Selasa, 15 Oktober 2013

JALAN CINTA WANITA SHOLEHAH

Saat masih gadis, Tutik dikenal sebagai cewek yang sangat alim, terlalu alim malahan. Selain tekun ibadah, mengaji dan aktif dalam kegiatan keagamaan, wanita itu dikenal sangat tegas memegang teguh norma-norma terutama yang berkaitan dengan hubungan dengan lawan jenis. Itu sebabnya, wanita itu sangat membatasi dalam bergaul dengan lawan jenis. Itu sebabnya banyak orang memanggilnya dengan sebutan bu ustadzah, tetapi paling sering dipanggil bu Nyai atau Nyik saja.
Dia menurut saja saat tiba-tiba Samsul, seniornya di kampus, yang kebetulan anak tokoh di daerahnya melamar. Tutik tetap merasa nyaman meski tidak seperti pasangan yang telah bertunangan pada umumnya. Mereka sama sekali tidak pernah berkomunikasi demi menjaga tradisi yang mereka anggap baik.
Gadis itu baru mulai terbuka pada lawan jenis saat merasa tertuntut untuk aktif mengikuti kegiatan KKN di kabupaten Blitar, Jawa Timur. Keterbukaan itu membuatnya mulai dekat dengan beberapa teman cowok yang tertarik kepadanya. 
Di antara cowok itu, Zaenal adalah yang paling menarik hatinya. Selain anak pesantren yang pintar mengaji, cowok itu begitu baik, sabar dan membuatnya merasa nyaman setiap kali bicara. Kedekatan dan kebersamaan yang mereka lalui membuat mereka tampak sebagai pasangan yang sangat serasi, dan membuat mereka biasa dipanggil Pak Yai dan Bu Nyai.
Terpautnya hati keduanya membuat wanita itu memutuskan pertunangan dengan Samsul. Wanita memilih lelaki yang sesuai kata hatinya, tak peduli tunangannya kecewa berat karenanya. Sikap Samsul yang selama ini menjaga jarak menjadi alasan kuat ketidaktertarikannya pada lelaki itu. Apalagi di sisi lain, Zaenal telah menjadi satu-satunya lelaki yang sepenuhnya mengisi hatinya.
Lepas dari Samsul rupanya bukan jalan lapang untuk menikah dengan Zaenal, sebab ternyata ayah Tutik tidak dapat merestui pernikahannya dengan lelaki itu. Alasan penolakan sang ayah sangat naif, hanya karena Zaenal anak pertama dan Tutik anak ketiga, yang dalam istilah Primbon Jawa disebut dadung kepuntir (tali yang berbelit). Orang-orang tua di Jawa percaya, pernikahan seperti itu tidak baik, sehingga dilarang.
Tentu saja larangan itu membuat wanita itu sangat terpukul, tetapi dia bertekad hanya akan menikah dengan Zaenal. Dengan gigih mereka terus berusaha meyakinkan sang ayah bahwa mitos itu tidak benar, tetapi sang ayah tetap tidak bergeming. Banyak kerabat dan tokoh didatangkan untuk meyakinkan sang ayah, tetapi keyakinan sang ayah sudah harga mati. Bahkan cara-cara mistis sekalipun dia tempuh, tetapi semua sia-sia. 
Mereka sempat memutuskan untuk nekad kawin lari, tetapi belum berani melangkah. Mereka terus berusaha bersabar dan berharap sang ayah akan luluh merestui, tetapi hingga enam tahun hubungan mereka jalani, tidak ada tanda sang ayah akan menyerah, padahal usia Tutik kian tak muda. 
Saat usia Tutik mencapai 27 tahun, wanita itu mulai goyah. Dia takut menjadi perawan tua yang hanya akan merana dalam penantian. Itu sebabnya dengan berat hati dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Zaenal dan menuruti kehendak ayahnya.
Ikatan batin kedua insan yang terlanjur teramat dalam membuat mereka tak mungkin untuk berpisah, tetapi mereka sadar dinding penghalang yang begitu tinggi tak mungkin mereka tembus. Itu sebabnya, mereka memutuskan tak ada kata berpisah. Tutik dan Zaenal berjanji tetap saling mencintai, meski tak mungkin hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Hanya perihnya hati, dalamnya duka dan linangan air mata yang mampu mengungkapkan betapa berat sebuah perpisahan.
Tanpa sedikitpun rasa menautkan batin, Tutik menerima pinangan lelaki pilihan orang tuanya. Wanita itu memantapkan diri merajut hidup baru bersama lelaki yang tak dia kenal sebelumnya. Dia membiarkan tubuh dan hidupnya bersama sang suami, meski batinnya tetap bersemayam teduh di hati Zaenal.