dia menemaniku makan, menatakan pakaianku, dan banyak mengajakku berbicara. 
Sebenarnya aku sudah muak pada perempuan itu. Kalau bukan demi ibuku, aku malas melanjutkan kisah ini. Aku pikir, akan bersandiwara saja dengan semua ini entah sampai kapan. Mungkin aku hanya akan bersahabat saja dengan seseorang yang seharusnya menjadi kekasihku. Persetan dengan masa depan. Toh, selama ini aku sudah melupakan rencana pernikahan.
Sebagai lelaki normal, kadang tergoda juga melihat tubuh perempuan yang lumayan cantik rebah di sisiku, tetapi aku enggan menyentuhnya. Hingga acara ngunduh mantu selesai, aku masih enggan menyentuh perempuan itu sebagai istriku, tetapi tak aku pungkiri akhir-akhir ini kami semakin dekat.
Kami bercerita banyak hal tentang masa lalu, teman-teman, pekerjaan dan harapan-harapan masa depan. Saat itulah aku tahu bahwa meski terpelajar, dia memang perempuan yang "terlalu tradisional" untuk ukuranku. Meski pernah punya kekasih, dia sama sekali jauh dari hal-hal berbau seksual. 
"Menjelang menikah aku benar-benar resah, bagaimana caranya bersikap sebagai istri. Aku ingin menikah tapi tak membayangkan betapa malunya, bila harus tidur sekamar dengan lelaki. Aku membayangkan akan punya anak suatu saat, tapi aku nggak mau membayangkan bagaimana bisa sampai ke sana. Soal menikah aku cuma membayangkan akan punya teman lelaki begitu saja" Begitu pengakuannya.
"Soal sex?" Tanyaku perihal hubungan suami-istri. 
"Ih...., Aku begitu risih mendengarnya, apalagi membicarakan, bahkan sekedar membayangkan sekalipun aku tidak berani"
Setelah berbicara panjang kali lebar, perlahan kamipun mulai berciuman dan membiakanku meraba bagian-bagian tubuhnya. Masih jelas aku rasakan rasa rikuh pada sikapnya setiap kali aku menyentuhnya. Aku tahu dia tidak menikmatinya, tetapi dia membiarkanku melakukan semua yang aku mau.
Dia baru tampak kian gelisah dan seakan berat hati membiarkan jemariku menyusup ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu kemaluan yang teramat lebat menyelimuti bagian liang kewanitaannya. Meski awalnya seakan menolak, beberapa saat setelah jemariku meraba-raba miliknya, sikapnya  berubah seolah pasrah hingga aku dengan mudah melepas kain lembut pembungkus mahkotanya.
Segulir cairah licin tampak membasahi bulu-bulu kemaluannya yang lebar, membuat aku serasa tak tahan untuk tidak menikmatinya. Diapun membiarkan aku menindakan tubuhnya. Hanya saja, bulu-bulu itu terlalu lebat, sangat mengganggu, tetapi menembus liang istimwa itu terasa sulit kulakukan. Bulu kemaluannya sangat mengganggu, karena begitu lebat, bahkan gimbal tidak terawat. "Kok nggak dicukur? Lebat sekali" tanyaku.
"Aku tak pernah mencukur daerah itu" jawabnya.
"Masa?"
"Iya, nggak pernah. Memangnya pake dicukur segala?" tanyanya balik.
"Ya, iyalah..., kan terus tumbuh"
"Menyentuh saja aku tidak pernah. Aku malu, risih kalau harus menyentuh daerah itu"
Dia terkesiap, saat aku mengambil pisau cukur dan mulai mencukurnya. "Ih..., mas... Kamu ngapain?"
Dia tertawa geli saat perlahan aku benar-benar mulai mencukur bulu-bulu itu. "Mas..., Kamu itu aneh. Aku nggak bayangkan akan melakukan seperti ini" jelasnya.
"Memang biasanya seperti apa?" Godaku.
