Rabu, 28 Maret 2012

ISTRIKU DAN MANTAN PACARNYA

Saya seorang suami, 42 tahu, sudah 12 tahun menikah dengan 4 orang anak. Sejak awal pernikahan, ada satu masalah dengan istri yang tak pernah terselesaikan, yang sekarang bahkan lebih parah bahkan tak termaafkan. 

Sejak awal pernikahan dia sering kontak dengan mantan pacarnya dengan berbagai alasan. Dia beralasan harus menjaga silaturahmi, karena hubungannya terlanjur baik. Apalagi teman-teman dan adiknya juga masih tetap akrab dengan mantannya itu. 

Saya sudah berkali-kali menunjukkan keberatan saya pada hubungannya itu. Seketika dia tidak  kontak, tetapi di lain waktu dia kembali kontak dengan berbagai alasan. Katanya tidak sengaja bertemu, sekedar mengucapkan ulang tahun, selamat hari raya, atau sekedar ingin tahu kabar. 

Saya pernah berniat meninggalkannya sejak awal pernikahan, tetapi karena tak tega melihatnya bersedih, dan harus menjaga perasaan orang tua, saya bertahan sampai saat ini. Keputusan itulah yang paling saya sesali seumur hidup.

Beberapa waktu lalu saya curiga dia kembali kontak dengan mantannya itu. Dia sangat protektif dengan HP-nya, dan sering buru-buru menghapus SMS bila ketemu saya. Iseng-iseng sayapun menyadap HP-nya. Ternyata benar. 

Rupanya kecurigaan saya benar. Beberapa bulan terakhir dia secara sembunyi-sembunyi sering kontak dengan mantannya itu, bahkan jauh lebih intensif. Kalau saya sedang tidak di rumah, dia sering telepon berlama-lama dengan lelaki itu, kadang bertukar SMS sambung-menyambung.

Rupanya selama ini dia hanya baik di depan saya, sedang di belakang saya dia sebenarnya tak bisa dipercaya. Beberapa waktu saya biarkan saja, bahkan saat mereka janjian bertemu di rumah mertua. Saya ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Saya ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaan istriku pada mantan pacarnya.  

Saya sangat kecewa ternyata istri saya masih begitu menyukai laki-laki itu. Hati saya sakit sekali setiap kali menyaksikan dia begitu nyaman berbicara, bercanda, berbagi cerita. Istriku kelihatan begitu "ngebet" pada lelaki itu, sehingga hampir selalu memulai kontak. Dia seperti penasaran, begitu terbawa dan ingin terus terhubung dengan lelaki itu. 

Hubungan mereka memang belum sampai taraf hubungan fisik, tetapi hati saya benar-benar hancur mendengar sikap istri saya yang begitu terbuai setiap kali digoda dan dirayu oleh mantannya. Beberapa bulan saya bersikap seolah tidak tahu, tetapi saya sering tidak tahan  menyembunyikan kekecewaan saya. Sering kali saya kelepasan bersikap dan berbicara yang menyakiti perasaannya, tetapi dia seperti tidak sadar. 

Karena sudah tak tahan lagi, suatu hari saya berterus-terang pada istri. Saya bilang, saya sangat kecewa dengan yang dia lakukan. Saya sangat menyesal telah menikahi seseorang yang ternyata masih begitu perhatian pada orang lain. Saya tidak percaya lagi padanya. Saya tak bisa menerima kenyataan ini, dan ingin berpisah. 

Seketika dia menangis seolah menyesali perbuatannya, tetapi di lain waktu dia berulang kali menegaskan kalau sebenarnya dia tidak bersalah. Dia bilang hanya berteman, tidak ada yang istimewa dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Dia mengakui suka selinthutan, mencuri-curi kesempatan kontak dengan mantannya, tetapi tidak lantas terima yang dia lakukan dianggap salah, karena selama ini dia tak pernah curhat pada mantannya. Dia menganggap selama ini hanya membicarakan masalah-masalah umum dan tak ada yang pantas dipersoalkan. Intinya, dia ingin menegaskan apa yang dia lakukan tidak perlu dianggap sebagai masalah.

Dia semakin mengada-ada untuk membenarkan sikapnya. Dia bilang ingin mengajak saya untuk mengenal lebih dekat  mantannya supaya tidak salah paham. Sebagai imbalannya, dia bilang ingin aku memperkenalkan dia dengan mantanku.

Dia seperti berusaha memutar-balikkan persoalan itu seolah hanya kesalahpahaman.  Godaan dan rayuan lelaki itu seolah belum cukup untuk membuktikan kalau istriku masih saling suka pada mantan kekasihnya dan menikmati kontak bersamanya. 

Istriku menempatkan lelaki itu begitu sempurna di matanya. Istriku selalu memaklumi apapun yang dilakukan lelaki itu. Intinya, istriku sepertinya tetap bersikukuh ingin terus berhubungan dengan lelaki itu meski dengan dalih berteman. Dengan cara apapun dia berusaha membenarkan sikap, tindakan dan keinginannya. Dia bahkan mengajak saya ke psikiater untuk menunjukkan mana yang benar.

Saya benar-benar tidak bisa menerima kenyataan ini. Saya kecewa sangat dalam kepadanya. Saya merasa tak sanggup lagi bersamanya. Saya ingin berpisah darinya, bercerai. Aku sama sekali tak tahan untuk terus bersamanya.  Hubungan ini sudah sama sekali tak berarti.

Satu-satunya yang membebani pikiranku hanyalah anak-anak. Apa jadinya mereka bila rumah tangga ini berakhir. Rasanya tidak adil bila mereka yang tidak tahu apa-apa harus turut menanggung akibat semua ini.

Saya benar-benar dalam dilema yang teramat berat. Satu sisi, saya benar-benar tidak bisa lagi menerima istri saya, tetapi di sisi lain saya tak bisa membiarkan anak-anak saya menderita. Saya tidak tahu yang harus saya lakukan.

Saat ini kami hanya saling menahan diri. Dia sama sekali tak mau membicarakan masalah ini lagi. Dia bahkan menganggap aku tak bisa memahami penjelasannya. Aku hanya menelan kekecewaan, dan sedang berfikir keras untuk bisa lepas darinya.


Dharma, Surabaya