Selasa, 20 Maret 2012

SEPUPUKU YANG MANJA 3

Seharian aku dan dik Inung menghabiskan waktu dalam selimut dinginnya gunung Merapi. Layaknya sepasang kekasih, kami terus bercengkerama sambil terus bergandengan tangan, menyusuri situs-situs bersejarah dan menikmati indahnya panorama Kaliurang. 
Cerita dan canda seakan tak henti menghiasi kebersamaan kami. Setiap kali duduk berdua di rerumputan, gadis itu selalu bersandar manja di dadaku, dan menyambut hangat dekapan tanganku. Sikapnya begitu manja seakan dia kekasihku, meski sebenarnya kami sadar seharusnya ini hanya ikatan kakak-beradik.
Aku bahagia melihatnya begitu riang seakan menemukan cinta dan kebebasan. "Aku merasa bahagia banget sekarang ini, mas" Celetuknya saat dalam pelalukanku. Aku tak menjawab dan hanya memperhatikan wajahnya saat menoleh ke arahku.
"Aku itu nggak pernah bisa manja-manja di rumah" Sambungnya.
"Mas tahu sendirikan ayahku? Orangnya galak banget" Sambungnya lagi yang disertai senyuman.
"Keluarga kita kan pekerja keras. Jadi nggak ada istilah manja-manjaan kan?" Sahutku tenang.
"Ya, tapi nggak tahu. Aku pengennya manja aja sama mas" Sahutnya.
"Aku juga suka kamu manja padaku" Sahutku.
"Bener?" Sahutnya ceria sembari membalikkan tubuhnya ke arahku.
"Hemmm... Kenapa tidak?" Jawabku sembari mengecupkan bibirku ke bibirnya. Wajah gadis itu tampak terhenyak dengan wajah berburai senyum sembari menatap tajam mataku. 
Sejenak akupun menatap wajahnya, dan kembali mengecupkan ciuman di bibirnya dalam-dalam. Beberapa saat nafas kamu serasa terhenti oleh buai kelembutan yang menyusup begitu dalam ke dasar jiwa. Segurat rasa geli serasa merayapi sekujur urat nadi, yang dengan lembut menggugah hasrat kelelakianku.  
"Hah..." Kami sama-sama melepas nafas seakan habis menyelam beberapa menit di dalam air. Segurat senyum tertahan menghiasi wajahnya yang menatapku nanar. Senja itu begitu indah seakan hanya ada kami berdua. Mendung yang menghitam di langit Kaliurang serta hembusan hawa dingin yang kian menusuk tulang memanaskan bara hasrat yang kian merekat.
Kami bahkan kembali saling erat berpelukan saat hujan deras mengguyur tanpa peringatan. Kecupan demi kecupan kian dalam kami padukan sederas air hujan yang tertumpah dari telaga surgawi. Beberapa kali kami bahkan bergulung-gulung dalam dekapan, tak pedulikan lagi kilatan petir yang menyambar. Derasnya curahan air hujan serasa kian menyatukan rasa jiwaku ke dalam jiwanya.
Suara beberapa pohon tumbang di sekitar rerumputan itu baru menyadarkan kami betapa alam sedang tak sedang berramah-tamah pada bumi. Kamipun bangkit, dan kulihat wajah dik Inung mulai pucat pasi. Bibir mungilnya membiru jemarinya serasa mulai membeku.
Kamipun melangkah menuju motor yang setia menunggu di ujung parkiran. Hanya motor kami yang masih tersisa di sana. Sementara langit kian redup menyemput senja, perlahan kami melaju menuruni punggung gunung Merapi, menembus derasnya hujan.
Dik Inung memeluk erat pinggangku, hingga dua buah payudaranya yang munggil terasa menekan lembut punggungku. "Mas..., mas..." Aku dengar dia memanggil-manggil saat motor berjuang meliuk mengikuti kelokan jalan.
"Apa dik?" Tanyaku sembari mengurangi laju motor.
