Selasa, 01 Oktober 2013

TERPESONA MEMEK TEMBAM SELINGKUHAN

Sekitar tahun 1995 aku pernah menjalin asmara dengan Tutik, cewek dari Nganjuk yang usianya hampir dua tahun lebih tua dariku. Aku sangat mencintainya, tetapi ayahnya tak merestui hanya karena aku anak pertama dan dia anak ketiga. Karena dasar ketidaksetujuan ortunya tak masuk akal, kami mencoba bertahan dan berjuang agar hubungan kami direstui. Empat tahun berlalu, tetapi tetap saja buntu. Ayahnya benar-benar tak dapat memberi restu, meski berbagai cara telah kami tempuh.
Bertambahnya usia membuat Tutik mulai goyah. Tepat di hari ulang tahunku 12 September 1999, gadis itu mencariku di Malang, tetapi kebetulan aku tidak di tempat. Dia menitipkan surat lewat mbak Umi, anak Junggo Bumiaji, Batu, yang intinya dia harus mengambil keputusan. Dia bilang tak mungkin terus maju karena sudah pasti hancur, sebab dia mungkin harus lepas dari orang tuanya. Dia juga tak mungkin lagi bertahanan karena merasa lebih hancur.
Itu sebabnya dia memilih merelakan hubungan kami berakhir, dan mengikuti kehendak orang tuanya. Tentu saja berat bagiku melepaskannya, begitu juga dia. Itu sebabnya kami sepakat untuk tak ada kata berpisah di antara kami. Meski tak mungkin bersama, kami berharap dapat terus menjalin persahabatan, meski tak mungkin dapat kami pungkiri, aku dan Tutik saling mencintai.
Hatiku benar-benar hancur saat dia menikah. Diapun tampak tak bahagia dengan pernikahannya. Dari foto-foto pernikahannya yang ditunjukkan teman-teman padaku, tak satupun tampak dia tersenyum, tapi aku selalu berdoa dia bahagia. 
Sesekali aku menelponnya sekedar melepaskan kerinduanku pada suaranya yang merdu. Awalnya dia tampak enggan dan ragu menerima teleponku, apalagi setelah itu dia kian enggan menerima telepon dariku. 
Dari mbak Umi aku tahu, rupanya Tutik tak bahagia dengan pernikahannya. Pernikahan Tutik bahkan terancam bubar di hari-hari pertama pernikahannya. Beberapa kali dia telepon aku sekedar tahu kabar, tetapi tak ayal diapun bercerita tentang hubungannya dengan sang suami. Wanita pujaanku itu sangat marah dengan sikap suaminya yang kecewa dengan masa lalunya bersamaku. Tutik sepertinya juga menjajagi kesetiaanku, seakan bertanya apakah aku masih berminat menikahinya bila dia bercerai.
Dalam kebimbangan aku mencoba tenang. Aku menyarankan dia untuk memperbaiki hubungannya dengan sang suami. Aku minta Tutik mempertahaankan pernikahannya. Dia luluh saat aku mengingatkkan tujuan utama pernikahan, sebagai ibadah. Aku juga minta dia tak terlalu sering menghubungiku agar tidak memperburuk pernikahannya. 
Sejak saat itu dia mulai menjaga jarak dariku, tetapi aku tetap berhubungan baik dengan adiknya, Anny. Gadis itu sangat sering telepon atau SMS aku, dan sesekali mengabarkan Tutik kepadaku. Akupun bersiap memulai hidupku yang baru, tanpa Tutik. 
Aku baru menemukan jodohku empat tahun kemudian. Saat itulah aku telepon dia mengabarkan pernikahanku. Entah mengapa aku merasa suaranya terdengar begitu sedih mendengar pernikahanku, tetapi dia mendukungku dan mendoakanku. Sejak itulah kami kembali menjalin kontak telepon atau SMS meski tidak begitu sering. Paling sering hanya ucapan hari raya atau ulang tahun yang selalu kami sempatkan.
Tanpa terasa kontak antara aku dan Tutik kian sering beberapa bulan menjelang reuni kampus. Apalagi Anny, adiknya memang sering curhat denganku via telepon. Anny pasti memberikan handphone ke Tutik bila wanita itu sedang bersamanya.
Bahagia sekali bisa kembali kontak dengan wanita itu berlama-lama. Tutik masih seperti dulu. Wanita itu tampak tersipu setiap kali aku memuji dan merayunya, yang membuatku semakin tergoda. Aku ingin sekali bertemu dengannya, dan sepertinya begitu pula yang dia rasa.
Aku tak sia-siakan kesempatan bertemu saat kebetulan adik iparku menikah dengan orang satu daerah dengannya. Wanita itu memang tak selangsing dulu, tetapi perasaanku tak pernah berubah padanya. Sikap Tutik padaku sepertinya juga sama. 
Kami kian sering kontak, bahkan Tutik tampak sekali tak sabar, hingga lebih sering memulai kontak. Seperti saat pacaran dulu, banyak sekali yang dia ceritakan, seakan tak pernah ada kata cukup meski kami seharian bicara. Kami seakan tak pedulikan lagi panasnya handphone di telinga karena berjam-jam bicara.
