Jumat, 18 Juli 2014

TAK TAHAN MELIHAT PENIS 1

Setelah penantian bertahun-tahun akhirnya 22 januari itu aku resmi menikah. Aku telah resmi menjadi istri mas Irfan, seorang lelaki yang praktis baru aku kenal selama 2 bulan terakhir.
Sejujurnya aku sama sekali belum mampu melupakan perasaanku pada Zaenal, lelaki yang selama 4 tahun ini menjadi satu-satunya impian hidupku. Kalau boleh jujur, hati dan jiwaku masih bersama lelaki itu, tetapi kukuhnya ayahku yang tak mau merestui hubunganku, membuat aku benar-benar tak punya pilihan selain harus merelakan mimpi terindahku terkubur oleh waktu.
Terus terang bertambahnya umurku yang di bulan Januari menginjak angka 27 tahun menjadi alasan utamaku menerima mas Irfan dan menguatkan batinku meninggalkan Zaenal. Aku kuatir, usia yang tak muda membuat Zaenal yang usianya 1,5 tahun lebih muda dariku itu akan berpaling dariku. Apalagi sebelumnya aku sempat dibuat sangat sedih saat kudengar dia mendekati cewek Madiun atau Ponorogo.
Yang jelas, aku lega meski akhirnya menikah bukan dengan lelaki pilihanku. Mas Irfan telah membawaku keluar dari jalan buntu yang begitu menyiksa batinku sejak semester akhir masa kuliah dulu. Itu sebabnya aku begitu bersemangat mempersiapkan seluruh keperluan pernikahanku.
Hingga resepsi usai, sejujurnya perasaan gamang masih menghantuiku. Aku merasa belum sepenuhnya bisa menerima suamiku, apalagi mencintainya. Hatiku terlanjur dalam mencintai Zaenal, lelaki pertama yang kupacari dan pernah menyentuhku.
Aku tahu dia sangat merana karena aku tinggal menikah. Itu sebabnya aku sama sekali tak mampu tersenyum selama resepsi pernikahanku berlangsung. Aku tak mampu menyembunyikan kegamangan hatiku, meski teman-teman dan para tamu menggodaku untuk tersenyum.
Aku sempat tak enak hati juga pada suamiku saat dia tanya sikapku usai resepsi. Aku bilang padanya, kalau sikapku itu karena saudara-saudaraku sudah wanti-wanti agar selama di pelaminan aku tak bercanda dengan suamiku. Suamiku hanya diam mendengar penjelasanku, dan sepertinya dia percaya pada alibiku.