"Aku... gak ku...at" Jawabnya menahan dingin. Seketika akupun hentikan laju motorku. Kulihat tubuhnya mulai benar-benar menggigil menahan dirngin.
"Kita istirahat saja di penginapan" sahutku sembari perlahan menjalankan motor. Langsung saja kubelokkan motorku ke halaman penginapan sederhana. Setelah ditemui pemilik penginapan aku memapahnya perkahan ke kamar. Aku mulai gugup saat kudapati nafas gadis itu mulai tersengal-sengal.
"Dik... dik... aduh..." Aku mulai panik melihatnya. Aku tahu dia sangat kedinginan dan hampir-hampir mengalami hipotermia. Segera saja kulepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu aku elapi sekujur tubuhnya, kubaringkan di atas tempat tidur, lalu kubebal dengan selimur dan kain sprei kamar itu.
Sejenak aku keluar kamar meminta teh hangat dan minyak kayu putih, lalu kuoleskan ke sekujur tubuhnya. Hasrat yang sejak siang serasa membara kini berganti kepanikan, tapi aku berusaha tenang, dan terus membantunya lepas dari deraan kedinginan.
Aku mulai lega saat nafasnya tak lagi tersengal, meski tubuhnya terlihat gemetar kedinginan. "Mas... dingin, mas..." Keluhnya berkali-kali, tanpa aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi.
"Mas... dingin..." Kesekian kalinya dia merengek kedinginan. Tanpa pikir panjang akupun melepas seluruh pakaianku. Setelah mengelap air yang membasahi tubuhku, akupun mendekap tubuh gadis itu erat-erat lalu membebal tubuh kami berdua dengan selimur dan sprei tempat tidur, tetapi dinginnya udara Kaliurang senja itu tetap terasa menembus tubuh kami.
Tanganku tak henti mengusap tubuhnya mengharap hawa panas segera memulihkan gadis itu dari kedinginan.   Kutindihkan pahaku di atas paha rampingnya. Aku terus gesek-gesekkan pahaku ke atas pahanya. Kubiarkan hasrat kelelakianku bangkit dan peniskupun menegang terhimpit tubuhku dan pinggulnya mungilnya.
Kurasakan detak jantungku kian cepat berdegup, dan nafasku terasa kian tersengal, diiringi hawa hangat yang kurasakan memendar dari dalam tubuhku. Tanpa kusadari aku tergoda oleh tubuh ramping itu, tetapi aku terus fokus mengusir dingin yang hampir-hampir mencekat nafas gadis itu, dengan gerakan pahaku dan jemari tanganku yang tak henti mengelus tubuhnya.
Aku tak pungkiri keinginan nakalku saat mengelus payudaranya. Meski kumaksudkan untuk menginduksikan hawa hangat ke tubuhnya, sesekali aku memilih lembut puting mungilnya yang mengkerut. Akupun tak menyia-nyiakan kesempatan saat jemariku menjulur lembut ke bagian bawah perutnya. Sesekali kuraba vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu lembut.
Gadis itu hanya diam saat aku melakukan semua yang tak seharusnya. Dia terlalu larut oleh deraan hawa dingin yang hampir-hampir membunuhnya. Aku mulai lega saat dia terlihat mulai tenang, dan nafasnya mulai teratur. Aku tak menghentikan gerakan tangan dan pahaku yang tak henti mengusap bagian-bagian tubuhnya yang terjangkau gerakanku.
Hasrat kelelakianku terasa kian memanas saat gadis itu terlihat benar-benar terbebas dari deraan rasa dingin. Batinku terhenyak saat tapak tanganku kembali mengusap payudara mungilnya. Kurasakan puting gadis itu menegang, tetapi aku bersikap tenang seakan tak merasakan apa-apa. Bahkan penisku yang kian keras menegang sengaja kudekatkan dengan permukaan vaginanya.