Meski beda fakultas, aku sempatkan menemuinya saat reuni fakultasnya, tapi sayang tak banyak waktu buat kami untuk bersama, sebab dia sudah dijemput suaminya. Kami berjanji akan bertemu lagi di lain waktu, meski dia tak tahu kapan, sebab selama ini dia tak pernah keluar rumah tanpa diantar suaminya.
Awal tahun lalu, Tutik bilang akan ke Malang untuk reuni. Kali ini dia berangkat sendiri karena suaminya sedang ke luar kota. Tentu saja kesempatan ini tak aku sia-siakan. Setelah beberapa menit di acara reuni, Tutik tak menolak saat kuajak jalan-jalan ke Batu.
Awalnya aku tak tahu akan ke mana. Tutik sendiri hanya menurut ke manapun aku mengajaknya jalan. Sepertinya perasaan kami sama. Kami sama-sama menahan rindu yang tak tertahankan. Seakan tanpa sadar, tiba-tiba kami telah berada di sebuah kamar penginapan.
Tanpa banyak kata kami larut dalam pelukan. Kami saling mendekap teramat erat serasa tak ingin terpisahkan. Tutik menyambut kecupan demi kecupan yang kudaratkan di wajahnya, dan kamipun larut dalam cumbuan, beradu bibir yang begitu dalam. 
Tubuh Tutik terasa sedikit berat, sebab dia tak lagi langsing seperti dulu. Padahal dulu aku sangat mengagumi tubuh langsingnya. Itu sebabnya aku memilih istri yang bertubuh seperti dia saat masih gadis dulu.
Tak berapa lama kami sudah bergumul di atas tempat tidur. Beberapa lama Tutik begitu erat memelukku seakan tak ingin lepas dari rengkuhanku. Akupun tak ingin melepas dekapankku dan sesekali mengecup wajahnya yang masih secantik dulu.
Saat hati terasa lega melepas rindu, aku duduk di samping tubuhnya yang rebahan di atas kasur. Tangan kami tak henti saling goda, dan saling sentuh. Dia tampak tersipu saat aku meraba vaginanya di atas balutan rok hitam panjang, dan diapun meraba penisku yang menegang di balik celana. 
"Aku sekarang gemuk, Nal" Ucapnya.
"Nggak masalah. Bagiku, kamu masih Tutikku yang dulu" Sahutku, dan wanita itupun menarik tanganku hingga telungkup di atas tubuhnya. Setelah beberapa kami kembali larut dalam cumbuan, aku gulingkan tubuhku di samping tubuhnya hingga tanganku bebas meraba buah dada dan vaginanya yang terasa menyembul di balik rok hitamnya. 
Tutik seakan menyergah saat aku menyingkap rok panjangnya, tetapi membiarkanku menariknya ke atas hingga bagian vaginanya terbuka. Dia tersipu saat jemariku menyentuh vaginanya yang lembut. "Idih... Nggak pake celana dalam?" Tanyaku.
"Tadi dari kamar mandi belum sempat pakai" Sahutnya mengelak. Dia sempatt menahanku saat aku mencoba bangkit untuk melihat vaginanya, tetapi akhirnya membiarkanku melakukan yang aku suka. 
Aku terbelalak melihat vaginanya yang putih tembam begitu indah. Bulu kemaluannya dicukur bersih hingga lekuk lembutnya begitu menggoda hasratku. Seketika dadaku berdesir. Degup jantungku terasa kian cepat berpacu hingga nafasku tersengal. "Aku sekarang gemuk, ya" Ucapnya sembari tersipu saat aku begitu terpesona. 
"Indah sekali" Ucapku sembari tersengal.
"Alah... Kamu" Sergahnya sembari mencubit tangan kiriku. Sementara tangan kananku tak sabar untuk meraba.
"Indahnya...." Gumanku berulang-ulang.
"Alah... paling semua juga sama" Sahutnya keki.
"Enggak. Nggak seindah ini" Sahutku sembari merabanya. Sementara pahanya yang putih bergoyang-goyang menggoda.
"Alah... Kamu pintar merayu" Sergahnya keki sembari menggelinjang seakan keki kuperhatikan bagian terlarangnya.
"Bener. Lihat, nafasku sampai tersengal-sengal, nih" Sahutku sembari tak henti mengusiknya. Dia membiarkan jemariku memainkan liang indahnya. Tubuhnya menggelinjang saat aku tak sabar lagi ingin menciumi vaginanya. Tubuhnya meronta, tetapi membiarkan kulumanku melahap seluruh daging kenyal itu. 
"Gak kuat, Nal..., gak kuat..." leguhnya dan kian keras meleguh saat dia tampak benar-benar tergoda.
"Masuk, masuk, masuk, Nal" Pekiknya sembari memaksaku menyetubuhinya.
Akupun bangkit dan tempatkan pinggulku di tengah pahanya. Tangan Tutikpun meraih penisku dan menempatkan tepat di liang senggama. "Ayo" Pintanya, dan akupun menekan penisku dalam-dalam di liang vaginanya. Nikmat.... sekali. 
Aku merasakan nikmat yang luar biasa. Sungguh bersetubuh dengannya kurasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku tak tak tahu apakah karena memeknya yang tembam atau karena perasaan cinta yang kami punya.