Selasa, 20 Maret 2012

SEPUPUKU YANG MANJA 4

"Dik, aku nggak ngerti mengapa kita bisa sejauh ini" Aku memulai bicara tentang yang kami lakukan.
"Tadinya aku hanya ingin memperlakukanmu sebagai adikku sendiri, tapi entahlah... Aku begitu larut pada hal-hal yang tak seharusnya kita lakukan" Sambungku.
"Aku sendiri nggak tahu, mas. Sejak ketemu mas di sini, aku merasa nyaman banget bersama mas" Sahutnya.
"Hanya saja, selama ini ini aku tak berani berharap banyak, karena hubungan kekerabatan kita terlalu dekat" Sambungnya lagi.
"Mungkin pada dasarnya kita memang berjodoh, kali. Aku yakin, keluarga pasti merestui hubungan kita" Jelasku menentukan sikap. Gadis itu hanya tersenyum manis sekali. Terlukis jelas betapa dia setuju dan bahagia dengan ajakanku, dan sejenak kemudian kamipun larut dalam percintaan yang teramat dalam.
Sejak pulang dari Kaliurang tempo hari, kami jalani setiap waktu layaknya pasangan pengantin baru. Kemesraan demi kemesraan yang berakhir dengan percintaan yang hangat selalu mewarnai kebersamaan kami. Kami bahkan memutuskan, pulang bersama akhir pekan depan untuk bicara pada keluarga. 
---***---
"Kalian baru benar-benar dekat sekarang-sekarang ini, tapi memang cocok jadi kakak-adik" Celetuk bibiku saat aku antar di Inung ke rumahnya. Aku tak menyahut dan hanya tersenyum mendengarnya.
"Inung malah kurang dekat sama adik-adiknya" Sahut Pamanku. 
Hingga aku pamit pulang, kami saling bicara dan bercanda tentang banyak hal tapi tak sekalipun bicara soal hubunganku dan dik Inung. Ingin sekali aku bicara soal hubunganku dengan dik Inung, tetapi tak tahu bagaimana memulainya. Sejak bibi menyinggung kedekatanku dengan gadis itu, sebenarnya aku berharap paman menawarkan perjodohanku dengan dik Inung, tetapi sepertinya nada bicara paman dan bibi datar-datar saja.
"Gimana, sudah punya pacar belum?" Goda bibi saat aku beranjak pamit, tapi aku tak tahu harus menjawab saja. Aku hanya memandang wajah dik Inung yang tampak berninar.
"Ayo bilang saja. Cewek mana?" Paman menimpali.
"Belum. Belum ada" Jawabku malu-malu.
"Masa sudah semester akhir belum punya cewek?" Tanya Paman lagi.
"Mau cari yang kaya apa, sih?" Bibiku menimpali.
"Pengen yang kaya dik Inung" Jawabku ragu.
"Anak manja kaya gitu kamu suka?" Goda paman lagi yang membuatku tersipu.
"Yang penting jangan adikmu sendiri aja" Bibiku menimpali, dan seketika dadaku terperanjat. Aku merasa bibi dan paman tak berminat menjodohkanku dengan dik Inung.
"Kalau saudara sepupu kan nggak apa-apa, bu?" Sahut dik Inung tiba-tiba. 
"Ya, tapi kamu sama mas kamu ini kan saudara kandung? Kalau nyari yang mirip aja nggak apa-apa" Sahut bibi ringan yang membuat aku kian terkejut.
"Saudara kandung?" Sahut dik Inung heran, dan sontak suasana berubah tegang.
"Lho, jangan-jangan kalian ini pacaran? Sini, sini duduk dulu" Tanya Paman sembari meminta kami duduk.
"Kalian saling suka?" Tanya bibi keheranan, dan serempak kamipun menganggu.
"Aduh...Gimana, sih? Kalian itu kakak beradik. Memang nggak ada yang kasih tahu?" Tanya paman, dan kami hanya menggeleng.
"Kan sudah sering dikasih tahu?" Sahut bibi. 
Aku jadi teringat saat kecil banyak orang bilang kami kakak beradik, tetapi aku mengira itu karena dia anak pamanku. Aku tak mengira dik Inung memang benar adik kandungku yang sejak kecil dipelihara paman, saat ibu kandungku meninggal.
"Aduh.... Paman pikir kalian memang cocok karena hubungan darah, tapi ternyata... Aduh..." Jelas paman kehabisan kata-kata.
"Kalau kalian memang saling suka, aku minta jangan diteruskan, ya? Nggak boleh. Kalian saudara kandung. Ngerti?" Jelas paman. Kami hanya mengangguk meski kebingungan.
"Oke. Biar paman dan bibi saja yang tahu. Kalian harus tempatkan diri sebagai saudara kandung, ya?" Jelas bibi. Aku dan dik Inung hanya tertunduk tanpa mampu berkata apa-apa.