Dik Inung terlihat tak lagi hipotermia. Tubuh kami bahkan terasa gerah oleh keringat yang mulai membasahi beberapa bagian tubuhnya, tetapi gadis itu membiarkanku menggerayangi tubuhnya. Dia bahkan hanya meleguh saat jemariku meraba bukit mungil di bawah perutnya. Aku kian tergoda mengusap bagian terlarang itu saat kurasakan cairan licin membasahi sela-sela bibir vaginanya.
Matanya menatap nanar saat jemariku kian dalam menyusup liang sempit yang terasa kian licin itu. Jelas kurasakan detak jantungnya kian terpacu dan nafasnya tersengal saat kusentuh daging lembut di sudut atas vaginanya. Tubuhnya perlahan menggelinjang dan kian keras meronta saat jemariku kian cepat bergerak di liang sempitnya. "Mas... Mas..." Leguhnya berulang kali, seakan memintaku tak berhenti.
"Mas... Mas..." Pekiknya kian keras sambil menggelinjang-gelinjang. "Mas...!" Pekiknya memuncak sembari tangannya menahan jemariku, seakan memintaku berhenti.
"Aku nggak kuat, mas..." Leguhnya lirih. Akupun menghentikan gerakan tanganku, dan beralih mengelus perut dan dadanya.
"Mas..." Kembali di Inung memanggilku, seakan memintaku berhenti.
"Oke" Jawabku sembari melonggarkan dekapan, tetapi dia justeru menahanku dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dengan senang hati kurengkuh kembali tubuhnya, hingga penisku terasa hangat saat menyentuh vaginanya yang basah.
"Mas..." gadis itu terus menarikku seakan memintaku menindih tubuhnya. Akupun menurut dan mendekap tubuh ramping itu dari atas. Kubiarkan penisku terhimpit di sela pahanya, tepat menempel di vaginanya. Akupun tergoda menggerakkan pinggulku menggesekkan bagian atas  penisku menyentuh sela vaginanya.
Aku sangat ingin menyusupkan alat vitalku ke vaginanya, tetapi aku ragu melakukannya. "Sudah ya, dik" Bisikku sembari mencoba kembali berbaring di sisinya, tetapi gadis itu menahanku.
"Mas..." Bisiknya sembari mendekapku.
"Kamu sudah nggak kedinginan lagi, kan?" Tanyaku lirih sembari mencoba melepaskan pelukanku, tetapi lagi-lagi gadis itu menahanku hingga beberapa saat aku menindih tubuhnya.
Tiba-tiba tangan gadis itu menarik penisku, dan meletakkan tepat di liang vaginanya. Seketika aku terkesiap, karena tak menyangka dia meminta aku menyetubuhinya.
"Dik... Jangan. Kamu kan adikku?" Bisikku mencoba menolak.
"Aku kepingin banget, Mas.." Bisiknya sembari terus menarik penisku.
Beberapa saat aku diam menahan keraguan, tetapi akhirnya akupun tak kuasa menahan diriku. Perlahan akupun menekan penisku di liang vaginanya yang terasa begitu sempit menjepit. "Pelan, Mas..." Rintihnya saat aku sedikit memaksa. Akupun menarik lagi ujung penis yang terhimpit liang sempit itu.
Setelah beberapa kali kutekan perlahan, lalu kutarik kembali dan tekan lagi, akhirnya penisku benar-benar hilang dalam lumatan vaginanya yang sempit, hangat, licin dan begitu nikmat. Gadis itu terus meleguh mendesah saat aku tarik dan tekan penisku ke vaginanya, dan beberapa saat kemudian tubuhku mengejang hebat bersamaan dengan segumpal cairan yang menyembur ke dalam rahimnya.
Saat tubuhku melemas, aku terus memeluk gadis itu beberapa lama. Tak ada kata terucap. Hati dan pikiranku terasa kosong. Hingga terlelap dalam pelukan, aku masih tak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi di antara kamu. Aku dan sepupuku jatuh dalam persetubuhan yang tak semestinya kami jalani.