"Sure, aku nggak pernah menyentuh. Aku malu. Apa kamu nggak risih melakukan itu?" tanyanya berulang-ulang, tanpa aku jawab.
Agak susah juga mencukur bulu kemaluan yang tak pernah tersentuh pisau cukur itu, tetapi beberapa saat kemudian kelar juga. Liang terindahnyapun tampak menyembul indah berbalut cairah licin yang tak henti mengalir selama aku membersihkan bulu-bulunya. Sebentar kamudian, dia bangkit ke kamar mandi membersihkan sisa rambut yang menempel di permukaan dan dalam vaginanya.
Sesaat setelah kembali ke kamar dia membiarkanku mencoba lagi hubungan intim, tetapi terasa sangat susah kulakukan. Lubang itu terasa terlalu sempit menjepit. Bahkan jemarikupun tak mampu menembusnya. Dia tampak begitu tegang saat bagian itu tersentuh. Akupun kembali hanya memeluknya, larut dalam ciuman dan belaian. Beberapa kali jemariku menyentuh liang perempuan itu. Permukaannya terasa basah, tetapi lubangnya begitu ketat bahkan untuk ujung jemariku.     
Gairahku semakin panas, tapi kucoba bersabar. Perlahan kukulum lembut liang itu, hingga beberapa saat kemudian dia mengerang-erang sambil mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi. Beberapa saat lamanya aku terus melumat bibir liang senggamanya yang menegang, dan tiba-tiba dia meminta, "Mas... Ayo... Ayooo" Ajaknya.
Dengan senang hati aku menuruti ajakannya. Semula terasa sedikit ketat, tetapi perlahan tubuh kamipun menyatu. Lengkap sudah jalinan pernikahanku sebagai suami istri, tepat seminggu sejak malam pertama yang seharusnya kami nikmati.
Sedikit kekecewaan menggelayuti perasaanku saat dia meminta berhenti saat baru beberapa menit saja kami menyatu."Cepet sudahan, mas" begitu pintanya beberapa kali. Akupun berhenti, meski hasrat yang kurasakan sama sekali belum usai. Membangkitkan kembali gairahnya dan mengulang percintaan itu tetap tidak mudah  hingga beberapa hari kemudian.
Kekecewaan demi kekecewaan "kecil" itu selalu kusimpan karena setiap ada kesempatan menyatu dengannya dia selalu minta sudahan, padahal hasratku masih menggebu. "Cepet keluarin, mas" begitu pintanya setiap kali kami melakukan hubungan suami istri, kalimat yang paling kubenci tetapi selalu berulang kali dia katakan.
Meski begitu, aku mencoba mensyukuri. Mendapat layanan istri sejauh itu harus kuterima sebagai karunia yang jauh lebih dari cukup dibanding semua terget pernikahanku. Setidaknya, urusan dengan ortu selesai, urusan jaga nama baik masih bertahan, dan semua tampak baik-baik saja.
Meski belum benar-benar kurasakan sisi indahnya, aku mencoba mensyukuri keperawanan yang kudapatkan. Aku memang tidak pernah mempersoalkan keperawanan, bahkan terus terang aku lebih kecewa dengan yang aku dapatkan, tapi tak henti aku berusaha mensyukuri telah menikahi seorang perawan. Benar-benar  perawan.
Ya. Secara fisik dia benar-benar masih perawan, meski bagiku hatinya tak lagi demikian. Aku selalu ingat ketatnya jepitan vaginanya saat pertama kami menyatu. Seperti kisah-kisah malam pertama masyarakat tradisional, meski tak ada setitikpun darah menitik, tetapi miliknya begitu ketat menghimpit milikku, layaknya gadis yang baru pertama mengalami hubungan intim.
Aku berusaha mensukuri semua yang terbaik darinya, meski pada akhirnya keluh-kesah ketidakpuasan tak juga mampu kuingkari di kemudian hari.